Ekonomi Politik Vaksinasi Covid-19
loading...
A
A
A
Idil Akbar
Pengajar pada Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia
PERTANYAAN awal yang ingin diajukan, hal menarik apalagi dari pembicaraan tentang Covid-19 sekarang ini? Apakah soal penderita yang terus bertambah, yang dibarengi dengan kesembuhan penderita yang juga cenderung meningkat? Itu sudah tidak menarik. Ataukah soal vaksin yang konon akan beredar luas sebentar lagi? Itu memang kabar yang cukup menggembirakan, tapi apakah orang-orang merespons baik kabar tersebut?
Menarik mencermati pendapat masyarakat Indonesia terhadap vaksin ini. Pada akhir Oktober lalu Kementerian Kesehatan RI bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) merilis hasil survei dengan hasil 64,8% masyarakat bersedia divaksinasi, 7,6% menolak, dan 26% masih ragu (Kemenkes RI, 2020).
Mungkin kita bertanya, mengapa orang yang mau divaksinasi tidak mencapai, katakanlah 99% (dengan plus minus margin of error jika menggunakan sampling 1%), untuk menggambarkan bahwa tidak ada penolakan dan keraguan orang Indonesia terhadap niat pemerintah memberikan vaksin Covid-19 ini? Apakah orang-orang masih relatif belum meyakini sepenuhnya bahwa vaksin tersebut nanti bisa berefek terhadap peningkatan imunitas tubuh dari serangan Covid-19?
Ataukah keraguan itu muncul dari masalah pengambilan kebijakan oleh pemerintah yang terkesan tergesa-gesa tanpa disertai pembuktian empiris akan khasiat lanjutan vaksin? Mari kita telaah sedikit agar tidak sekadar mensimplifikasi persoalan ke dalam dikotomi perdebatan yakin atau ragu; mau atau tidak; atau (dalam kacamata pemerintah) butuh effort sosialisasi yang lebih intens.
Tawar Menawar Lemah
Vaksin Covid-19 jika dipandang dalam kacamata ekonomi politik bukan sekadar obat atau alat peningkat imunitas tubuh dari penularan Covid-19 semata. Vaksin Covid-19 juga berasosiasi dengan kepentingan ekonomi politik banyak negara. Di dalamnya terkandung dominasi kekuasaan, bahkan hegemoni dan infiltrasi kepentingan pasar suatu negara.
Dalam refleksi kapitalisme, vaksin Covid-19 berkorelasi terhadap kepentingan negara dalam kerangka menciptakan sumber-sumber kekayaan baru dan meningkatkan pendapatan. Vaksin Covid-19 dengan kata lain--meminjam istilah Caporaso dan Lavine (2015)-- merupakan bentuk dari “kekayaan yang terkondisikan”. Sebab dalam hal ini negara membangun relasi kekuasaan dengan entitas swasta (perusahaan, kapitalis, dan organisasi pekerja dan konsumen) untuk sama-sama memproduksi dan mendistribusikan kekayaan.
Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, dalam batasan kepentingan secara besar, Indonesia adalah negara konsumen. Jika pun Indonesia masuk di dalam konteks menciptakan kekayaan yang terkondisikan, itu lebih pada agar vaksin Covid-19 bisa diterima dan diproses di dalam masyarakat sendiri. Irisan seperti itu tidak bisa menempatkan negara sebagai entitas produksi, tetapi hanya sebatas pada entitas distribusi. Itulah mengapa, pemerintah sejauh ini masih terus melakukan sosialisasi agar vaksin Covid-19 bisa didistribusikan secara luas ke masyarakat dan diserap untuk difungsikan secara luas pula.
Sejauh ini vaksin Covid-19 yang akan didatangkan oleh pemerintah Indonesia, porsi terbesarnya adalah impor. Meski ada penyertaan perusahaan dalam negeri (BUMN) di dalamnya, khususnya dalam aspek transfer teknologi dan pengetahuan (transfer of technology and knowledge), namun produksi secara masif masih terbatas dan butuh effort yang konsisten. Dengan kondisi begini, Indonesia tidak memiliki tawar menawar yang kuat meski pangsa pasar Indonesia sangat besar. Di tengah pandemi Covid-19 yang terus meningkat, Indonesia tidak punya pilihan selain menerima apa adanya. Kalaupun ada negosiasi, paling hanya tipis-tipis.
Dalam logika kekuasaan seperti ini memang Indonesia dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Di mata negara produsen vaksin Covid-19, Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah, yang kemudian kelemahan ini dimanfaatkan oleh negara lain untuk menawarkan produknya dengan posisi harga yang tinggi (Caporaso dan Levine, 2015).
