Memanfaatkan Peluang La Nina untuk Menggenjot Produksi Beras

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 05:51 WIB
loading...
Memanfaatkan Peluang La Nina untuk Menggenjot Produksi Beras
Pantjar Simatupang
A A A
Pantjar Simatupang
Mantan Staf Ahli Menteri Pertanian/Pemerhati Kebijakan Pertanian

PENGUMUMAN Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka sementara produksi padi Indonesia 2020 meningkat 1,02% hendaklah dipandang sebagai berita gembira dan prestasi membanggakan di tengah aneka berita sedih dan kegagalan akibat dampak pandemi Covid-19 berkepanjangan.

Berita gembira, karena peningkatan produksi beras adalah kunci utama untuk menjaga ketahanan pangan dan penghidupan petani dan rakyat miskin serta jangkar perekonomian makro. Setiap penurunan 10% harga beras akan menurunkan prevalensi kemiskinan sebesar 0,45% atau pengurangan 1,25 juta orang penduduk miskin dan mengurangi inflasi 1%. Sebaliknya, peningkatan harga beras akibat penurunan produksi akan memperparah kehidupan rakyat dan memperburuk kinerja perekonomian yang terpukul parah oleh dampak pandemi.

Prestasi membanggakan karena peningkatan produksi beras tersebut adalah keberhasilan dalam mencegah perkiraan awal para ahli bahwa produksi padi Indonesia akan menurun pada 2020 sehingga ada ancaman krisis beras dan terpaksa mengimpor beras hingga 2 juta ton.

Perkiraan peningkatan produksi padi 2020 sebesar 1,02% itu juga sebagai prestasi membanggakan karena tidak seperti yang diperkirakan Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) Pada Juni 2020 yang menyebutkan produksi beras Indonesia pada 2020 akan menurun 700.000 ton (2,05%), impor 800 ton dan rasio stok-penggunaan (Stock Utilization Ratio = SUR) pada akhir 2020 hanya 8,67%.

Di balik prestasi peningkatan produksi beras tersebut, faktor yang lebih diapresiasi ialah respons adaptasi yang dilakukan pemerintah dengan cepat dan tepat sehingga ancaman penurunan produksi padi dapat berbalik menjadi peningkatan produksi. Kunci utama prestasi itu adalah keberhasilan dalam mempercepat dan menambah luas tanam musim kemarau (MK) pada periode April-September.

Dengan demikian, luas panen pada Juli-Desember 2020 meningkat tajam sebesar 16,97% dibanding periode sama pada 2019, dan bahkan 7,95% lebih tinggi di banding 2018 pada kondisi iklim ideal La Nina intensitas lemah. Selain itu, produktivitas juga berhasil ditingkatkan sebesar 0,94% sehingga produksi meningkat 18,07%, berbalik dari penurunan 9,81% pada musim sebelumnya (MH 2020) dan 7,72% pada MK tahun lalu.

Tidak Perlu Impor
Keputusan kebijakan impor beras biasanya diumumkan pada September- Oktober sehingga beras impor dapat masuk mulai Desember dan berakhir pada Februari. Dengan begitu beras impor dapat digunakan Bulog untuk operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga beras yang biasanya meningkat tajam sejak Desember dan mencapai puncak pada Februari tahun berikutnya. Penghentian impor pada Februari juga dimaksudkan untuk mencegah penurunan harga gabah petani karena musim panen raya sudah mulai pada Maret.

Hingga penghujung Oktober ini, pemerintah belum mengumumkan akan melakukan impor beras. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020.

Kebijakan impor beras didasarkan pada beberapa pertimbangan kunci. Pertama, stok beras Bulog pada akhir tahun mencukupi yakni sekitar 1,0 sampai 1,5 juta ton. Realitasnya, Bulog mengatakan bahwa stok beras pada awal Januari 2020 adalah 2,2 juta ton, sedangkan hingga pertengahan Oktober 2020 volume serapan gabah petani mencapai 988.000 ton setara beras dan penyaluran 1,56 juta ton, sehingga stok beras tersedia adalah 1,628 juta ton. Stok Bulog pada akhir Desember 2020 diperkirakan aman di sekitar 1,5 juta ton.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1602 seconds (0.1#10.140)