UU Cipta Kerja Digugat, MK Mulai Sidangkan Uji Materi Serikat Buruh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Enam kelompok buruh dan tiga penggugat lain meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan tiga pasal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU Cipta Kerja ).
Sembilan kelompok tersebut yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPISI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP Farkes RI), Pekerja Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT Indonesia Epson Industry, Serikat Pekerja Otomotif Mesin dan Komponen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT Aisin Indonesia.
Tiga penggugat lain yaitu Donny Firmansyah selaku pekerja tetap pada PT Honda Precision Parts Manufacturing sebagai pemohon VII. Muhammad Latip selaku pekerja kontrak PT EDS Manufacturing Indonesia sebagai pemohon VIII. Terakhir, Bayu Prastyanto Ibrahim selaku pekerja alih daya PT Haleyora Powerindo (outsourcing) sebagai pemohon IX.
(Baca: Pelajar dan Mahasiswa Gugat Prosedur Pembuatan UU Cipta Kerja)
Para pemohon didampingi kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Hukum Buruh Menggungat Undang-Undang Cipta Kerja dipimpin langsung Hotma PD Sitompoel dengan anggota Andi Muhammad Asrun, Alvon Kurnia Palma, Wolfgang AW Yani Afif Johan, Rudol, Sumiyati, Philipus Harapenta Sitepu, Yudha Khana Saragih, dan Sunarto.
Para pemohon mengajukan uji materiil Pasal 81, 82, dan 83 UU Ciptaker terhadap UUD 1945, yaitu pada Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7); Pasal 27 ayat (2); Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28E ayat (3); dan Pasal 28I. Menurut para pemohon, pasal-pasal a aquo pada UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang pendahuluan Selasa (24/11/2020), hakim panel konstitusi yang dipimpin Arief Hidayat mendengarkan pembacaan permohonan uji materi .
Secara spesifik para pemohon menguji sejumlah ketentuan dalam UU Ciptaker. Masing-masing yakni Pasal 81 angka 3, Pasal 81 angka 4 tenaga kerja asing, Pasal 81 angka 12, angka 13, angka 15, angka 16, dan angka 17 terkait perjanjian kerja waktu tertentu, dan Pasal 81 angka 18, angka 19, dan angka 20 terkait pekerja alih daya atau outsourcing.
(Baca: KSPSI dan KSPI Resmi Ajukan Uji Materi UU Cipta Kerja ke MK)
Berikutnya, Pasal 81 angka 21 dan angka 22 ihwal rentang waktu kerja, Pasal 81 angka 23 tentang cuti, Pasal 81 angka 24, angka 25, angka 26, angka 27, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 35, dan angka 36 terkait upah minimum, dan Pasal 81 angka 37,l dan angka 38 tentang pemutusan hubungan kerja.
Selanjutnya, Pasal 81 angka 44, angka 45, angka 46, angka 50, angka 51, angka 52, angka 53, angka 54, angka 55, angka 56, angka 58, dan angka 61 tentang uang pesangon, uang penggantian hak, dan uang penghargaan masa kerja, Pasal 81 angka 62, angka 63, dan angka 65, dan angka 66 sehubungan dengan penghapusan sanksi pidana, dan Pasal 82 angka 1 dan angka 2 serta 83 angka 1 dan angka 2 tentang jaminan sosial.
Para pemohon meminta MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan MK berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo. Pemohon juga meminta MK menyatakan para pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
Lima hal lain dalam petitum yaitu, pertama, meminta MK menyatakan tanda baca titik, koma, dan kata atau setelah frasa lembaga pelatihan kerja swasta dalam Ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 13 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga Ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi lembaga pelatihan kerja swasta," tegas Asrun di hadapan para hakim konstitusi.
(Baca: Uji Materi ke MK Lebih Tepat Jika Tak Sepakat UU Ciptaker)
Kedua, menyatakan Ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 13 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketiga, menyatakan frasa dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam Ketentuan Pasal 13 ayat (4) yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 13 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Keempat, menyatakan Ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b yang termuat dalam Pasal 81 angka 3 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 37 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum.
Terakhir, menyatakan frasa dan program jaminan pekerjaan dalam Ketentuan Pasal 9 ayat (2) yang termuat dalam Pasal 83 angka 2 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 9 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sembilan, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
"Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih," ucap Asrun.
Ketua Hakim Panel Konstitusi MK Arief Hidayat menyatakan, pihaknya telah mendengar permohonan yang dibacakan serta telah menerima dan membaca salinan berkas permohonan yang diajukan para pemohon sebelum. Karenanya, hakim konstitusi memberikan nasihat atau masukan agar nanti ada perbaikan permohonan untuk penyempurnaan.
(Klik link ini untuk Ikuti survei SINDOnews tentang calon presiden 2024)
Hakim konstitusi Saldi Isra menegaskan, karena para pemohon sebagian besar merupakan perwakilan dari organisasi maka para pemohon atau organisasi harus berhati-hati dalam menjelaskan kedudukan hukum para pemohon hingga siapa yang bisa merepresentasikan organisasi sesuai dengan AD/ART organisasi di dalam maupun di luar pengadilan. Berikutnya harus juga bisa ditunjukkan pada bagian mana AD/ART menyebutkan representasi tersebut.
"Ditunjuk kira-kira mana anggaran dasar atau anggaran rumah tangga yang menentukan seperti itu dengan menunjuk buktinya. Jadi ini penjelasan yang menjelaskan siapa yang berwenang mewakili organisasi, kemudian di mana itu diatur di dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga organisasi atau badan hukum. Lalu kemudian ditunjuk secara jelas di buktinya itu mana bukti yang menyatakan seperti itu?," ujar Saldi.
