Memanfaatkan Peluang La Nina untuk Menggenjot Produksi Beras
loading...
A
A
A
Pantjar Simatupang
Mantan Staf Ahli Menteri Pertanian/Pemerhati Kebijakan Pertanian
PENGUMUMAN Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka sementara produksi padi Indonesia 2020 meningkat 1,02% hendaklah dipandang sebagai berita gembira dan prestasi membanggakan di tengah aneka berita sedih dan kegagalan akibat dampak pandemi Covid-19 berkepanjangan.
Berita gembira, karena peningkatan produksi beras adalah kunci utama untuk menjaga ketahanan pangan dan penghidupan petani dan rakyat miskin serta jangkar perekonomian makro. Setiap penurunan 10% harga beras akan menurunkan prevalensi kemiskinan sebesar 0,45% atau pengurangan 1,25 juta orang penduduk miskin dan mengurangi inflasi 1%. Sebaliknya, peningkatan harga beras akibat penurunan produksi akan memperparah kehidupan rakyat dan memperburuk kinerja perekonomian yang terpukul parah oleh dampak pandemi.
Prestasi membanggakan karena peningkatan produksi beras tersebut adalah keberhasilan dalam mencegah perkiraan awal para ahli bahwa produksi padi Indonesia akan menurun pada 2020 sehingga ada ancaman krisis beras dan terpaksa mengimpor beras hingga 2 juta ton.
Perkiraan peningkatan produksi padi 2020 sebesar 1,02% itu juga sebagai prestasi membanggakan karena tidak seperti yang diperkirakan Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) Pada Juni 2020 yang menyebutkan produksi beras Indonesia pada 2020 akan menurun 700.000 ton (2,05%), impor 800 ton dan rasio stok-penggunaan (Stock Utilization Ratio = SUR) pada akhir 2020 hanya 8,67%.
Di balik prestasi peningkatan produksi beras tersebut, faktor yang lebih diapresiasi ialah respons adaptasi yang dilakukan pemerintah dengan cepat dan tepat sehingga ancaman penurunan produksi padi dapat berbalik menjadi peningkatan produksi. Kunci utama prestasi itu adalah keberhasilan dalam mempercepat dan menambah luas tanam musim kemarau (MK) pada periode April-September.
Dengan demikian, luas panen pada Juli-Desember 2020 meningkat tajam sebesar 16,97% dibanding periode sama pada 2019, dan bahkan 7,95% lebih tinggi di banding 2018 pada kondisi iklim ideal La Nina intensitas lemah. Selain itu, produktivitas juga berhasil ditingkatkan sebesar 0,94% sehingga produksi meningkat 18,07%, berbalik dari penurunan 9,81% pada musim sebelumnya (MH 2020) dan 7,72% pada MK tahun lalu.
Tidak Perlu Impor
Keputusan kebijakan impor beras biasanya diumumkan pada September- Oktober sehingga beras impor dapat masuk mulai Desember dan berakhir pada Februari. Dengan begitu beras impor dapat digunakan Bulog untuk operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga beras yang biasanya meningkat tajam sejak Desember dan mencapai puncak pada Februari tahun berikutnya. Penghentian impor pada Februari juga dimaksudkan untuk mencegah penurunan harga gabah petani karena musim panen raya sudah mulai pada Maret.
Hingga penghujung Oktober ini, pemerintah belum mengumumkan akan melakukan impor beras. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020.
Kebijakan impor beras didasarkan pada beberapa pertimbangan kunci. Pertama, stok beras Bulog pada akhir tahun mencukupi yakni sekitar 1,0 sampai 1,5 juta ton. Realitasnya, Bulog mengatakan bahwa stok beras pada awal Januari 2020 adalah 2,2 juta ton, sedangkan hingga pertengahan Oktober 2020 volume serapan gabah petani mencapai 988.000 ton setara beras dan penyaluran 1,56 juta ton, sehingga stok beras tersedia adalah 1,628 juta ton. Stok Bulog pada akhir Desember 2020 diperkirakan aman di sekitar 1,5 juta ton.
