Tren Pelanggaran Protokol Kesehatan Meningkat Saat Kampanye Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat tren peningkatan jumlah pelanggaran protokol kesehatan oleh pasangan calon mendekati hari pemungutan suara Pilkada 2020 yang tersisa tiga pekan lagi.
Hasil evaluasi Bawaslu pada 10 hari kelima kampanye (5-14 November) jumlah pelanggaran protokol kesehatan tercatat 398 kasus. Dari jumlah itu, 17 kampanye pasangan calon terpaksa dibubarkan dan 381 diberi peringatan tertulis. (Baca: Niatkan Aktivitas Sehari-hari Bernilai Pahala)
Pelanggaran protokol kesehatan ini meningkat dibandingkan dengan 10 hari keempat kampanye (26 Oktober-4 November). Saat itu, pelanggaran sebanyak 333 kasus. Tren kenaikan jumlah pelanggaran protokol kesehatan sudah terlihat sejak masa awal kampanye digelar.
Pada 10 hari pertama (26 September-5 Oktober), pelanggaran tercatat 118 kasus. Pada 10 hari kedua (6-15 Oktober), kasusnya langsung melonjak menjadi 268 kasus. Memasuki 10 hari ketiga (16-25 Oktober), pelanggaran naik menjadi 331 kasus. Pada 10 hari keempat kampanye, jumlah pelanggaran menjadi 333 kasus.
“Total selama 50 hari tahapan kampanye, Bawaslu menertibkan sedikitnya 1.448 kegiatan kampanye tatap muka dan/atau pertemuan terbatas yang melanggar prokes. Pelanggaran di antaranya karena kerumunan orang tanpa menjaga jarak, tidak menggunakan masker atau tidak tersedianya penyanitasi tangan,” ujar anggota Bawaslu RI Muhammad Afifuddin, di Jakarta, kemarin. (Baca juga: Kemendikbud Pastikan Bantuan Subsidi Upah guru dan Dosen Cair Bulan Ini)
Sejak awal kampanye, pasangan calon yang bertarung di 270 daerah yang menggelar pilkada diingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan demi menghindari penularan virus corona (Covid-19). Tanpa protokol kesehatan dikhawatirkan tercipta klaster Covid-19 dari kegiatan pilkada.
Bawaslu mengakui terjadi tren peningkatan pelanggaran protokol kesehatan ini, tetapi kabar baiknya jumlah kampanye yang dibubarkan oleh Bawaslu menurun. Pada 10 hari kelima kampanye, dari 398 pelanggaran, yang dibubarkan Bawaslu hanya 17 kasus. Artinya, meski pelanggaran makin banyak, sebagian besar cukup diberi peringatan tertulis. “Pelanggaran meningkat, tapi pembubaran kampanye menurun. Mungkin karena sudah makin diantisipasi,” kata Afifuddin.
Naiknya jumlah pelanggaran protokol kesehatan ini sejalan dengan meningkatnya kegiatan kampanye tatap muka oleh calon. Kebanyakan calon mengabaikan kampanye daring meski dianjurkan oleh pemerintah. (Baca juga: Tetap Jaga Berat Badan Selama Pandemi)
Pada 10 hari kelima kampanye, total ada 17.738 kegiatan kampanye dengan metode tatap muka dan/atau pertemuan terbatas yang dicatat Bawaslu. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan pada masa 10 hari keempat kampanye, yakni 16.574 kegiatan.
Pengamat politik Hendri Satrio mengatakan, pelanggaran protokol kesehatan oleh calon mudah terjadi karena lemahnya aturan. Dia menyebut Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu tidak tegas sejak awal.
“Ini karena lemahnya Bawaslu dan KPU. Tidak ada sanksi tegas berupa diskualifikasi bagi calon yang melanggar. Kalau hanya sanksi teguran, pasti diterabas. Kalau berani, kasih sanksi diskualifikasi,” ujarnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri Syafrizal mengatakan, pelaksanaan pilkada masih dalam tataran kondusif dan terkendali. Menurutnya, dari hasil evaluasi belum terbukti pilkada menimbulkan klaster baru yang signifikan. Bahkan, terjadi penurunan zonasi risiko Covid-19 di daerah-daerah peserta pilkada. “Ini menarik ya. Dari data yang kami kumpulkan, malah terjadi penurunan zonasi risiko,” katanya. (Baca juga: 4 Fakta tentang Partai Ummat, Partai Baru Amien Rais)
Syafrizal menyebut saat awal penyelenggaraan kampanye terdapat 45 daerah peserta pilkada yang berzona merah atau risiko tinggi penularan Covid-19. Namun, per 8 November lalu menurun tinggal belasan saja. “Ini data 8 November, daerah merah di zonasi atau di daerah yang melakukan pilkada di 309 daerah itu turun menjadi 18 daerah,” ujarnya.
