Negara Semrawut, Tupoksi Tiap Lembaga Tak Terukur dan Tumpang Tindih
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rangkaian peristiwa mulai kedatangan Habib Rizieq Shihab hingga pencopotan baliho dan spanduk imam besar Front Pembela Islam (FPI) itu menunjukkan kacaunya negara. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menggambarkan situsai saat ini serba semrawut.
Itu bisa dilihat dari lembaga-lembaga negara yang tidak memiliki tupoksi yang jelas dan terukur. Ada tumpang tumpang tindih tupoksi dan tanggung jawab lintas sektor. "TNI memerintahkan penurunan baliho, bahkan meminta ormas dibubarkan, jelas tidak tepat. Tapi yang berwenang melakukan itu juga tidak bersikap," kata Ray kepada SINDOnews, Senin (23/11/2020).
(Baca: Rocky Gerung: TNI Bisa Bantu Turunkan Baliho kalau Satpol PP Nggak Bisa Manjat)
Dalam pencopotan baliho besar bergambar Habib Rizieq) misalnya, Ray mempertanyakan peran pemprov DKI Jakarta dan polisi. Apakah pemprov DKI Jakarta sudah memberi izin? Apakah baliho dan spanduk tersebut bayar pajak? Apakah pemprov sudah melakukan penertiban? Sementara polisi sendiri apa juga telah melakukan tugas penegakan hukum dan penertiban?
(Baca juga : Dua Cara Mengukur Kekuatan Pengaruh Habib Rizieq di Dunia Politik )
Menurut Ray, TNI telah memasuki wilayah lain di luar tugasnya, yaitu ranah penegakan hukum dan ketertiban yang sejatinya adalah tugas konstitusional polisi. Tetapi pertanyaannya, ke mana polisi?
”Polisi seperti sibuk dengan diri mereka sendiri. Mengerjakan yang tidak perlu, tapi akhirnya lupa pada yang lainnya. Aktif memproses pidana para aktivis yang mengakibatkan mereka seperti melewatkan peristiwa hukum lain. Semua kesemrawutan ini, tentu berpusat pada tanggungjawab presiden," tambahnya.
(Baca juga : 4.000 Bus Kembali Beroperasi, Transjakarta: Itu Baru 80 Persen )
Menurut dia, presiden harus memastikan bahwa semua alat negara, khususnya yang berada di bawah kewenangan kekuasaannya, tidak berjalan dengan tumpang tindih alias semerawut. Bukan saja karena hal ini akan membingungkan masyarakat, lebih dari itu, akan dapat melemahkan lagi pembenahan institusi dan alat negara.
"Kita telah menatanya dengan baik dan proporsional dalam 15 tahun terakhir. Tanggungjawab presiden untuk memastikan hal itu tetap berjalan bahkan meningkat lebih baik," jelas mantan aktivis 98 ini.
(Baca: Pengamat Militer Anggap Ancaman Pembubaran FPI Berlebihan dan Melampaui Kewenangan TNI)
Menurut Ray, mestinya dengan kasus kemarin, presiden segara memberi arahan bahwa menurunkan baliho bukanlah tugas TNI, tapi satpol PP, dan paling jauh adalah Polisi. Presiden juga harus memastikan bahwa polisi kita bekerja cepat dan tanggap agar tidak mengundang kesemerawutan berikutnya.
(Baca juga : Surga Sepeda Motor di Dunia, Indonesia Urutan Ketiga )
Sekalipun begitu, khususnya kepada HRS dan kelompoknya, juga perlu diingatkan untuk menjaga demokrasi yang berjalan. Salah satu cara menjaga demokrasi itu adalah menjaga keadaban publik. Mimbar kebebasan bersuara tidak boleh dipakai sebagai sarana untuk mencaci maki, menantang sana sini, dan bahkan sampai menghujat.
Baginya, keadaban publik juga menghajatkan adanya tenggangrasa dan penghormatan kepada warga negara lainnya. "Demokrasi itu bukan semata soal apa hak saya. Tapi juga soal menjaga hak orang lain. Dalam masa covid-19 seperti sekarang, penghimpunan massa jelas tidak bijaksana," tutur dia.
(Baca: Heboh Habib Rizieq sampai Anies, Rocky Gerung Sebut Mahfud MD Biang Keroknya)
Lebih lanjut, Ray mengatakan kepatuhan protokol kesehatan bukan karena ada larangan dari pemerintah. Tapi karena menjaga warga lain dari kemungkinan penyebaran virus covid-19, dan menghormati warga lainnya yang telah dengan susah payah menahan diri untuk mengikuti protokol covid 19.