Kedua, stok beras nasional cukup dengan SUR di atas 18% (norma FAO). Realitasnya, Kementerian Pertanian menyebutkan stok pada awal Januari 2020 mencapai 5,90 juta ton, produksi sebesar 31,63 juta ton, dan konsumsi sebesar 29,37 juta ton sehinggga SUR juga aman di 27,78%.
Ketiga, beras eceran telah menunjukkan gejala akselerasi peningkatan musim paceklik sejak bulan September. Realitasnya, BPS menunjukkan bahwa harga beras eceran menurun 0,12% pada Agustus dan berlanjut menurun 0,06% pada September 2020. Ini menunjukkan sentimen pasar yang tidak mengalami langka pasok. Artinya, sentimen pasar beras positif stabil.
Keempat, produksi padi tidak menurun sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun berjalan. Kriteria ini didasarkan pada laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%/tahun dan kecenderungan penurun konsumsi beras per kapita sekitar 1,5%/tahun sehingga total konsumsi beras diperkirakan tetap. Realitasnya, angka sementara BPS menunjukkan bahwa produksi padi 2020 meningkat 1,02%.
Konsumsi beras pada 2020 diperkirakan menurun sebagai akibat dari penurunan aktivitas ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 khususnya pada sektor rumah makan, restoran, katering, hotel, dan pariwisata yang banyak menggunakan beras. Dengan demikian, produksi beras 2020 diperkirakan tidak defisit, bahkan Kementerian Pertanian memperkirakan surplus produksi beras sebesar 2,26 juta ton.
Kelima, prospek produksi padi dan kondisi sosial politik tahun depan. Realitasnya, BMKG dan Lembaga-Lembaga Meteorologi global telah menyatakan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang telah muncul sejak September 2020 dan diperkirakan akan berlangsung hingga April 2021. La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama (sekitar 6 bulan atau lebih) berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Dalam pada itu, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras.
Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020 ini. La Nina dalam dua bulan ke depan harus dijadikan peluang untuk memacu peningkatan produksi padi musim tanam 2020/2021 sehingga pada 2021 pun tidak perlu impor beras.
La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Artinya, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras
Peluang Fenomena La Nina
Pengalaman pada 2018 telah membuktikan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang dengan durasi cukup lama adalah kesempatan besar untuk meningkatkan produksi padi. Produksi padi pada 2018 adalah yang paling tinggi dalam tiga tahun terakhir. Angka sementara produksi padi tahun 2020 sebesar 55,16 lebih rendah 7,22% dari produksi pada tahun 2018 yang mencapai 59,20 juta ton.
Jika ditelaah lebih jauh, permasalahan pokok produksi padi pada 2019 dan 2020 adalah penurunan luas panen musim hujan (MH) pada periode Januari- Juni yang merupakan hasil dari luas tanam pada periode Oktober-Maret. Sebagai gambaran, luas panen pada MH 2018 mencapai 6,686 juta hektare (ha) yang kemudian menurun 5,05% menjadi 6,348 juta ha pada 2019, lalu anjlok lagi 9,81% menjadi hanya 5,725 juta ha pada 2020. Luas panen MH 2020 lebih rendah 14,37% dari pada 2018. Dengan demikian, jika capaian pada masa La Nina 2017/2018 dapat diulang pada masa La Nina 2020/2021 maka produksi beras Indonesia akan melimpah pada 2021.
Anjloknya luas panen pada MH 2019 dan MH 2020, termasuk di sentra-sentra produksi beririgasi teknis hanya oleh ganguan El Nino lemah berdurasi pendek, merupakan pertanda kerusakan parah dalam sistem irigasi kita. Saya memandang, program restorasi sistem irigasi persawahan nasional eksisting jauh lebih efektif serta memberikan hasil lebih besar dan lebih cepat daripada program Lumbung Pangan di lahan-lahan pertanian sub optimal.
