MK Pastikan Pasal 28 UU Otsus Papua Bukan untuk Pendirian Parpol Lokal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan frasa 'partai politik' dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus ( Otsus) Papua bukanlah dimaksud sebagai partai politik dan tidak melanggar hak konstitusional warga yang memohonkan uji materiil ke MK.
Kepastian ini termaktub secara jelas dalam salinan putusan nomor: 41/PUU-XVII/2019 yang dibacakan para hakim konstitusi saat sidang Pleno pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (26/10/2020). Pertimbangan putusan dibaca oleh hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat, Sedangkan bagian konklusi dan amar dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman. Para pemohon dan kuasa hukumnya mengikuti persidangan secara virtual.
Perkara ini diajukan oleh Krisman Dedi Awi Fonataba dan Darius Nawipa. Para pemohon melakukan uji materiil Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi UU. ( )
Hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan, berdasarkan risalah pembahasan RUU Otsus Papua, maka terdapat istilah "partai politik lokal" sebagai pemaknaan dari frasa "partai politik" dalam RUU a quo memang benar pernah muncul. Namun pendapat tersebut dikemukakan oleh salah seorang anggota Tim Asistensi RUU Otsus Papua. Apabila ditelusuri lebih jauh, yang bersangkutan konsisten menyebut istilah "partai politik lokal" selama proses pembahasan.
Namun demikian, tutur Arief, apabila dibaca secara saksama pendapat yang dikemukakan sejumlah anggota DPR yang tergabung dalam Pansus RUU Otsus Papua, frasa "partai politik" dimaksud bukanlah partai politik dalam pengertian "partai politik lokal".
Arief menegaskan, terkait pengaturan partai politik di Provinsi Papua diatur dalam Bab VII Partai Politik Pasal 28 UU Otsus Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001). Pasal 28 terdiri atas empat ayat. Di antaranya ayat (1), "Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik". Ayat (2), "Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
"Dalam batas penalaran yang wajar, frasa "sesuai dengan peraturan perundang-undangan" sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 28 ayat (2) a quo tidaklah menggambarkan dan menunjukkan karakter sebagai sebuah partai politik lokal. Dengan demikian, pengaturan partai politik di Papua sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU Nomor 21 Tahun 2001 bukanlah dimaksudkan sebagai partai politik lokal. Sebab, pengaturan partai politik dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak secara tegas dikatakan dan sekaligus dimaknai sebagai partai politik lokal," kata Arief saat membacakan pertimbangan putusan nomor: 41/PUU-XVII/2019. ( )
Dia melanjutkan, bahkan jika hendak dibandingkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan partai politik lokal disebut secara eksplisit dalam Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU tersebut. Tidak hanya penyebutan tersebut, UU Nomor 11 Tahun 2006 pun menguraikan secara terperinci ihwal partai politik lokal dalam satu bab khusus, yaitu Bab XI Pasal 75 sampai dengan Pasal 95. Pasal-pasal itu mengatur mulai dari Pembentukan; Asas, Tujuan, dan Fungsi; Hak dan Kewajiban; Larangan; Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; Keuangan; Sanksi; Persyaratan Mengikuti Pemilu Anggota DPRA/DPRK, Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota; dan Pengawasan terhadap partai politik lokal.
Artinya, Arief memaparkan, jika pembentuk undang-undang bermaksud frasa "partai politik" dalam UU Otsus Papua sebagai partai politik lokal, maka pengaturannya akan dilakukan secara terperinci berkenaan dengan segala sesuatu yang terkait dengan partai politik lokal. Karenanya menurut Mahkamah, partai politik lokal memang tidak termasuk sebagai bentuk kekhususan yang diberikan UU Otsus Papua dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua.
"Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa frasa "partai politik” dalam Pasal 28 UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah partai politik lokal," ujar Arief.
Namun, tutur Arief, Papua dalam posisi sebagai salah satu daerah yang diberi status otonomi khusus, dalam hal apabila terdapat kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang partai politik pada masa mendatang, maka pembentuk undang-undang dapat saja memberikan pengaturan khusus pengelolaan partai politik di Papua yang memungkinkan warga negara yang merupakan penduduk Papua memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat mengelola partai politik nasional yang berada di Papua.
"Bahkan, sebagai bagian dari demokratisasi partai politik, pengaturan khusus dimaksud dapat menjadi model percontohan desentralisasi pengelolaan partai politik nasional di daerah," katanya.
Dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan lebih luas untuk terlibat mengelola partai politik akan memberikan ruang lebih luas kepada warga negara penduduk Papua untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang merupakan hasil kontestasi politik yang melibatkan partai politik. Namun demikian, jika pembentukan partai politik lokal akan dijadikan sebagai bagian dari kekhususan Papua, maka pembentuk undang-undang dapat melakukan dengan cara merevisi UU Nomor 21 Tahun 2001.
"Sepanjang penentuannya diberikan sesuai dengan latar belakang dan kebutuhan nyata Papua serta tetap dimaksudkan sebagai bagian dari menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Arief.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, ada tiga kesimpulan (konklusi) yang diambil Mahkamah berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan putusan. Masing-masing yakni Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, dan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman.
