Putus Penularan Covid-19, Penerapan 3M dan 3T Harus Berjalan Seiring
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kesadaran masyarakat dalam penerapan 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun) sejauh ini sudah sangat baik. Sayangnya, kesadaran ini tidak berbanding lurus dengan penerapan 3T (testing, tracing, dan treatment). Padahal, untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 , penerapan 3M dan 3T harus berjalan seiring.
Idealnya, saat berjalan beriring, ketika 3M yang diterapkan sukses, 3T seharusnya juga sukses. Namun, ketika 3M saja yang diterapkan dan 3T tidak, bisa dipastikan upaya yang dilakukan tidak akan membuahkan kesuksesan. “Agak susah ya (menurunkan kasus Covid-19) kalau (3M dan 3T) tidak berjalan bersama,” kata Penasihat Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Investasi Monica Nirmala dalam dialog KPC PEN bertema “Optimisme Masyarakat Terhadap 3T Secara Virtual” kemarin. (Baca: Gelombang PHK Tak Terbendung, Pengangguran di Bekasi Melonjak)
Menurut Monic—sapaannya, 3M berbicara tentang peran sebagai individu seperti memakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. “Tapi, kalau testing, tracing, ini berbicara tentang bahwa kita memberikan notifikasi atau pemberitahuan kepada orang-orang di sekitar kita untuk waspada gitu. Oh, bisa jadi kamu tertular Covid-19. Karena itu, kamu perlu melakukan karantina. Jadi, memang ada satu proses yang tidak hanya individu, tetapi juga melibatkan komunal gitu atau orang yang lebih banyak,” ucap Monica.
Monica tak menampik, dalam banyak diskusi yang mereka temukan di lapangan terutama di daerah, bahwa masih ada masyarakat yang takut dilakukan testing sebagai bagian dari proses 3T. “Mungkin kalau dites petugas kesehatan yang pakai baju putih-putih gitu, ya agak takut gitu. Jadi, di kesempatan ini saya ingin menekankan kepada publik bahwa jangan takut dengan tenaga kesehatan yang begitu. Justru mereka ingin memeriksa Bapak-Ibu karena mereka sayang, ingin memastikan bagaimana kondisi kesehatan Bapak-Ibu,” ungkap Monica.
Di kesempatan yang sama, Managing Director IPSOS Indonesia Soeprapto Tan mengungkapkan dari survei menunjukkan bahwa sebanyak 71% masyarakat Indonesia sudah memahami 3T salah satu langkah untuk memutus penularan Covid-19. Sekitar 29% masyarakat tidak aware atau tidak mengerti sebenarnya 3T itu apa. Kondisi ini berbeda terhadap pemahaman masyarakat tentang 3M, yang 99% sudah sangat paham apa itu 3M. “Kalau 99% ini biasanya orang sudah autopilot,” selorohnya. (Baca juga: Kenali Ciri-ciri Rumah Tangga Diganggu Setan Dasim)
Berdasarkan data ini, imbuh Soeprapto, ada kesan bahwa 3M dan 3T adalah dua hal yang berbeda. Padahal, keduanya harus menjadi kesatuan untuk memutus rantai penularan Covid-19 . Apalagi, saat ini lebih masif iklan-iklan mengenai 3M dibandingkan 3T. “Memang kan awal campaign-nya kan fokus kita disiplin kepada 3M di radio, di sosial media pun, bahkan di TV pun social aware-nya lebih tinggi dibandingkan dengan 3T. Jadi ya sekarang seharusnya progressing ya, 3M udah, dan saya rasa sekarang saatnya 3T dimasifkan,” tegas Soeprapto.
Peran Lembaga Filantropi Kesehatan
Sementara di tempat terpisah, lembaga Filantropi Indonesia bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) dan Yayasan TAHIJA meluncurkan Kluster Filantropi Kesehatan.