Menurutnya, daerah yang melaksanakan pilkada justru ada penurunan jumlah zona merah. Sementara di daerah yang tidak ada pilkada justru terjadi peningkatan. “Jadi, daerah yang ada pilkada maupun tidak ada pilkada sangat tergantung terhadap protokol kesehatan . Manakala aturan yang ada ditepati, ditaati, dan dipatuhi, kita yakin pelaksanaan pilkada bisa berjalan lebih baik lagi,” tuturnya.
Syafrizal mengatakan berdasarkan data Bawaslu yang per 31 Oktober 2020, dari total 13.646 kampanye tatap muka terdapat 306 pelanggaran protokol kesehatan. Jumlah pelanggaran itu, kata dia, tidaklah signifikan.
“Menurut kami, masih dalam batas yang tak terlalu signifikan dan tidak ada juga yang (kerumunan kampanyenya) ribuan. Enggak ada juga. Memang batasnya 50, tetapi lebih seperti 70, 100 masih ada,” tandasnya.
Syafrizal mengaku pihaknya hanya memberi sanksi teguran tertulis kepala daerah yang berkerumun karena tidak berwenang menegur pasangan calon. “Mendagri menegur 82 kepala daerah yang melakukan atau membiarkan, juga ikut berkerumun karena mengumpulkan massa yang banyak. Tegurannya bukan lisan, teguran tertulis. Ada 82 daerah sebelum kampanye,” katanya. (Baca juga: Minyak Sawit Topang Ekspor Indonesia Sebesar 15 Persen)
Tegakkan Hukum
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengingatkan pentingnya protokol kesehatan dipatuhi seluruh masyarakat. Jokowi juga meminta Mendagri tak segan-segan jika ada kepala daerah yang terkesan membiarkan atau bahkan ikut dalam kerumunan massa yang berpotensi terjadinya penularan Covid-19.
Pernyataan Jokowi itu memang tak menyasar kepada salah satu kepala daerah, tetapi disinyalir pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu erat kaitan dengan peristiwa kerumunan massa dalam kegiatan yang dihadiri Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) selama berada di Tanah Air.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai apa yang disampaikan Jokowi itu suatu penegasan bahwa jika kita berprinsip masih memegang hukum sebagai panglima, tegakkan hukum kepada siapa pun. "Tak boleh pandang bulu," ujarnya.
Menurut Ujang, berceramah tak dilarang. Yang dilarang itu jika menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekkan pihak lain. Di sisi lain, dia melihat persoalan saat ini hukum bisa diatur dan dimainkan sehingga membuat masyarakat hilang kepercayaan. (Baca juga: Hamas-Fatah Kembali Gelar Pertemuan Rekonsiliasi)
Dia pun meminta agar pemerintah tegas dalam membatasi kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa membedakan warna politiknya. "Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Di negara ini semua ada aturannya. Siapa pun yang melanggar aturan, ya harus ditindak," ungkapnya.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo akan menindak tegas siapa pun yang tidak mematuhi standar protokol kesehatan penanganan Covid-19, termasuk pada perhelatan pilkada.
Menurut Listyo, pengorbanan besar dokter maupun perawat yang sudah merelakan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawa, jangan sampai sia-sia akibat adanya segelintir masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan.
"Hargai perjuangan tenaga kesehatan. Sejak awal mereka sudah habis-habisan mengeluarkan tenaga, pikiran, sampai nyawa untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Jangan sampai karena segelintir orang, perjuangan itu menjadi sia-sia," kata Listyo. (Lihat videonya: Bonasi Kelapa, Varian Bonsai yang Bernilai Tinggi)
Listyo mengatakan, Korps Bhayangkara sangat menjunjung tinggi asas Salus Populi Suprema Lex Exto atau Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi. "Keselamatan masyarakat dan menyelamatkan nyawa manusia adalah hukum tertinggi dan itu wajib dilakukan oleh kita semua," ujarnya. (Bakti/Dita Angga/Rahmatullah)
Lihat Juga: Bawaslu Ungkap Pilkada Puncak Jaya Ricuh, Terjadi Perang Antarpendukung hingga Pembakaran Rumah
Hasil evaluasi Bawaslu pada 10 hari kelima kampanye (5-14 November) jumlah pelanggaran protokol kesehatan tercatat 398 kasus. Dari jumlah itu, 17 kampanye pasangan calon terpaksa dibubarkan dan 381 diberi peringatan tertulis. (Baca: Niatkan Aktivitas Sehari-hari Bernilai Pahala)
Pelanggaran protokol kesehatan ini meningkat dibandingkan dengan 10 hari keempat kampanye (26 Oktober-4 November). Saat itu, pelanggaran sebanyak 333 kasus. Tren kenaikan jumlah pelanggaran protokol kesehatan sudah terlihat sejak masa awal kampanye digelar.
