Formapi Sebut DPR Hanya Jadi Jubir Pemerintah, Banyak RUU Tak Jalan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kinerja DPR RI menjadi sorotan. Hasil evaluasi yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), DPR mempunyai banyak tunggakan Rancangan Undang-Undang (RUU). Selain itu, DPR dinilai hanya menjadi juru bicara (Jubir) pemerintah. Evalusi kinerja yang dilakukan Formappi fokus pada Masa Sidang (MS) 1 2020. Ada empat bidang kinerja yang dievaluasi, yaitu legislasi, anggaran, pengawasan, dan evaluasi kinerja kelembagaan.
Direktur Eksekutif Formappi I Made Leo Wiratma mengatakan, khusus untuk legislasi, dalam pidato pembukaan MS I, Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan DPR akan menyelesaikan seluruh RUU yang ada dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 pada MS I. “Dengan tetap memperhatikan skala prioritas, sehingga kebutuhan hukum bagi NKRI dapat dipenuhi,” terang dia dalam Forum Kamisan Formappi dengan tema Kinerja Abnormal di Era New Normal yang dilakukan secara virtual, Kamis (5/11/2020). (Baca juga: MAPPI Minta Pemerintah Segera Realisasikan RUU untuk Profesi Penilai)
Namun, target yang disampaikan Puan tidak tercapai. DPR hanya mampu menyelesaikan dua RUU Prioritas, yakni RUU Bea Meterai dan RUU Cipta Kerja. Dengan demikian, DPR masih mempunyai tunggakan 35 RUU. Sebanyak 11 RUU masih mungkin bisa diselesaikan DPR hingga akhir tahun karena sudah memasuki tahapan pembentukan. Mulai dari penyusunan hingga pembahasan. Sedangkan 24 RUU Prioritas lainnya masih belum digarap sama sekali sehingga sangat sulit mengharapkan penyelesaiannya. (Baca juga: Formappi Menilai DPR Tak Anggap Serius Pandemi Covid-19)
Terkait pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja yang kontroversial dan menjadi perhatian publik, Formappi menilai komitmen ketua DPR yang akan membahas RUU Cipta Kerja secara cermat, hati-hati, transparan, dan terbuka, tidak terbukti. DPR justru tidak membuka ruang secara luas bagi partisipasi publik dalam pembahasan sehingga memunculkan gelombang protes dan demonstrasidi berbagai daerah. “Beberapa RDPU yang menghadirkan sejumlah kelompok untuk memberikan masukan ke DPR hanya merupakan partisipasi formalitas,” terang Leo. (Baca juga: RUU Kejaksaan Harus Jadi Momentum Ciptakan Hukum Berkeadilan)
Pembahasan pun dilakukan tergesa-gesa dalam waktu yang sangat singkat. Hal itu tidak biasa atau abnormal karena pembahasan sebuah RUU biasanya membutuhkan waktu yang panjang, minimal tiga kali MS. Situasi ini menimbulkan berbagai dugaan di masyarakat bahwa pengesahan beberapa RUU termasuk RUU Cipta Kerja sarat kepentingan politik dan ada pesan sponsor dari pengusungnya.
Selain RUU Cipta Kerja, beberapa RUU lain seperti RUU Minerba, RUU KPK, dan RUU MK bisa menjadi contoh bagaimana dorongan kepentingan sepihak DPR dan Pemerintah. “Seringnya pembahasan RUU kontroversial seolah-olah menjadi era normal baru bagi DPR,” ungkapnya.
Selanjutnya evaluasi kinerja di bidang. Menurut keputusan Bamus, rencana kerja fungsi anggaran mencakup pembahasan terhadap pertanggung jawaban atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (P2 APBN) 2019 dan pembahasan terhadap RUU tentang APBN 2021. Namun, Puan hanya menyatakan bahwa DPR bersama pemerintah hanya membahas RUU APBN 2021 dan sama sekali tidak menyinggung rencana kerja P2 APBN 2019. Meski terdapat perbedaan antara keduanya, yang menjadi acuan dalam pelaksanaan adalah rencana kerja menurut keputusan Bamus.
Terkait penyerapan anggaran kementerian dan lembaga negara pada 2020, tidak semua Komisi DPR bersama mitra kerjanya melakukan pembahasan. Melalui penelusuran laporan singkat (Lapsing) yang diunggah di laman resmi, Formappi hanya menemukan Komisi IV, V, VI, dan VIII yang melakukan pembahasan. “Terhadap serap anggaran APBN 2020, Komisi DPR hanya bersikap datar-datar saja. Memberikan apresiasi, memahami, menerima, meminta, mendorong, dan mendesak saja,” tutur Leo.
Sedangkan dalam bidang pengawasan, Formappi menemukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dilakukan terhadap 8 UU melalui 11 kali rapat oleh lima komisi. Jadi lebih dari separuh jumlah komisi tidak ditemukan melakukan pengawasan. Dalam pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, DPR telah membentuk tim pengawas dan pemantau dan panitia kerja (Panja).