Sembilan kelompok tersebut yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPISI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP Farkes RI), Pekerja Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT Indonesia Epson Industry, Serikat Pekerja Otomotif Mesin dan Komponen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT Aisin Indonesia.
Tiga penggugat lain yaitu Donny Firmansyah selaku pekerja tetap pada PT Honda Precision Parts Manufacturing sebagai pemohon VII. Muhammad Latip selaku pekerja kontrak PT EDS Manufacturing Indonesia sebagai pemohon VIII. Terakhir, Bayu Prastyanto Ibrahim selaku pekerja alih daya PT Haleyora Powerindo (outsourcing) sebagai pemohon IX.
(Baca: Pelajar dan Mahasiswa Gugat Prosedur Pembuatan UU Cipta Kerja)
Para pemohon didampingi kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Hukum Buruh Menggungat Undang-Undang Cipta Kerja dipimpin langsung Hotma PD Sitompoel dengan anggota Andi Muhammad Asrun, Alvon Kurnia Palma, Wolfgang AW Yani Afif Johan, Rudol, Sumiyati, Philipus Harapenta Sitepu, Yudha Khana Saragih, dan Sunarto.
Para pemohon mengajukan uji materiil Pasal 81, 82, dan 83 UU Ciptaker terhadap UUD 1945, yaitu pada Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7); Pasal 27 ayat (2); Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28E ayat (3); dan Pasal 28I. Menurut para pemohon, pasal-pasal a aquo pada UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang pendahuluan Selasa (24/11/2020), hakim panel konstitusi yang dipimpin Arief Hidayat mendengarkan pembacaan permohonan uji materi .
Secara spesifik para pemohon menguji sejumlah ketentuan dalam UU Ciptaker. Masing-masing yakni Pasal 81 angka 3, Pasal 81 angka 4 tenaga kerja asing, Pasal 81 angka 12, angka 13, angka 15, angka 16, dan angka 17 terkait perjanjian kerja waktu tertentu, dan Pasal 81 angka 18, angka 19, dan angka 20 terkait pekerja alih daya atau outsourcing.
(Baca: KSPSI dan KSPI Resmi Ajukan Uji Materi UU Cipta Kerja ke MK)
Berikutnya, Pasal 81 angka 21 dan angka 22 ihwal rentang waktu kerja, Pasal 81 angka 23 tentang cuti, Pasal 81 angka 24, angka 25, angka 26, angka 27, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 35, dan angka 36 terkait upah minimum, dan Pasal 81 angka 37,l dan angka 38 tentang pemutusan hubungan kerja.
Selanjutnya, Pasal 81 angka 44, angka 45, angka 46, angka 50, angka 51, angka 52, angka 53, angka 54, angka 55, angka 56, angka 58, dan angka 61 tentang uang pesangon, uang penggantian hak, dan uang penghargaan masa kerja, Pasal 81 angka 62, angka 63, dan angka 65, dan angka 66 sehubungan dengan penghapusan sanksi pidana, dan Pasal 82 angka 1 dan angka 2 serta 83 angka 1 dan angka 2 tentang jaminan sosial.
Para pemohon meminta MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan MK berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo. Pemohon juga meminta MK menyatakan para pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
Lima hal lain dalam petitum yaitu, pertama, meminta MK menyatakan tanda baca titik, koma, dan kata atau setelah frasa lembaga pelatihan kerja swasta dalam Ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 13 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga Ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi lembaga pelatihan kerja swasta," tegas Asrun di hadapan para hakim konstitusi.
(Baca: Uji Materi ke MK Lebih Tepat Jika Tak Sepakat UU Ciptaker)
Kedua, menyatakan Ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 13 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketiga, menyatakan frasa dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam Ketentuan Pasal 13 ayat (4) yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 13 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Keempat, menyatakan Ketentuan Pasal 37 ayat (1) huruf b yang termuat dalam Pasal 81 angka 3 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 37 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum.
Terakhir, menyatakan frasa dan program jaminan pekerjaan dalam Ketentuan Pasal 9 ayat (2) yang termuat dalam Pasal 83 angka 2 UU Ciptaker yang mengubah Ketentuan Pasal 9 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sembilan, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
"Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih," ucap Asrun.
Ketua Hakim Panel Konstitusi MK Arief Hidayat menyatakan, pihaknya telah mendengar permohonan yang dibacakan serta telah menerima dan membaca salinan berkas permohonan yang diajukan para pemohon sebelum. Karenanya, hakim konstitusi memberikan nasihat atau masukan agar nanti ada perbaikan permohonan untuk penyempurnaan.
(Klik link ini untuk Ikuti survei SINDOnews tentang calon presiden 2024)
Hakim konstitusi Saldi Isra menegaskan, karena para pemohon sebagian besar merupakan perwakilan dari organisasi maka para pemohon atau organisasi harus berhati-hati dalam menjelaskan kedudukan hukum para pemohon hingga siapa yang bisa merepresentasikan organisasi sesuai dengan AD/ART organisasi di dalam maupun di luar pengadilan. Berikutnya harus juga bisa ditunjukkan pada bagian mana AD/ART menyebutkan representasi tersebut.
"Ditunjuk kira-kira mana anggaran dasar atau anggaran rumah tangga yang menentukan seperti itu dengan menunjuk buktinya. Jadi ini penjelasan yang menjelaskan siapa yang berwenang mewakili organisasi, kemudian di mana itu diatur di dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga organisasi atau badan hukum. Lalu kemudian ditunjuk secara jelas di buktinya itu mana bukti yang menyatakan seperti itu?," ujar Saldi.
(muh)