Kluster ini dibentuk dalam rangka meningkatkan kualitas program kesehatan yang didukung, didanai, dan dikelola oleh lembaga-lembaga filantropi di Indonesia. Pembentukan kluster ini juga diharapkan bisa membantu mengatasi dampak kesehatan yang muncul akibat pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia yang membutuhkan sumber daya dan dukungan dari filantropi.
Peluncuran Kluster Filantropi Kesehatan ini digelar di sela-sela workshop “Menggali Potensi Filantropi untuk Andil Indonesia” yang digelar di Jakarta kemarin. Pada acara ini Filantropi Indonesia juga mengukuhkan dan mengenalkan PKMK FK-KMK UGM dan Yayasan TAHIJA sebagai koordinator Kluster Filantropi Kesehatan kepada para penggiat filantropi. (Baca juga: Bantuan Kuota Internet, Naidem Minta Kepsek Segera Unggah Surat Pernyataan)
Direktur Filantropi Indonesia Hamid Abidin menyatakan bahwa pembentukan Kluster Filantropi Kesehatan ini dinilai penting karena isu atau sektor kesehatan merupakan salah satu program yang banyak didukung oleh masyarakat, lembaga filantropi, maupun sektor swasta. Di sisi lain, kesehatan masih menjadi masalah utama di Indonesia yang membutuhkan banyak dukungan. Problem kesehatan ini menjadi lebih kompleks mana kala pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan ditetapkan sebagai bencana kesehatan.
“Di tengah krisis ekonomi dan pembatasan interaksi dan mobilitas karena kebijakan penanganan Covid-19, Filantropi (Indonesia) dituntut untuk membantu pemerintah dalam mendukung penanganan Covid-19 dan dampak sosialnya. Kluster Filantropi Kesehatan ini diharapkan bisa menjadi forum bersama bagi lembaga-lembaga filantropi untuk andil dalam Indonesia Sehat melalui kegiatan riset, berbagi informasi, meningkatkan kapasitas, melakukan advokasi kebijakan, serta mengembangkan kolaborasi dengan sektor lainnya,” kata Hamid Abidin. (Baca juga: Manfaat Produk Herbal untuk Ibu Hamil dan Menyusui)
Ketua PKMK FK-KMK UGM Prof Laksono Trisnantoro menambahkan bahwa filantropi kesehatan dibutuhkan karena kondisi sektor kesehatan di Indonesia berada dalam situasi ekonomi yang sulit, dalam konteks kemampuan pemerintah untuk mendanai sektor kesehatan. Tuntutan dan kebutuhan dukungan sumber daya untuk sektor kesehatan semakin meningkat manakala wabah Covid-19 melanda Indonesia. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan dana kebencanaan dari APBN dan APBD untuk mendanai program pencegahan dan perawatan Covid-19, intervensi ini tentu masih akan belum cukup untuk menanggapi secara keseluruhan dikarenakan sifatnya yang kaku dan lambat sehingga sulit jika menanggapi perbedaan kondisi lapangan.