Salah satu tim yang dibentuk Pimpinan DPR adalah Tim Pengawas Covid-19. Meski telah ada Tim Pengawas Covid-19, jumlah orang positif tetap banyak, sehingga perlu dipertanyakan efektivitas dari tim tersebut. Tim itu seakan tidak membawa efek terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19. Apalagi di penutupan MS I, ketua DPR mengajak masyarakat untuk memberikan apresiasi atas usaha-usaha yang dilakukan pemerintah. “Alih-alih melakukan pengawasan, DPR justru menjadi juru bicara Pemerintah,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Formappi I Made Leo Wiratma mengatakan, khusus untuk legislasi, dalam pidato pembukaan MS I, Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan DPR akan menyelesaikan seluruh RUU yang ada dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 pada MS I. “Dengan tetap memperhatikan skala prioritas, sehingga kebutuhan hukum bagi NKRI dapat dipenuhi,” terang dia dalam Forum Kamisan Formappi dengan tema Kinerja Abnormal di Era New Normal yang dilakukan secara virtual, Kamis (5/11/2020). (Baca juga: MAPPI Minta Pemerintah Segera Realisasikan RUU untuk Profesi Penilai)
Namun, target yang disampaikan Puan tidak tercapai. DPR hanya mampu menyelesaikan dua RUU Prioritas, yakni RUU Bea Meterai dan RUU Cipta Kerja. Dengan demikian, DPR masih mempunyai tunggakan 35 RUU. Sebanyak 11 RUU masih mungkin bisa diselesaikan DPR hingga akhir tahun karena sudah memasuki tahapan pembentukan. Mulai dari penyusunan hingga pembahasan. Sedangkan 24 RUU Prioritas lainnya masih belum digarap sama sekali sehingga sangat sulit mengharapkan penyelesaiannya. (Baca juga: Formappi Menilai DPR Tak Anggap Serius Pandemi Covid-19)
Terkait pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja yang kontroversial dan menjadi perhatian publik, Formappi menilai komitmen ketua DPR yang akan membahas RUU Cipta Kerja secara cermat, hati-hati, transparan, dan terbuka, tidak terbukti. DPR justru tidak membuka ruang secara luas bagi partisipasi publik dalam pembahasan sehingga memunculkan gelombang protes dan demonstrasidi berbagai daerah. “Beberapa RDPU yang menghadirkan sejumlah kelompok untuk memberikan masukan ke DPR hanya merupakan partisipasi formalitas,” terang Leo. (Baca juga: RUU Kejaksaan Harus Jadi Momentum Ciptakan Hukum Berkeadilan)
Pembahasan pun dilakukan tergesa-gesa dalam waktu yang sangat singkat. Hal itu tidak biasa atau abnormal karena pembahasan sebuah RUU biasanya membutuhkan waktu yang panjang, minimal tiga kali MS. Situasi ini menimbulkan berbagai dugaan di masyarakat bahwa pengesahan beberapa RUU termasuk RUU Cipta Kerja sarat kepentingan politik dan ada pesan sponsor dari pengusungnya.
Selain RUU Cipta Kerja, beberapa RUU lain seperti RUU Minerba, RUU KPK, dan RUU MK bisa menjadi contoh bagaimana dorongan kepentingan sepihak DPR dan Pemerintah. “Seringnya pembahasan RUU kontroversial seolah-olah menjadi era normal baru bagi DPR,” ungkapnya.
Selanjutnya evaluasi kinerja di bidang. Menurut keputusan Bamus, rencana kerja fungsi anggaran mencakup pembahasan terhadap pertanggung jawaban atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (P2 APBN) 2019 dan pembahasan terhadap RUU tentang APBN 2021. Namun, Puan hanya menyatakan bahwa DPR bersama pemerintah hanya membahas RUU APBN 2021 dan sama sekali tidak menyinggung rencana kerja P2 APBN 2019. Meski terdapat perbedaan antara keduanya, yang menjadi acuan dalam pelaksanaan adalah rencana kerja menurut keputusan Bamus.
Terkait penyerapan anggaran kementerian dan lembaga negara pada 2020, tidak semua Komisi DPR bersama mitra kerjanya melakukan pembahasan. Melalui penelusuran laporan singkat (Lapsing) yang diunggah di laman resmi, Formappi hanya menemukan Komisi IV, V, VI, dan VIII yang melakukan pembahasan. “Terhadap serap anggaran APBN 2020, Komisi DPR hanya bersikap datar-datar saja. Memberikan apresiasi, memahami, menerima, meminta, mendorong, dan mendesak saja,” tutur Leo.
Sedangkan dalam bidang pengawasan, Formappi menemukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dilakukan terhadap 8 UU melalui 11 kali rapat oleh lima komisi. Jadi lebih dari separuh jumlah komisi tidak ditemukan melakukan pengawasan. Dalam pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, DPR telah membentuk tim pengawas dan pemantau dan panitia kerja (Panja).
Salah satu tim yang dibentuk Pimpinan DPR adalah Tim Pengawas Covid-19. Meski telah ada Tim Pengawas Covid-19, jumlah orang positif tetap banyak, sehingga perlu dipertanyakan efektivitas dari tim tersebut. Tim itu seakan tidak membawa efek terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19. Apalagi di penutupan MS I, ketua DPR mengajak masyarakat untuk memberikan apresiasi atas usaha-usaha yang dilakukan pemerintah. “Alih-alih melakukan pengawasan, DPR justru menjadi juru bicara Pemerintah,” jelasnya.
(cip)