Pada 10 hari pertama (26 September-5 Oktober), pelanggaran tercatat 118 kasus. Pada 10 hari kedua (6-15 Oktober), kasusnya langsung melonjak menjadi 268 kasus. Memasuki 10 hari ketiga (16-25 Oktober), pelanggaran naik menjadi 331 kasus. Pada 10 hari keempat kampanye, jumlah pelanggaran menjadi 333 kasus.
“Total selama 50 hari tahapan kampanye, Bawaslu menertibkan sedikitnya 1.448 kegiatan kampanye tatap muka dan/atau pertemuan terbatas yang melanggar prokes. Pelanggaran di antaranya karena kerumunan orang tanpa menjaga jarak, tidak menggunakan masker atau tidak tersedianya penyanitasi tangan,” ujar anggota Bawaslu RI Muhammad Afifuddin, di Jakarta, kemarin. (Baca juga: Kemendikbud Pastikan Bantuan Subsidi Upah guru dan Dosen Cair Bulan Ini)
Sejak awal kampanye, pasangan calon yang bertarung di 270 daerah yang menggelar pilkada diingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan demi menghindari penularan virus corona (Covid-19). Tanpa protokol kesehatan dikhawatirkan tercipta klaster Covid-19 dari kegiatan pilkada.
Bawaslu mengakui terjadi tren peningkatan pelanggaran protokol kesehatan ini, tetapi kabar baiknya jumlah kampanye yang dibubarkan oleh Bawaslu menurun. Pada 10 hari kelima kampanye, dari 398 pelanggaran, yang dibubarkan Bawaslu hanya 17 kasus. Artinya, meski pelanggaran makin banyak, sebagian besar cukup diberi peringatan tertulis. “Pelanggaran meningkat, tapi pembubaran kampanye menurun. Mungkin karena sudah makin diantisipasi,” kata Afifuddin.
Naiknya jumlah pelanggaran protokol kesehatan ini sejalan dengan meningkatnya kegiatan kampanye tatap muka oleh calon. Kebanyakan calon mengabaikan kampanye daring meski dianjurkan oleh pemerintah. (Baca juga: Tetap Jaga Berat Badan Selama Pandemi)
Pada 10 hari kelima kampanye, total ada 17.738 kegiatan kampanye dengan metode tatap muka dan/atau pertemuan terbatas yang dicatat Bawaslu. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan pada masa 10 hari keempat kampanye, yakni 16.574 kegiatan.
Pengamat politik Hendri Satrio mengatakan, pelanggaran protokol kesehatan oleh calon mudah terjadi karena lemahnya aturan. Dia menyebut Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu tidak tegas sejak awal.
“Ini karena lemahnya Bawaslu dan KPU. Tidak ada sanksi tegas berupa diskualifikasi bagi calon yang melanggar. Kalau hanya sanksi teguran, pasti diterabas. Kalau berani, kasih sanksi diskualifikasi,” ujarnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri Syafrizal mengatakan, pelaksanaan pilkada masih dalam tataran kondusif dan terkendali. Menurutnya, dari hasil evaluasi belum terbukti pilkada menimbulkan klaster baru yang signifikan. Bahkan, terjadi penurunan zonasi risiko Covid-19 di daerah-daerah peserta pilkada. “Ini menarik ya. Dari data yang kami kumpulkan, malah terjadi penurunan zonasi risiko,” katanya. (Baca juga: 4 Fakta tentang Partai Ummat, Partai Baru Amien Rais)
Syafrizal menyebut saat awal penyelenggaraan kampanye terdapat 45 daerah peserta pilkada yang berzona merah atau risiko tinggi penularan Covid-19. Namun, per 8 November lalu menurun tinggal belasan saja. “Ini data 8 November, daerah merah di zonasi atau di daerah yang melakukan pilkada di 309 daerah itu turun menjadi 18 daerah,” ujarnya.