Selain berdampak positif terhadap luas tanam, La Nina juga menimbulkan beberapa ancaman, seperti peningkatan intensitas serangan organisme pengganggu tanaman dan banjir yang dapat menimbulkan gagal tanam dan gagal panen. Dampak lainnya juga terjadinya gagal panen tepat waktu akibat curah hujan tinggi, sehingga produktivitas padi menurun.
Upaya untuk memanfaatkan peluang dan mengelola ancaman fenomena La Nina sudah harus dimulai pada Oktober ini. Kementerian Pertanian perlu mencanangkan Upaya Khusus Pemanfaatan Peluang Fenomena La Nina Genjot Produksi Padi 2021 dengan elemen kegiatan utama berikut. Pertama, segera mengaktifkan Konstratani sebagai ujung tombak manajemen operasional terpadu. Ini adalah masa yang tepat untuk menunjukkan bahwa Konstratani adalah terobosan pendekatan manajemen pembangunan pertanian yang sungguh jitu.
Kedua, menyediakan benih unggul padi tahan rendaman seperti Inpari 30 (Ciherang Sub1), Inpara 5 (IR64-sub1), Inpara 29, dan Inpara karya Badan Litbang Pertanian serta varietas karya lembaga penelitian lainnya. Momentum ini hendaknya digunakan untuk membangun sistem perbenihan terstruktur, berbasis pada Kawasan mandiri benih dan terkoneksi dengan lembaga penelitian penelitian sebagai sumber inovasi. Ketiga, menjamin ketersediaan pupuk subsidi 6 T (tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu). Masalah penyaluran pupuk subsidi melalui Kartu Tani perlu segera dituntaskan.
Keempat, mengaktifkan brigade alat dan mesin pertanian yang sudah terbangun beberapa tahun ini. Kelima, membangun sistem peringatan dan mitigasi bencana. Termasuk dalam hal ini adalah pembenahan sistem irigasi dan tanggap banjir, tanggap serangan hama dan penyakit, dan penyediaan fasilitasi asuransi gagal panen.
Mantan Staf Ahli Menteri Pertanian/Pemerhati Kebijakan Pertanian
PENGUMUMAN Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka sementara produksi padi Indonesia 2020 meningkat 1,02% hendaklah dipandang sebagai berita gembira dan prestasi membanggakan di tengah aneka berita sedih dan kegagalan akibat dampak pandemi Covid-19 berkepanjangan.
Berita gembira, karena peningkatan produksi beras adalah kunci utama untuk menjaga ketahanan pangan dan penghidupan petani dan rakyat miskin serta jangkar perekonomian makro. Setiap penurunan 10% harga beras akan menurunkan prevalensi kemiskinan sebesar 0,45% atau pengurangan 1,25 juta orang penduduk miskin dan mengurangi inflasi 1%. Sebaliknya, peningkatan harga beras akibat penurunan produksi akan memperparah kehidupan rakyat dan memperburuk kinerja perekonomian yang terpukul parah oleh dampak pandemi.
Prestasi membanggakan karena peningkatan produksi beras tersebut adalah keberhasilan dalam mencegah perkiraan awal para ahli bahwa produksi padi Indonesia akan menurun pada 2020 sehingga ada ancaman krisis beras dan terpaksa mengimpor beras hingga 2 juta ton.
Perkiraan peningkatan produksi padi 2020 sebesar 1,02% itu juga sebagai prestasi membanggakan karena tidak seperti yang diperkirakan Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) Pada Juni 2020 yang menyebutkan produksi beras Indonesia pada 2020 akan menurun 700.000 ton (2,05%), impor 800 ton dan rasio stok-penggunaan (Stock Utilization Ratio = SUR) pada akhir 2020 hanya 8,67%.
Di balik prestasi peningkatan produksi beras tersebut, faktor yang lebih diapresiasi ialah respons adaptasi yang dilakukan pemerintah dengan cepat dan tepat sehingga ancaman penurunan produksi padi dapat berbalik menjadi peningkatan produksi. Kunci utama prestasi itu adalah keberhasilan dalam mempercepat dan menambah luas tanam musim kemarau (MK) pada periode April-September.
