Pemerintah Diminta Buat Kebijakan yang Ciptakan Lapangan Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Kondisi perekonomian nasional ke depan dikhawatirkan akan semakin terpuruk. Tidak saja karena krisis pasca pandemi virus Corona (Covid-19), namun karena iklim investasi yang buruk di Indonesia selama ini. Iklim investasi yang buruk dinilai yang berakibat pada meningkatnya pengangguran.
Direktur Riset Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) Arif Hadiwinata mengatakan, kondisi tersebut harus diatasi pemerintah secepatnya dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat menciptakan lapangan kerja, misalnya dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
“Tingginya pengangguran akan menghantui perekonomian nasional ke depan. Pemerintah harus secepatnya mengeluarkan kebijakan yang dapat menampung mereka melalui penciptaan lapangan-lapangan pekerjaan yang banyak,” kata Arif, di Jakarta, Jumat 8 Mei 2020.
Menurut dia, penciptaan lapangan pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan hanya membuat regulasi terkait investasi. Namun, regulasi-regulasi lain yang mendukung atau berkaitan dengannya seperti regulasi perizinan, ketenagakerjaan, dan lainnya, juga perlu dituntaskan.
“Itu yang kami sebut sebagai ekosistem ketenagakerjaan di mana semua hal yang mendukung pada pertumbuhan ekonomi nasional harus dibahas dalam satu paket dan tidak dapat dipisahkan,” tuturnya.
Master Public Policy dari Carnegie Mellon University (CMU) itu pun menjelaskan Indonesia memiliki banyak regulasi ketenagakerjaan. Namun, regulasi ini terbukti tidak efisien, cenderung tumpang tindih, dan makin menyulitkan karena adanya inkonsistensi dari tiap regulasi.
Oleh karena itu, dia menilai RUU Ciptaker adalah peluang bagi reformasi terhadap berbagai regulasi yang ada. Namun dia mengingatkan reformasi regulasi harus bersifat komprehensif dan tidak berpihak pada kepentingan salah satu pihak.
“Prinsip utamanya kepentingan nasional, atau kepentingan yang lebih luas. Bukan kepentingan satu pihak tertentu,” tegasnya.
Arif menyayangkan adanya opini yang yang menyebutkan RUU Ciptaker merupakan reformasi regulasi partisan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Anggapan yang menggeneralisasi ini kemudian menimbulkan resistensi terhadap RUU.
“Persepsi diametrik antara buruh dan pengusaha misalnya, harus diperjelas. Lebih bijak, kita mengedepankan kepentingan lebih luas dengan cara duduk bersama. Kedua belah pihak dipersilakan melakukan penawaran-penawaran terbuka dalam mekanisme negosiasi yang fair Sehingga lahir sebuah RUU Cipta Kerja yang dapat diterima oleh mayoritas,” tukas Arif.
Arif menegaskan, pengusaha dan buruh sudah seharusnya menciptakan simbiosis mutualistis. Mereka sama-sama ingin menghasilkan keuntungan maksimum dalam pertukarannya.
“Pengusaha, demi keuntungannya, ingin harga jasa pekerja murah, sementara pekerja menginginkan upah yang tinggi atas jasa yang mereka berikan. Kesannya berseberangan, tetapi akan selalu ada titik temu yang bisa dicapai sehingga lahir regulasi yang dapat diterima kedua belah pihak,” tuturnya.
Sebagai sebuah regulasi ekosistem ketenagakerjaan,dapat disimpulkan bahwa semua klaster dalam RUU ini sama pentingnya untuk dibahas dan diselesaikan dalam satu paket.
Menunda atau bahkan meninggalkan salah satu klaster akan menjadikan regulasi ekosistem ketenagakerjaan pincang. “Dalam riset kami berkesimpulan bahwa seluruh klaster dalam RUU Cipta kerja, termasuk klaster ketenagakerjaan harus tetap dilanjutkan pembahasannya dengan penguatan pada visi kebebasan ketenagakerjaan dan penciptaan iklim mutualistis di antara seluruh stakeholder yang terlibat,” tutur Arif.