Menurutnya, daerah yang melaksanakan pilkada justru ada penurunan jumlah zona merah. Sementara di daerah yang tidak ada pilkada justru terjadi peningkatan. “Jadi, daerah yang ada pilkada maupun tidak ada pilkada sangat tergantung terhadap protokol kesehatan . Manakala aturan yang ada ditepati, ditaati, dan dipatuhi, kita yakin pelaksanaan pilkada bisa berjalan lebih baik lagi,” tuturnya.
Syafrizal mengatakan berdasarkan data Bawaslu yang per 31 Oktober 2020, dari total 13.646 kampanye tatap muka terdapat 306 pelanggaran protokol kesehatan. Jumlah pelanggaran itu, kata dia, tidaklah signifikan.
“Menurut kami, masih dalam batas yang tak terlalu signifikan dan tidak ada juga yang (kerumunan kampanyenya) ribuan. Enggak ada juga. Memang batasnya 50, tetapi lebih seperti 70, 100 masih ada,” tandasnya.
Syafrizal mengaku pihaknya hanya memberi sanksi teguran tertulis kepala daerah yang berkerumun karena tidak berwenang menegur pasangan calon. “Mendagri menegur 82 kepala daerah yang melakukan atau membiarkan, juga ikut berkerumun karena mengumpulkan massa yang banyak. Tegurannya bukan lisan, teguran tertulis. Ada 82 daerah sebelum kampanye,” katanya. (Baca juga: Minyak Sawit Topang Ekspor Indonesia Sebesar 15 Persen)
Tegakkan Hukum
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengingatkan pentingnya protokol kesehatan dipatuhi seluruh masyarakat. Jokowi juga meminta Mendagri tak segan-segan jika ada kepala daerah yang terkesan membiarkan atau bahkan ikut dalam kerumunan massa yang berpotensi terjadinya penularan Covid-19.
Pernyataan Jokowi itu memang tak menyasar kepada salah satu kepala daerah, tetapi disinyalir pernyataan orang nomor satu di Indonesia itu erat kaitan dengan peristiwa kerumunan massa dalam kegiatan yang dihadiri Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) selama berada di Tanah Air.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai apa yang disampaikan Jokowi itu suatu penegasan bahwa jika kita berprinsip masih memegang hukum sebagai panglima, tegakkan hukum kepada siapa pun. "Tak boleh pandang bulu," ujarnya.
Menurut Ujang, berceramah tak dilarang. Yang dilarang itu jika menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekkan pihak lain. Di sisi lain, dia melihat persoalan saat ini hukum bisa diatur dan dimainkan sehingga membuat masyarakat hilang kepercayaan. (Baca juga: Hamas-Fatah Kembali Gelar Pertemuan Rekonsiliasi)
Dia pun meminta agar pemerintah tegas dalam membatasi kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, tanpa membedakan warna politiknya. "Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Di negara ini semua ada aturannya. Siapa pun yang melanggar aturan, ya harus ditindak," ungkapnya.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo akan menindak tegas siapa pun yang tidak mematuhi standar protokol kesehatan penanganan Covid-19, termasuk pada perhelatan pilkada.
Menurut Listyo, pengorbanan besar dokter maupun perawat yang sudah merelakan waktu, tenaga, pikiran, bahkan nyawa, jangan sampai sia-sia akibat adanya segelintir masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan.
"Hargai perjuangan tenaga kesehatan. Sejak awal mereka sudah habis-habisan mengeluarkan tenaga, pikiran, sampai nyawa untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Jangan sampai karena segelintir orang, perjuangan itu menjadi sia-sia," kata Listyo. (Lihat videonya: Bonasi Kelapa, Varian Bonsai yang Bernilai Tinggi)
Listyo mengatakan, Korps Bhayangkara sangat menjunjung tinggi asas Salus Populi Suprema Lex Exto atau Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi. "Keselamatan masyarakat dan menyelamatkan nyawa manusia adalah hukum tertinggi dan itu wajib dilakukan oleh kita semua," ujarnya. (Bakti/Dita Angga/Rahmatullah)
Lihat Juga: Bawaslu Ungkap Pilkada Puncak Jaya Ricuh, Terjadi Perang Antarpendukung hingga Pembakaran Rumah
(ysw)