“Dengan semangat gotong-royong dan solidaritas yang meningkat di masyarakat pada masa pandemi Covid-19, filantropi memiliki peran yang besar dalam melengkapi kehadiran program pemerintah karena sifat aksinya yang fleksibel dan cepat,” kata Prof Laksono. (Lihat videonya: Angin Putig Beliung Rusak Sejumlah Rumah)
Sementara mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang tampil sebagai pembicara utama di peluncuran kluster itu memberikan saran mengenai beberapa fokus isu dan garapan Kluster Filantropi Kesehatan. Yang lebih penting lagi, filantropi juga perlu membantu penanganan Covid-19 karena pandemi ini tidak hanya berpengaruh pada sektor kesehatan, tapi juga seluruh sendi kehidupan masyarakat di Indonesia. “Kalau bicara tentang gerakan kesehatan masyarakat, kita tidak bisa menggantungkan pendanaan untuk program-program itu dari pemerintah, tapi perlu menggerakkan inisiatif dan dukungan masyarakat melalui filantropi,” tandasnya. (Binti Mufarida/Hendri Irawan)
Idealnya, saat berjalan beriring, ketika 3M yang diterapkan sukses, 3T seharusnya juga sukses. Namun, ketika 3M saja yang diterapkan dan 3T tidak, bisa dipastikan upaya yang dilakukan tidak akan membuahkan kesuksesan. “Agak susah ya (menurunkan kasus Covid-19) kalau (3M dan 3T) tidak berjalan bersama,” kata Penasihat Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Investasi Monica Nirmala dalam dialog KPC PEN bertema “Optimisme Masyarakat Terhadap 3T Secara Virtual” kemarin. (Baca: Gelombang PHK Tak Terbendung, Pengangguran di Bekasi Melonjak)
Menurut Monic—sapaannya, 3M berbicara tentang peran sebagai individu seperti memakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. “Tapi, kalau testing, tracing, ini berbicara tentang bahwa kita memberikan notifikasi atau pemberitahuan kepada orang-orang di sekitar kita untuk waspada gitu. Oh, bisa jadi kamu tertular Covid-19. Karena itu, kamu perlu melakukan karantina. Jadi, memang ada satu proses yang tidak hanya individu, tetapi juga melibatkan komunal gitu atau orang yang lebih banyak,” ucap Monica.
Monica tak menampik, dalam banyak diskusi yang mereka temukan di lapangan terutama di daerah, bahwa masih ada masyarakat yang takut dilakukan testing sebagai bagian dari proses 3T. “Mungkin kalau dites petugas kesehatan yang pakai baju putih-putih gitu, ya agak takut gitu. Jadi, di kesempatan ini saya ingin menekankan kepada publik bahwa jangan takut dengan tenaga kesehatan yang begitu. Justru mereka ingin memeriksa Bapak-Ibu karena mereka sayang, ingin memastikan bagaimana kondisi kesehatan Bapak-Ibu,” ungkap Monica.
Di kesempatan yang sama, Managing Director IPSOS Indonesia Soeprapto Tan mengungkapkan dari survei menunjukkan bahwa sebanyak 71% masyarakat Indonesia sudah memahami 3T salah satu langkah untuk memutus penularan Covid-19. Sekitar 29% masyarakat tidak aware atau tidak mengerti sebenarnya 3T itu apa. Kondisi ini berbeda terhadap pemahaman masyarakat tentang 3M, yang 99% sudah sangat paham apa itu 3M. “Kalau 99% ini biasanya orang sudah autopilot,” selorohnya. (Baca juga: Kenali Ciri-ciri Rumah Tangga Diganggu Setan Dasim)
Berdasarkan data ini, imbuh Soeprapto, ada kesan bahwa 3M dan 3T adalah dua hal yang berbeda. Padahal, keduanya harus menjadi kesatuan untuk memutus rantai penularan Covid-19 . Apalagi, saat ini lebih masif iklan-iklan mengenai 3M dibandingkan 3T. “Memang kan awal campaign-nya kan fokus kita disiplin kepada 3M di radio, di sosial media pun, bahkan di TV pun social aware-nya lebih tinggi dibandingkan dengan 3T. Jadi ya sekarang seharusnya progressing ya, 3M udah, dan saya rasa sekarang saatnya 3T dimasifkan,” tegas Soeprapto.
Peran Lembaga Filantropi Kesehatan
Sementara di tempat terpisah, lembaga Filantropi Indonesia bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) dan Yayasan TAHIJA meluncurkan Kluster Filantropi Kesehatan.
Kluster ini dibentuk dalam rangka meningkatkan kualitas program kesehatan yang didukung, didanai, dan dikelola oleh lembaga-lembaga filantropi di Indonesia. Pembentukan kluster ini juga diharapkan bisa membantu mengatasi dampak kesehatan yang muncul akibat pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia yang membutuhkan sumber daya dan dukungan dari filantropi.