Pengajar pada Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia
PERTANYAAN awal yang ingin diajukan, hal menarik apalagi dari pembicaraan tentang Covid-19 sekarang ini? Apakah soal penderita yang terus bertambah, yang dibarengi dengan kesembuhan penderita yang juga cenderung meningkat? Itu sudah tidak menarik. Ataukah soal vaksin yang konon akan beredar luas sebentar lagi? Itu memang kabar yang cukup menggembirakan, tapi apakah orang-orang merespons baik kabar tersebut?
Menarik mencermati pendapat masyarakat Indonesia terhadap vaksin ini. Pada akhir Oktober lalu Kementerian Kesehatan RI bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) merilis hasil survei dengan hasil 64,8% masyarakat bersedia divaksinasi, 7,6% menolak, dan 26% masih ragu (Kemenkes RI, 2020).
Mungkin kita bertanya, mengapa orang yang mau divaksinasi tidak mencapai, katakanlah 99% (dengan plus minus margin of error jika menggunakan sampling 1%), untuk menggambarkan bahwa tidak ada penolakan dan keraguan orang Indonesia terhadap niat pemerintah memberikan vaksin Covid-19 ini? Apakah orang-orang masih relatif belum meyakini sepenuhnya bahwa vaksin tersebut nanti bisa berefek terhadap peningkatan imunitas tubuh dari serangan Covid-19?
Ataukah keraguan itu muncul dari masalah pengambilan kebijakan oleh pemerintah yang terkesan tergesa-gesa tanpa disertai pembuktian empiris akan khasiat lanjutan vaksin? Mari kita telaah sedikit agar tidak sekadar mensimplifikasi persoalan ke dalam dikotomi perdebatan yakin atau ragu; mau atau tidak; atau (dalam kacamata pemerintah) butuh effort sosialisasi yang lebih intens.
Tawar Menawar Lemah
Vaksin Covid-19 jika dipandang dalam kacamata ekonomi politik bukan sekadar obat atau alat peningkat imunitas tubuh dari penularan Covid-19 semata. Vaksin Covid-19 juga berasosiasi dengan kepentingan ekonomi politik banyak negara. Di dalamnya terkandung dominasi kekuasaan, bahkan hegemoni dan infiltrasi kepentingan pasar suatu negara.
Dalam refleksi kapitalisme, vaksin Covid-19 berkorelasi terhadap kepentingan negara dalam kerangka menciptakan sumber-sumber kekayaan baru dan meningkatkan pendapatan. Vaksin Covid-19 dengan kata lain--meminjam istilah Caporaso dan Lavine (2015)-- merupakan bentuk dari “kekayaan yang terkondisikan”. Sebab dalam hal ini negara membangun relasi kekuasaan dengan entitas swasta (perusahaan, kapitalis, dan organisasi pekerja dan konsumen) untuk sama-sama memproduksi dan mendistribusikan kekayaan.
Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, dalam batasan kepentingan secara besar, Indonesia adalah negara konsumen. Jika pun Indonesia masuk di dalam konteks menciptakan kekayaan yang terkondisikan, itu lebih pada agar vaksin Covid-19 bisa diterima dan diproses di dalam masyarakat sendiri. Irisan seperti itu tidak bisa menempatkan negara sebagai entitas produksi, tetapi hanya sebatas pada entitas distribusi. Itulah mengapa, pemerintah sejauh ini masih terus melakukan sosialisasi agar vaksin Covid-19 bisa didistribusikan secara luas ke masyarakat dan diserap untuk difungsikan secara luas pula.
Sejauh ini vaksin Covid-19 yang akan didatangkan oleh pemerintah Indonesia, porsi terbesarnya adalah impor. Meski ada penyertaan perusahaan dalam negeri (BUMN) di dalamnya, khususnya dalam aspek transfer teknologi dan pengetahuan (transfer of technology and knowledge), namun produksi secara masif masih terbatas dan butuh effort yang konsisten. Dengan kondisi begini, Indonesia tidak memiliki tawar menawar yang kuat meski pangsa pasar Indonesia sangat besar. Di tengah pandemi Covid-19 yang terus meningkat, Indonesia tidak punya pilihan selain menerima apa adanya. Kalaupun ada negosiasi, paling hanya tipis-tipis.
Dalam logika kekuasaan seperti ini memang Indonesia dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Di mata negara produsen vaksin Covid-19, Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah, yang kemudian kelemahan ini dimanfaatkan oleh negara lain untuk menawarkan produknya dengan posisi harga yang tinggi (Caporaso dan Levine, 2015).