Kondisi perekonomian nasional ke depan dikhawatirkan akan semakin terpuruk. Tidak saja karena krisis pasca pandemi virus Corona (Covid-19), namun karena iklim investasi yang buruk di Indonesia selama ini. Iklim investasi yang buruk dinilai yang berakibat pada meningkatnya pengangguran.
Direktur Riset Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) Arif Hadiwinata mengatakan, kondisi tersebut harus diatasi pemerintah secepatnya dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat menciptakan lapangan kerja, misalnya dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
“Tingginya pengangguran akan menghantui perekonomian nasional ke depan. Pemerintah harus secepatnya mengeluarkan kebijakan yang dapat menampung mereka melalui penciptaan lapangan-lapangan pekerjaan yang banyak,” kata Arif, di Jakarta, Jumat 8 Mei 2020.
Menurut dia, penciptaan lapangan pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan hanya membuat regulasi terkait investasi. Namun, regulasi-regulasi lain yang mendukung atau berkaitan dengannya seperti regulasi perizinan, ketenagakerjaan, dan lainnya, juga perlu dituntaskan.
“Itu yang kami sebut sebagai ekosistem ketenagakerjaan di mana semua hal yang mendukung pada pertumbuhan ekonomi nasional harus dibahas dalam satu paket dan tidak dapat dipisahkan,” tuturnya.
Master Public Policy dari Carnegie Mellon University (CMU) itu pun menjelaskan Indonesia memiliki banyak regulasi ketenagakerjaan. Namun, regulasi ini terbukti tidak efisien, cenderung tumpang tindih, dan makin menyulitkan karena adanya inkonsistensi dari tiap regulasi.
Oleh karena itu, dia menilai RUU Ciptaker adalah peluang bagi reformasi terhadap berbagai regulasi yang ada. Namun dia mengingatkan reformasi regulasi harus bersifat komprehensif dan tidak berpihak pada kepentingan salah satu pihak.
“Prinsip utamanya kepentingan nasional, atau kepentingan yang lebih luas. Bukan kepentingan satu pihak tertentu,” tegasnya.
Arif menyayangkan adanya opini yang yang menyebutkan RUU Ciptaker merupakan reformasi regulasi partisan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Anggapan yang menggeneralisasi ini kemudian menimbulkan resistensi terhadap RUU.
“Persepsi diametrik antara buruh dan pengusaha misalnya, harus diperjelas. Lebih bijak, kita mengedepankan kepentingan lebih luas dengan cara duduk bersama. Kedua belah pihak dipersilakan melakukan penawaran-penawaran terbuka dalam mekanisme negosiasi yang fair Sehingga lahir sebuah RUU Cipta Kerja yang dapat diterima oleh mayoritas,” tukas Arif.
Arif menegaskan, pengusaha dan buruh sudah seharusnya menciptakan simbiosis mutualistis. Mereka sama-sama ingin menghasilkan keuntungan maksimum dalam pertukarannya.
“Pengusaha, demi keuntungannya, ingin harga jasa pekerja murah, sementara pekerja menginginkan upah yang tinggi atas jasa yang mereka berikan. Kesannya berseberangan, tetapi akan selalu ada titik temu yang bisa dicapai sehingga lahir regulasi yang dapat diterima kedua belah pihak,” tuturnya.
Sebagai sebuah regulasi ekosistem ketenagakerjaan,dapat disimpulkan bahwa semua klaster dalam RUU ini sama pentingnya untuk dibahas dan diselesaikan dalam satu paket.
Menunda atau bahkan meninggalkan salah satu klaster akan menjadikan regulasi ekosistem ketenagakerjaan pincang. “Dalam riset kami berkesimpulan bahwa seluruh klaster dalam RUU Cipta kerja, termasuk klaster ketenagakerjaan harus tetap dilanjutkan pembahasannya dengan penguatan pada visi kebebasan ketenagakerjaan dan penciptaan iklim mutualistis di antara seluruh stakeholder yang terlibat,” tutur Arif.
(dam)