Matinya Rasa Percaya

Sabtu, 31 Oktober 2020 - 14:45 WIB
loading...
A A A
Dalam tulisannya, Strengthening the Foundations of Trust in The Digital Age, Stephanie Hyde dan Blair Sheppard, 2019 menyebutkan, kecepatan perubahan teknologi dan volume informasi yang belum pernah ada sebelumnya -tersedia kapan saja, di mana saja, melalui perangkat teknologi- memunculkan fenomena melemahnya rasa percaya masyarakat, terhadap apa pun dan kapan pun. Kecenderungan ini tumbuh karena jaringan seluler 5G, yang meningkatkan kecepatan dan memperluas jangkauan konektivitas. Informasi berlimpah tak menghadirkan kepastian, justru memproduksi dan mendistribusi ketakpastian.

Paradoks informasi. Menurut Edelman Trust Barometer, yang dikutip dari tulisan di atas, secara global dalam 10 tahun terakhir, kurang dari setengah penduduk dunia yang mempercayai pemerintah, institusi bisnis, bahkan di antara mereka sendiri sebagai sesama masyarakat sipil. Padahal untuk mempertahankan masyarakat yang stabil, sangat penting adanya kepercayaan masyarakat.

Institusi publik seperti media yang berkategori editor mediated content, seperti media yang hadir dalam wujud konvensional, cetak, elektronik maupun yang berbasis internet, saat ini jadi sulit dipercaya. Ini lantaran banyak media yang idealismenya luntur, oleh permainan clickbait dan framing. Pada praktik ini, tak jarang ungkapan narasumber yang telah disampaikan dengan cermat dan ekstra hati-hati pun, dipelintir demi news value.

Bad news is the good news, menemukan hakikatnya yang penuh di jaman ini. Semuanya dapat dijelaskan, sebagai: demi kelanggangen kuasa politik maupun ekonomi pemodalnya, dalam ekosistem persaingan yang sangat sengit. Institusi-institusi media konvensional harus bersaing, dengan platform digital yang beroperasi global, dengan nyaris tanpa pengawasan maupun kewajiban bayar pajak.

Tentu sebuah bentuk persaingan “David melawan Goliath”. Ketakpercayaan lebih parah, disumbangkan oleh media yang berkategori non editor mediated content. Mereka hadir dalam bentuk media sosial, individual maupun berkelompok. Proses produksi dan distribusi informasinya sangat rentan misinformasi maupun disinformasi. Ini dapat dijelaskan dalam spektrum: kekurangcakapan lantaran tak punya bekal memadai mengolah informasi, tak paham etika informasi, maupun dengan sengaja terlibat dalam jejaring komersialisasi produksi dan distribusi informasi tanpa etika. Hari ini profesi pengabai etika informasi, sering disebut sebagai buzzerRp.

Kematian rasa percaya makin runyam, manakala aneka aparatus kuasa ekonomi maupun politik memaksanakan cengkraman kuasa mereka lewat disinformasi. Craig Timberg, 2017 dalam tulisannya berjudul Spreading Fake News Becomes Standard Practice for Governments Across the World, yang dimuat Washington Post menuliskan, kampanye memanipulasi opini publik melalui penempatan informasi di media sosial yang didisinformasi, telah jadi praktik politik standar di sebagian besar dunia. Operasi politik dengan modus ini, mampu membentuk arus informasi di berbagai negara.

Propaganda ini mengeksploitasi platform media sosial -Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya- yang mengandalkan manusia maupun bot, termediasi komputer untuk memperkuat kekuatan kampanye disinformasi. Operasinya mengotomatiskan produksi dan distribusi penempatan informasi, bot berinteraksi dengan pengguna manusia, juga dengan bot lain. Maka, jika keadaannya sudah sedemikian terlambat untuk ditarik ulang, rasa percaya tak tersisa lagi, lalu apa yang tersisa dari kemanusiaaan, manusia yang otentik?
(dam)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3418 seconds (0.1#10.140)