"Kealfaan dan kesalahan orang lain tidak dengan sendirinya menjadi alasan berbuat hal yang sama. Menjaga keadaban publik ini adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama," pungkas dia.
Itu bisa dilihat dari lembaga-lembaga negara yang tidak memiliki tupoksi yang jelas dan terukur. Ada tumpang tumpang tindih tupoksi dan tanggung jawab lintas sektor. "TNI memerintahkan penurunan baliho, bahkan meminta ormas dibubarkan, jelas tidak tepat. Tapi yang berwenang melakukan itu juga tidak bersikap," kata Ray kepada SINDOnews, Senin (23/11/2020).
(Baca: Rocky Gerung: TNI Bisa Bantu Turunkan Baliho kalau Satpol PP Nggak Bisa Manjat)
Dalam pencopotan baliho besar bergambar Habib Rizieq) misalnya, Ray mempertanyakan peran pemprov DKI Jakarta dan polisi. Apakah pemprov DKI Jakarta sudah memberi izin? Apakah baliho dan spanduk tersebut bayar pajak? Apakah pemprov sudah melakukan penertiban? Sementara polisi sendiri apa juga telah melakukan tugas penegakan hukum dan penertiban?
(Baca juga : Dua Cara Mengukur Kekuatan Pengaruh Habib Rizieq di Dunia Politik )
Menurut Ray, TNI telah memasuki wilayah lain di luar tugasnya, yaitu ranah penegakan hukum dan ketertiban yang sejatinya adalah tugas konstitusional polisi. Tetapi pertanyaannya, ke mana polisi?
”Polisi seperti sibuk dengan diri mereka sendiri. Mengerjakan yang tidak perlu, tapi akhirnya lupa pada yang lainnya. Aktif memproses pidana para aktivis yang mengakibatkan mereka seperti melewatkan peristiwa hukum lain. Semua kesemrawutan ini, tentu berpusat pada tanggungjawab presiden," tambahnya.
(Baca juga : 4.000 Bus Kembali Beroperasi, Transjakarta: Itu Baru 80 Persen )
Menurut dia, presiden harus memastikan bahwa semua alat negara, khususnya yang berada di bawah kewenangan kekuasaannya, tidak berjalan dengan tumpang tindih alias semerawut. Bukan saja karena hal ini akan membingungkan masyarakat, lebih dari itu, akan dapat melemahkan lagi pembenahan institusi dan alat negara.
"Kita telah menatanya dengan baik dan proporsional dalam 15 tahun terakhir. Tanggungjawab presiden untuk memastikan hal itu tetap berjalan bahkan meningkat lebih baik," jelas mantan aktivis 98 ini.
(Baca: Pengamat Militer Anggap Ancaman Pembubaran FPI Berlebihan dan Melampaui Kewenangan TNI)
Menurut Ray, mestinya dengan kasus kemarin, presiden segara memberi arahan bahwa menurunkan baliho bukanlah tugas TNI, tapi satpol PP, dan paling jauh adalah Polisi. Presiden juga harus memastikan bahwa polisi kita bekerja cepat dan tanggap agar tidak mengundang kesemerawutan berikutnya.
(Baca juga : Surga Sepeda Motor di Dunia, Indonesia Urutan Ketiga )
Sekalipun begitu, khususnya kepada HRS dan kelompoknya, juga perlu diingatkan untuk menjaga demokrasi yang berjalan. Salah satu cara menjaga demokrasi itu adalah menjaga keadaban publik. Mimbar kebebasan bersuara tidak boleh dipakai sebagai sarana untuk mencaci maki, menantang sana sini, dan bahkan sampai menghujat.
Baginya, keadaban publik juga menghajatkan adanya tenggangrasa dan penghormatan kepada warga negara lainnya. "Demokrasi itu bukan semata soal apa hak saya. Tapi juga soal menjaga hak orang lain. Dalam masa covid-19 seperti sekarang, penghimpunan massa jelas tidak bijaksana," tutur dia.
(Baca: Heboh Habib Rizieq sampai Anies, Rocky Gerung Sebut Mahfud MD Biang Keroknya)
Lebih lanjut, Ray mengatakan kepatuhan protokol kesehatan bukan karena ada larangan dari pemerintah. Tapi karena menjaga warga lain dari kemungkinan penyebaran virus covid-19, dan menghormati warga lainnya yang telah dengan susah payah menahan diri untuk mengikuti protokol covid 19.
"Kealfaan dan kesalahan orang lain tidak dengan sendirinya menjadi alasan berbuat hal yang sama. Menjaga keadaban publik ini adalah tugas dan tanggungjawab kita bersama," pungkas dia.
(muh)