Indonesia Harus Kembangkan Vaksin Covid-19 agar Tidak Tergantung Negara Lain
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Riset dan Teknologi ( Kemenristek ) mengungkapkan Indonesia melakukan double track dalam pengembangan dan produksi vaksin Covid-19 .
Jalur pertama, Indonesia bekerja sama dengan negara lain atau produsen di luar negeri, seperti Sinovac. Jalur kedua, Kemenristek bersama beberapa perguruan tinggi dan lembaga, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Eijkman, mengembangkan bibit vaksin sendiri. Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro menerangkan vaksin ini dibutuhkan untuk penanganan pandemi Covid-19.
"Kita harus menciptakan kekebalan massal atau herd immunity. Ini dilakukan dengan vaksin yang nantinya mencegah penularan (virus) kepada orang lain. Seseorang yang divaksin buka hanya melindungi diri, tetapi juga orang lain,” ujarnya kepada dalam wawancara khusus dengan SINDOnews, Jumat (6/11/2020).
( ).
Bambang mengungkapkan, alasan pemerintah bekerja sama dengan negara lain karena mereka lebih cepat dalam melakukan penelitian dan pengembangan. Produsen-produsen luar negeri, seperti Sinovac dan AstraZeneca, saat ini rata-rata sudah memasuki tahap akhir uji klinis tahap III.
Bahkan, vaksin besutan Sinovac kemungkinan sudah selesai pada Desember 2020. Semua negara saat ini menunggu vaksin mana yang sudah mendapatkan izin dari negara bersangkutan dan World Health Organization (WHO) untuk diproduksi dan digunakan secara massal.
( ).
"Yang perlu diperhatikan adalah safety atau keamanan. Vaksin jangan sampai memiliki efek berbahaya (bagi tubuh). Kedua, efektif untuk membangkitkan kekebalan tubuh,” tegas lulusan Universitas Indonesia itu.
Meski ada vaksin dari luar negeri, pengembangan di dalam negeri tetap dibutuhkan. Sebab, jumlah penduduk Indonesia sangat banyak, sekitar 260 juta. Jika satu vaksin harus dua kali suntik dan untuk mencapai kekebalan massal dibutuhkan 2/3 penduduk divaksin, itu artinya Indonesia memerlukan 360 juta dosis.
( ).
Tentu Indonesia tidak bisa bergantung terus-menerus pada negara lain. "Kalau sudah banyak dan bergantung dari luar, kita akan dalam posisi kepepet. Butuh banyak vaksin dan harus membeli. Kalau kepepet, harganya mahal, penjualnya mengatakan anda butuh, harganya sekian," pungkasnya.
Jalur pertama, Indonesia bekerja sama dengan negara lain atau produsen di luar negeri, seperti Sinovac. Jalur kedua, Kemenristek bersama beberapa perguruan tinggi dan lembaga, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Eijkman, mengembangkan bibit vaksin sendiri. Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro menerangkan vaksin ini dibutuhkan untuk penanganan pandemi Covid-19.
"Kita harus menciptakan kekebalan massal atau herd immunity. Ini dilakukan dengan vaksin yang nantinya mencegah penularan (virus) kepada orang lain. Seseorang yang divaksin buka hanya melindungi diri, tetapi juga orang lain,” ujarnya kepada dalam wawancara khusus dengan SINDOnews, Jumat (6/11/2020).
( ).
Bambang mengungkapkan, alasan pemerintah bekerja sama dengan negara lain karena mereka lebih cepat dalam melakukan penelitian dan pengembangan. Produsen-produsen luar negeri, seperti Sinovac dan AstraZeneca, saat ini rata-rata sudah memasuki tahap akhir uji klinis tahap III.
Bahkan, vaksin besutan Sinovac kemungkinan sudah selesai pada Desember 2020. Semua negara saat ini menunggu vaksin mana yang sudah mendapatkan izin dari negara bersangkutan dan World Health Organization (WHO) untuk diproduksi dan digunakan secara massal.
( ).
"Yang perlu diperhatikan adalah safety atau keamanan. Vaksin jangan sampai memiliki efek berbahaya (bagi tubuh). Kedua, efektif untuk membangkitkan kekebalan tubuh,” tegas lulusan Universitas Indonesia itu.
Meski ada vaksin dari luar negeri, pengembangan di dalam negeri tetap dibutuhkan. Sebab, jumlah penduduk Indonesia sangat banyak, sekitar 260 juta. Jika satu vaksin harus dua kali suntik dan untuk mencapai kekebalan massal dibutuhkan 2/3 penduduk divaksin, itu artinya Indonesia memerlukan 360 juta dosis.
( ).
Tentu Indonesia tidak bisa bergantung terus-menerus pada negara lain. "Kalau sudah banyak dan bergantung dari luar, kita akan dalam posisi kepepet. Butuh banyak vaksin dan harus membeli. Kalau kepepet, harganya mahal, penjualnya mengatakan anda butuh, harganya sekian," pungkasnya.
(zik)