Memuliakan Disabilitas di Masa Pandemi

Kamis, 03 Desember 2020 - 05:14 WIB
loading...
Memuliakan Disabilitas...
Nirwono Joga
A A A
Nirwono Joga
Peneliti Pusat Studi Perkotaan

SETIAP 3 Desember masyarakat dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional (International Day of Disabled Persons). Momentum peringatan ini berdasarkan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 47/3 (1992). Di tengah pandemi Covid-19, Hari Disabilitas Dunia mengusung tema “Building Back Better: toward a disability-inclusive, accessible and sustainable post Covid-19”. Tujuannya adalah membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kesetaraan kelompok disabilitas dalam setiap pembangunan bangsa pascapandemi Covid-19.

Pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap disabilitas sebagai salah bentuk penghargaan hak asasi manusia (HAM) dan kesamaan hak terhadap penyandang disabilitas. Pemerintah harus mendorong terwujudnya budaya masyarakat yang menghargai penyandang disabilitas, menyediakan lapangan pekerjaan yang berkeadilan bagi kaum disabilitas, kemudahan aksesibilitas dan fasilitas umum, serta dukungan finansial yang memadai bagi pengembangan usaha disabilitas. Lalu apa yang harus dilakukan?

Pertama, selaras UU Nomor 39/1999 tentang HAM, UU Nomor 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas, UU Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung, UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah harus mewujudkan kota ramah disabilitas (KRD).

Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, aksesibilitas adalah kondisi suatu tapak, bangunan, fasilitas, atau bagian darinya yang memenuhi persyaratan teknis askesibilitas, sehingga penyandang disabilitas memiliki kesempatan sama dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan di perkotaan.

Kota ramah disabilitas selaras dengan Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), khususnya Tujuan 11 yang menargetkan tercapainya kota untuk semua (city for all), termasuk ramah disabilitas, yang aman, inklusif, tangguh dan berkelanjutan.

Kedua, pemberdayaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas harus menyeluruh, bukan dibebankan pada Kementerian Sosial saja, dan menjadi agenda perubahan nasional (dari pusat hingga pemerintah daerah) dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah harus mengarusutamakan pengalokasian anggaran sebagai bentuk pengakuan, pemenuhan, dan pemberdayaan disabilitas di semua kementerian/lembaga negara dan pemerintah daerah (provinsi, kota/kabupaten).

Ketiga, kota ramah disabilitas menyediakan kemudahan kaum disabilitas mengakses layanan dasar, seperti proses administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Sarana prasarana kota harus dirancang ramah disablitas. Ruang gerak bebas leluasa untuk beraktivitas secara mandiri, tidak bergantung pada uluran bantuan orang-orang di sekitarnya.

Prinsip penataan kota ramah disabilitas yakni kesetaraan (equality), peluang (opportunity), dan partisipasi penuh (full participation). Lingkungan kota mendukung disabilitas yang memiliki keterbatasan mobilitas ataupun keterbatasan pancaindera. Kesetaraan hak-hak penyandang disabilitas berupa fasilitas umum ramah disabilitas. Pada proses pembangunan fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan orang, trotoar, halte bus, bangunan sekolah atau pasar, harus melibatkan kelompok disabilitas sejak perencanaan, perancangan, pembangunan, pengelolaan, hingga pengawasan.

Penempatan jalur pemandu di trotoar harus memberikan informasi perjalanan penyandang disabilitas tuna netra. Tekstur ubin (guiding block) berfungsi sebagai pengarah dan pemberi peringatan. Tekstur ubin bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan, sedangkan motif bulat-bulat menandakan peringatan terhadap perubahan situasi sekitarnya.

Trotoar dan lintasan bangunan publik (sekolah, pasar, rumah sakit, gedung pemerintah) bisa diakses disabilitas, seperti pengguna kursi roda dan ada jalur bagi tuna netra. Trotoar terhubung zebra cross/pelican crossing dengan permukaan melandai, terowongan bawah tanah (underpass) atau jembatan penyeberangan orang (JPO) dilengkapi tangga berjalan atau lift khusus. Trotoar menghubungkan ke/dari stasiun kereta api, halte dan terminal bus ke/dari venue olahraga, sekolah, perkantoran, pasar, pusat perbelanjaan, taman.

Keempat, pemerintah harus memahami cara pandang dan penerapan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dengan tepat dan benar. Revolusi mental pandangan terhadap penyandang disabilitas mesti mulai dari tingkat eksekutif (penganggaran, perencanaan, pembangunan), legislatif (kebijakan, pengawasan implementasi), dan masyarakat/komunitas (pendampingan).

Pemerintah harus memahami cara pandang dan penerapan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dengan tepat dan benar. Pemenuhan hak kaum disabilitas harus dikawal ketat dalam penerapannya, karena secara peraturan hukum dan penganggaran sudah ada alokasinya. Pemerintah harus fleksibel dalam mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dalam mengaktualisasi diri (reasonable accomodation).

Pemerintah juga harus membangun masyarakat ramah disabilitas. Petugas layanan fasilitas publik, seperti transportasi, rumah sakit, sekolah, dan bank, dibekali kemampuan berinteraksi dengan disabilitas dalam sudut pandang kesetaraan hak. Bahkan penggunaan dana desa dan dana kelurahan dapat mengalokasikan anggaran untuk memberdayakan kelompok disabilitas.

Kelima, pemerintah harus memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan produk industri lokal yang ramah disabilitas, seperti kloset disabilitas, kursi roda canggih, lift khusus pengguna kursi roda, teknologi pemandu remote infrared sign system, ubin pemandu tunanetra yang kuat. Serta pengembangan aplikasi untuk memudahkan disabilitas.

Pencatuman aksara braille di fasilitas publik, seperti di lift, mesin ATM bank, halte, stasiun, terminal, hingga produk rumah tangga. Pengeras suara di tempat penyeberangan orang, bahasa tangan pada layar monitor informasi. Selain itu, penyediaan tempat parkir, toilet, lift, dan ruang khusus di bus atau kereta api bagi penyandang disabilitas.

Keenam, kesempatan di bidang pendidikan dan lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka. KRD memenuhi hak hidup, mengembangkan diri, kesejahteraan, rasa aman, dan aksesibilitas di ruang publik. Penyandang disabilitas dapat menyalurkan potensinya dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, dihormati, dilindungi dan dilayani haknya dalam berkota sehingga menjadi individu yang tangguh dan mandiri.

Masyarakat umum dan penyandang disabilitas dibekali informasi yang cukup dan sarana prasana ramah disabilitas. Masyarakat dan sekolah juga melakukan pendidikan dini, sosialisasi, dan simulasi aksesibilitas disabilitas. Selain itu, penyediaan lapangan kerja yang sesuai keahlian, keterampilan, bakat dan kemampuan, sehingga penyandang disabilitas dapat hidup mandiri, berkarya, dan sejahtera.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1117 seconds (0.1#10.140)