Peluncuran Kluster Filantropi Kesehatan ini digelar di sela-sela workshop “Menggali Potensi Filantropi untuk Andil Indonesia” yang digelar di Jakarta kemarin. Pada acara ini Filantropi Indonesia juga mengukuhkan dan mengenalkan PKMK FK-KMK UGM dan Yayasan TAHIJA sebagai koordinator Kluster Filantropi Kesehatan kepada para penggiat filantropi. (Baca juga: Bantuan Kuota Internet, Naidem Minta Kepsek Segera Unggah Surat Pernyataan)
Direktur Filantropi Indonesia Hamid Abidin menyatakan bahwa pembentukan Kluster Filantropi Kesehatan ini dinilai penting karena isu atau sektor kesehatan merupakan salah satu program yang banyak didukung oleh masyarakat, lembaga filantropi, maupun sektor swasta. Di sisi lain, kesehatan masih menjadi masalah utama di Indonesia yang membutuhkan banyak dukungan. Problem kesehatan ini menjadi lebih kompleks mana kala pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan ditetapkan sebagai bencana kesehatan.
“Di tengah krisis ekonomi dan pembatasan interaksi dan mobilitas karena kebijakan penanganan Covid-19, Filantropi (Indonesia) dituntut untuk membantu pemerintah dalam mendukung penanganan Covid-19 dan dampak sosialnya. Kluster Filantropi Kesehatan ini diharapkan bisa menjadi forum bersama bagi lembaga-lembaga filantropi untuk andil dalam Indonesia Sehat melalui kegiatan riset, berbagi informasi, meningkatkan kapasitas, melakukan advokasi kebijakan, serta mengembangkan kolaborasi dengan sektor lainnya,” kata Hamid Abidin. (Baca juga: Manfaat Produk Herbal untuk Ibu Hamil dan Menyusui)
Ketua PKMK FK-KMK UGM Prof Laksono Trisnantoro menambahkan bahwa filantropi kesehatan dibutuhkan karena kondisi sektor kesehatan di Indonesia berada dalam situasi ekonomi yang sulit, dalam konteks kemampuan pemerintah untuk mendanai sektor kesehatan. Tuntutan dan kebutuhan dukungan sumber daya untuk sektor kesehatan semakin meningkat manakala wabah Covid-19 melanda Indonesia. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan dana kebencanaan dari APBN dan APBD untuk mendanai program pencegahan dan perawatan Covid-19, intervensi ini tentu masih akan belum cukup untuk menanggapi secara keseluruhan dikarenakan sifatnya yang kaku dan lambat sehingga sulit jika menanggapi perbedaan kondisi lapangan.
“Dengan semangat gotong-royong dan solidaritas yang meningkat di masyarakat pada masa pandemi Covid-19, filantropi memiliki peran yang besar dalam melengkapi kehadiran program pemerintah karena sifat aksinya yang fleksibel dan cepat,” kata Prof Laksono. (Lihat videonya: Angin Putig Beliung Rusak Sejumlah Rumah)
Sementara mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang tampil sebagai pembicara utama di peluncuran kluster itu memberikan saran mengenai beberapa fokus isu dan garapan Kluster Filantropi Kesehatan. Yang lebih penting lagi, filantropi juga perlu membantu penanganan Covid-19 karena pandemi ini tidak hanya berpengaruh pada sektor kesehatan, tapi juga seluruh sendi kehidupan masyarakat di Indonesia. “Kalau bicara tentang gerakan kesehatan masyarakat, kita tidak bisa menggantungkan pendanaan untuk program-program itu dari pemerintah, tapi perlu menggerakkan inisiatif dan dukungan masyarakat melalui filantropi,” tandasnya. (Binti Mufarida/Hendri Irawan)
(ysw)