Posisi Sulit Gara-Gara Kasus Edhy Prabowo, Gerindra Harus Merelakan Kehilangan KKP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo oleh KPK berbuntut pada pengunduran diri Edhy Prabowo sebagai menteri. Kini, posisi eks petinggi Gerindra itu digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan sebagai menteri KP sementara.
Pertanyaannya, siapakah yang bakal ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai menteri KP yang definitif? Apakah Jokowi kembali mempercayakan kepada kader Gerindra untuk menduduki posisi tersebut atau dialihkan ke parpol lain, termasuk kemungkinan Jokowi menunjuk menteri dari kalangan profesional? Publik masih menantikan jawaban tersebut.
(Baca juga : Kapolda Metro Jaya: Ada Perbuatan Pidana di Acara Akad Nikah Putri Habib Rizieq )
Pengamat politik Telkom University dan Universitas Muhammadiyah Jakarta Dedi Kurnia Syah mengatakan, saat ini Gerindra dalam kondisi sulit. Gerindra dinilai tidak memiliki nilai tawar pada Presiden karena kasus ini merusak relasi keduanya. "Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali merelakan kehilangan KKP, meskipun Prabowo bisa saja mengupayakan. Hanya saja, jika Presiden kembali menempatkan kader Gerindra di KKP, potensi abuse of power menteri baru nanti akan tinggi terutama terkait pengusutan kasus yang bisa saja akan meluas, tidak saja Edhy Prabowo ," katanya, Jumat (27/11/2020).
(Baca juga : Memilukan, Gadis 15 Tahun Disuguhkan Sang Pacar untuk Disetubuhi Beramai-ramai di Teras Madrasah )
Menurut Dedi, Presiden sudah seharusnya tidak kembali memilih kader Gerindra sebagai menteri KP karena publik akan sulit percaya terhadap komitmen pemberantasan korupsi jika KKP masih dipimpin Gerindra. "Hal ini tentu dilematis bagi Jokowi," urainya.
Pilihan Jokowi untuk merotasi menteri dan menempatkan kader Gerindra di pos selain KKP, itu pun harus melalui serangkaian dialog dengan mitra koalisi lainnya.
( ).
Menurutnya, secara politik Gerindra sangat tersudut jika tidak mendapat akomodasi dari Presiden dan mengubah haluan menjadi oposisi. Namun, tetap saja nama baik Gerindra telah cedera karena publik akan sangat mengingat kasus dugaan korupsi oleh elite Gerindra tersebut.
"Tidak ada kerugian signifikan jika Presiden tidak memberi peluang pada Gerindra atau bahkan kehilangan sebagai mitra koalisi, mengingat porsi pemerintah tetap dominan, dan peluang PAN masuk bisa saja terbuka menggantikan Gerindra," tuturnya.
( ).
Menurutnya, yang sedang bertaruh sebenarnya bukan Jokowi, karena Jokowi tidak lagi punya kepentingan elektoral, tetapi PDIP yang jauh lebih punya kepentingan agar Jokowi tidak lagi menempatkan Gerindra.
"Imbas pada citra Jokowi mungkin tidak terlalu banyak. Artinya citra Presiden telah dipengaruhi banyak hal sebelum ini, secara signifikan justru berimbas pada Prabowo yang sejauh ini menarasikan diri sebagai anti koruptor, bisa saja peluang Prabowo kembali berkontestasi bisa pupus jika Gerindra tidak lagi dominan," katanya.
Menurut Dedi, publik akan mengingat kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster ini sebagai catatan sangat buruk, mengingat Gerindra untuk pertama kalinya masuk kabinet, dan masih berumur pendek, namun langsung terjerat kasus dugaan korupsi. "Bahkan lambatnya Prabowo memberikan statement bisa saja ditafsir publik jika ia tahu bahwa ada tindakan kriminal yang dilakukan oleh Edhy jauh sebelum tertangkap," tuturnya.
(Baca juga : Mantab, Valentino Rossi Pede Juara Bersama SRT Petronas )
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini mengatakan, sebenarnya untuk memperbaiki citra Gerindra bukan perkara susah. Prabowo cukup membuktikan komitmen antikorupsi dengan segera memberhentikan Edhy, dan mengundurkan diri dari Menhan. "Fokus saja sebagai ketua umum parpol. Kondisi ini akan membangun simpati publik, dan harus menjaga agar kader Gerindra lain tidak ada yang kembali tersangkut kasus rasuah," katanya.
Menurutnya, langkah ini akan jauh miliki impact dibanding hanya menyampaikan kecaman dan peringatan pada kader. Terlebih, ini merupakan tahun politik seiring digelarnya pilkada di 270 kabupaten/kota dan provinsi sehingga Gerindra perlu menjaga kepercayaan publik.