Dengan demikian, luas panen pada Juli-Desember 2020 meningkat tajam sebesar 16,97% dibanding periode sama pada 2019, dan bahkan 7,95% lebih tinggi di banding 2018 pada kondisi iklim ideal La Nina intensitas lemah. Selain itu, produktivitas juga berhasil ditingkatkan sebesar 0,94% sehingga produksi meningkat 18,07%, berbalik dari penurunan 9,81% pada musim sebelumnya (MH 2020) dan 7,72% pada MK tahun lalu.
Tidak Perlu Impor
Keputusan kebijakan impor beras biasanya diumumkan pada September- Oktober sehingga beras impor dapat masuk mulai Desember dan berakhir pada Februari. Dengan begitu beras impor dapat digunakan Bulog untuk operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga beras yang biasanya meningkat tajam sejak Desember dan mencapai puncak pada Februari tahun berikutnya. Penghentian impor pada Februari juga dimaksudkan untuk mencegah penurunan harga gabah petani karena musim panen raya sudah mulai pada Maret.
Hingga penghujung Oktober ini, pemerintah belum mengumumkan akan melakukan impor beras. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020.
Kebijakan impor beras didasarkan pada beberapa pertimbangan kunci. Pertama, stok beras Bulog pada akhir tahun mencukupi yakni sekitar 1,0 sampai 1,5 juta ton. Realitasnya, Bulog mengatakan bahwa stok beras pada awal Januari 2020 adalah 2,2 juta ton, sedangkan hingga pertengahan Oktober 2020 volume serapan gabah petani mencapai 988.000 ton setara beras dan penyaluran 1,56 juta ton, sehingga stok beras tersedia adalah 1,628 juta ton. Stok Bulog pada akhir Desember 2020 diperkirakan aman di sekitar 1,5 juta ton.
Kedua, stok beras nasional cukup dengan SUR di atas 18% (norma FAO). Realitasnya, Kementerian Pertanian menyebutkan stok pada awal Januari 2020 mencapai 5,90 juta ton, produksi sebesar 31,63 juta ton, dan konsumsi sebesar 29,37 juta ton sehinggga SUR juga aman di 27,78%.
Ketiga, beras eceran telah menunjukkan gejala akselerasi peningkatan musim paceklik sejak bulan September. Realitasnya, BPS menunjukkan bahwa harga beras eceran menurun 0,12% pada Agustus dan berlanjut menurun 0,06% pada September 2020. Ini menunjukkan sentimen pasar yang tidak mengalami langka pasok. Artinya, sentimen pasar beras positif stabil.
Keempat, produksi padi tidak menurun sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun berjalan. Kriteria ini didasarkan pada laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%/tahun dan kecenderungan penurun konsumsi beras per kapita sekitar 1,5%/tahun sehingga total konsumsi beras diperkirakan tetap. Realitasnya, angka sementara BPS menunjukkan bahwa produksi padi 2020 meningkat 1,02%.
Konsumsi beras pada 2020 diperkirakan menurun sebagai akibat dari penurunan aktivitas ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 khususnya pada sektor rumah makan, restoran, katering, hotel, dan pariwisata yang banyak menggunakan beras. Dengan demikian, produksi beras 2020 diperkirakan tidak defisit, bahkan Kementerian Pertanian memperkirakan surplus produksi beras sebesar 2,26 juta ton.
Kelima, prospek produksi padi dan kondisi sosial politik tahun depan. Realitasnya, BMKG dan Lembaga-Lembaga Meteorologi global telah menyatakan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang telah muncul sejak September 2020 dan diperkirakan akan berlangsung hingga April 2021. La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama (sekitar 6 bulan atau lebih) berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Dalam pada itu, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras.
Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020 ini. La Nina dalam dua bulan ke depan harus dijadikan peluang untuk memacu peningkatan produksi padi musim tanam 2020/2021 sehingga pada 2021 pun tidak perlu impor beras.
La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Artinya, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras
Peluang Fenomena La Nina
Pengalaman pada 2018 telah membuktikan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang dengan durasi cukup lama adalah kesempatan besar untuk meningkatkan produksi padi. Produksi padi pada 2018 adalah yang paling tinggi dalam tiga tahun terakhir. Angka sementara produksi padi tahun 2020 sebesar 55,16 lebih rendah 7,22% dari produksi pada tahun 2018 yang mencapai 59,20 juta ton.
Jika ditelaah lebih jauh, permasalahan pokok produksi padi pada 2019 dan 2020 adalah penurunan luas panen musim hujan (MH) pada periode Januari- Juni yang merupakan hasil dari luas tanam pada periode Oktober-Maret. Sebagai gambaran, luas panen pada MH 2018 mencapai 6,686 juta hektare (ha) yang kemudian menurun 5,05% menjadi 6,348 juta ha pada 2019, lalu anjlok lagi 9,81% menjadi hanya 5,725 juta ha pada 2020. Luas panen MH 2020 lebih rendah 14,37% dari pada 2018. Dengan demikian, jika capaian pada masa La Nina 2017/2018 dapat diulang pada masa La Nina 2020/2021 maka produksi beras Indonesia akan melimpah pada 2021.
Anjloknya luas panen pada MH 2019 dan MH 2020, termasuk di sentra-sentra produksi beririgasi teknis hanya oleh ganguan El Nino lemah berdurasi pendek, merupakan pertanda kerusakan parah dalam sistem irigasi kita. Saya memandang, program restorasi sistem irigasi persawahan nasional eksisting jauh lebih efektif serta memberikan hasil lebih besar dan lebih cepat daripada program Lumbung Pangan di lahan-lahan pertanian sub optimal.
Selain berdampak positif terhadap luas tanam, La Nina juga menimbulkan beberapa ancaman, seperti peningkatan intensitas serangan organisme pengganggu tanaman dan banjir yang dapat menimbulkan gagal tanam dan gagal panen. Dampak lainnya juga terjadinya gagal panen tepat waktu akibat curah hujan tinggi, sehingga produktivitas padi menurun.
Upaya untuk memanfaatkan peluang dan mengelola ancaman fenomena La Nina sudah harus dimulai pada Oktober ini. Kementerian Pertanian perlu mencanangkan Upaya Khusus Pemanfaatan Peluang Fenomena La Nina Genjot Produksi Padi 2021 dengan elemen kegiatan utama berikut. Pertama, segera mengaktifkan Konstratani sebagai ujung tombak manajemen operasional terpadu. Ini adalah masa yang tepat untuk menunjukkan bahwa Konstratani adalah terobosan pendekatan manajemen pembangunan pertanian yang sungguh jitu.
Kedua, menyediakan benih unggul padi tahan rendaman seperti Inpari 30 (Ciherang Sub1), Inpara 5 (IR64-sub1), Inpara 29, dan Inpara karya Badan Litbang Pertanian serta varietas karya lembaga penelitian lainnya. Momentum ini hendaknya digunakan untuk membangun sistem perbenihan terstruktur, berbasis pada Kawasan mandiri benih dan terkoneksi dengan lembaga penelitian penelitian sebagai sumber inovasi. Ketiga, menjamin ketersediaan pupuk subsidi 6 T (tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu). Masalah penyaluran pupuk subsidi melalui Kartu Tani perlu segera dituntaskan.
Keempat, mengaktifkan brigade alat dan mesin pertanian yang sudah terbangun beberapa tahun ini. Kelima, membangun sistem peringatan dan mitigasi bencana. Termasuk dalam hal ini adalah pembenahan sistem irigasi dan tanggap banjir, tanggap serangan hama dan penyakit, dan penyediaan fasilitasi asuransi gagal panen.
(bmm)