Lihat Juga: Beredar Surat Ajakan Prabowo Memilih RK-Suswono, Riza Patria: Dibuat Bukan pada Masa Tenang
Pertanyaannya, siapakah yang bakal ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai menteri KP yang definitif? Apakah Jokowi kembali mempercayakan kepada kader Gerindra untuk menduduki posisi tersebut atau dialihkan ke parpol lain, termasuk kemungkinan Jokowi menunjuk menteri dari kalangan profesional? Publik masih menantikan jawaban tersebut.
(Baca juga : Kapolda Metro Jaya: Ada Perbuatan Pidana di Acara Akad Nikah Putri Habib Rizieq )
Pengamat politik Telkom University dan Universitas Muhammadiyah Jakarta Dedi Kurnia Syah mengatakan, saat ini Gerindra dalam kondisi sulit. Gerindra dinilai tidak memiliki nilai tawar pada Presiden karena kasus ini merusak relasi keduanya. "Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali merelakan kehilangan KKP, meskipun Prabowo bisa saja mengupayakan. Hanya saja, jika Presiden kembali menempatkan kader Gerindra di KKP, potensi abuse of power menteri baru nanti akan tinggi terutama terkait pengusutan kasus yang bisa saja akan meluas, tidak saja Edhy Prabowo ," katanya, Jumat (27/11/2020).
(Baca juga : Memilukan, Gadis 15 Tahun Disuguhkan Sang Pacar untuk Disetubuhi Beramai-ramai di Teras Madrasah )
Menurut Dedi, Presiden sudah seharusnya tidak kembali memilih kader Gerindra sebagai menteri KP karena publik akan sulit percaya terhadap komitmen pemberantasan korupsi jika KKP masih dipimpin Gerindra. "Hal ini tentu dilematis bagi Jokowi," urainya.
Pilihan Jokowi untuk merotasi menteri dan menempatkan kader Gerindra di pos selain KKP, itu pun harus melalui serangkaian dialog dengan mitra koalisi lainnya.
( ).
Menurutnya, secara politik Gerindra sangat tersudut jika tidak mendapat akomodasi dari Presiden dan mengubah haluan menjadi oposisi. Namun, tetap saja nama baik Gerindra telah cedera karena publik akan sangat mengingat kasus dugaan korupsi oleh elite Gerindra tersebut.
"Tidak ada kerugian signifikan jika Presiden tidak memberi peluang pada Gerindra atau bahkan kehilangan sebagai mitra koalisi, mengingat porsi pemerintah tetap dominan, dan peluang PAN masuk bisa saja terbuka menggantikan Gerindra," tuturnya.
( ).
Menurutnya, yang sedang bertaruh sebenarnya bukan Jokowi, karena Jokowi tidak lagi punya kepentingan elektoral, tetapi PDIP yang jauh lebih punya kepentingan agar Jokowi tidak lagi menempatkan Gerindra.
"Imbas pada citra Jokowi mungkin tidak terlalu banyak. Artinya citra Presiden telah dipengaruhi banyak hal sebelum ini, secara signifikan justru berimbas pada Prabowo yang sejauh ini menarasikan diri sebagai anti koruptor, bisa saja peluang Prabowo kembali berkontestasi bisa pupus jika Gerindra tidak lagi dominan," katanya.
Menurut Dedi, publik akan mengingat kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster ini sebagai catatan sangat buruk, mengingat Gerindra untuk pertama kalinya masuk kabinet, dan masih berumur pendek, namun langsung terjerat kasus dugaan korupsi. "Bahkan lambatnya Prabowo memberikan statement bisa saja ditafsir publik jika ia tahu bahwa ada tindakan kriminal yang dilakukan oleh Edhy jauh sebelum tertangkap," tuturnya.
(Baca juga : Mantab, Valentino Rossi Pede Juara Bersama SRT Petronas )
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini mengatakan, sebenarnya untuk memperbaiki citra Gerindra bukan perkara susah. Prabowo cukup membuktikan komitmen antikorupsi dengan segera memberhentikan Edhy, dan mengundurkan diri dari Menhan. "Fokus saja sebagai ketua umum parpol. Kondisi ini akan membangun simpati publik, dan harus menjaga agar kader Gerindra lain tidak ada yang kembali tersangkut kasus rasuah," katanya.
Menurutnya, langkah ini akan jauh miliki impact dibanding hanya menyampaikan kecaman dan peringatan pada kader. Terlebih, ini merupakan tahun politik seiring digelarnya pilkada di 270 kabupaten/kota dan provinsi sehingga Gerindra perlu menjaga kepercayaan publik.
Lihat Juga: Beredar Surat Ajakan Prabowo Memilih RK-Suswono, Riza Patria: Dibuat Bukan pada Masa Tenang
(zik)