Anwar mengungkapkan, putusan ini diputus dalam dua Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) oleh sembilan
hakim konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Suhartoyo, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Manahan MP Sitompul, dan Wahiduddin Adams masing-masing sebagai anggota. RPH pertama pada Selasa, 21 Juli 2020 dan RPH kedua pada Kamis, 15 Oktober 2020. Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada Senin (26/10/2020).
Kepastian ini termaktub secara jelas dalam salinan putusan nomor: 41/PUU-XVII/2019 yang dibacakan para hakim konstitusi saat sidang Pleno pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (26/10/2020). Pertimbangan putusan dibaca oleh hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat, Sedangkan bagian konklusi dan amar dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman. Para pemohon dan kuasa hukumnya mengikuti persidangan secara virtual.
Perkara ini diajukan oleh Krisman Dedi Awi Fonataba dan Darius Nawipa. Para pemohon melakukan uji materiil Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi UU. ( )
Hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan, berdasarkan risalah pembahasan RUU Otsus Papua, maka terdapat istilah "partai politik lokal" sebagai pemaknaan dari frasa "partai politik" dalam RUU a quo memang benar pernah muncul. Namun pendapat tersebut dikemukakan oleh salah seorang anggota Tim Asistensi RUU Otsus Papua. Apabila ditelusuri lebih jauh, yang bersangkutan konsisten menyebut istilah "partai politik lokal" selama proses pembahasan.
Namun demikian, tutur Arief, apabila dibaca secara saksama pendapat yang dikemukakan sejumlah anggota DPR yang tergabung dalam Pansus RUU Otsus Papua, frasa "partai politik" dimaksud bukanlah partai politik dalam pengertian "partai politik lokal".
Arief menegaskan, terkait pengaturan partai politik di Provinsi Papua diatur dalam Bab VII Partai Politik Pasal 28 UU Otsus Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001). Pasal 28 terdiri atas empat ayat. Di antaranya ayat (1), "Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik". Ayat (2), "Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
"Dalam batas penalaran yang wajar, frasa "sesuai dengan peraturan perundang-undangan" sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 28 ayat (2) a quo tidaklah menggambarkan dan menunjukkan karakter sebagai sebuah partai politik lokal. Dengan demikian, pengaturan partai politik di Papua sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU Nomor 21 Tahun 2001 bukanlah dimaksudkan sebagai partai politik lokal. Sebab, pengaturan partai politik dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak secara tegas dikatakan dan sekaligus dimaknai sebagai partai politik lokal," kata Arief saat membacakan pertimbangan putusan nomor: 41/PUU-XVII/2019. ( )
Dia melanjutkan, bahkan jika hendak dibandingkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan partai politik lokal disebut secara eksplisit dalam Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU tersebut. Tidak hanya penyebutan tersebut, UU Nomor 11 Tahun 2006 pun menguraikan secara terperinci ihwal partai politik lokal dalam satu bab khusus, yaitu Bab XI Pasal 75 sampai dengan Pasal 95. Pasal-pasal itu mengatur mulai dari Pembentukan; Asas, Tujuan, dan Fungsi; Hak dan Kewajiban; Larangan; Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; Keuangan; Sanksi; Persyaratan Mengikuti Pemilu Anggota DPRA/DPRK, Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota; dan Pengawasan terhadap partai politik lokal.
Artinya, Arief memaparkan, jika pembentuk undang-undang bermaksud frasa "partai politik" dalam UU Otsus Papua sebagai partai politik lokal, maka pengaturannya akan dilakukan secara terperinci berkenaan dengan segala sesuatu yang terkait dengan partai politik lokal. Karenanya menurut Mahkamah, partai politik lokal memang tidak termasuk sebagai bentuk kekhususan yang diberikan UU Otsus Papua dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua.
"Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa frasa "partai politik” dalam Pasal 28 UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah partai politik lokal," ujar Arief.
Namun, tutur Arief, Papua dalam posisi sebagai salah satu daerah yang diberi status otonomi khusus, dalam hal apabila terdapat kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang partai politik pada masa mendatang, maka pembentuk undang-undang dapat saja memberikan pengaturan khusus pengelolaan partai politik di Papua yang memungkinkan warga negara yang merupakan penduduk Papua memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat mengelola partai politik nasional yang berada di Papua.
"Bahkan, sebagai bagian dari demokratisasi partai politik, pengaturan khusus dimaksud dapat menjadi model percontohan desentralisasi pengelolaan partai politik nasional di daerah," katanya.
Dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan lebih luas untuk terlibat mengelola partai politik akan memberikan ruang lebih luas kepada warga negara penduduk Papua untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang merupakan hasil kontestasi politik yang melibatkan partai politik. Namun demikian, jika pembentukan partai politik lokal akan dijadikan sebagai bagian dari kekhususan Papua, maka pembentuk undang-undang dapat melakukan dengan cara merevisi UU Nomor 21 Tahun 2001.
"Sepanjang penentuannya diberikan sesuai dengan latar belakang dan kebutuhan nyata Papua serta tetap dimaksudkan sebagai bagian dari menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Arief.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, ada tiga kesimpulan (konklusi) yang diambil Mahkamah berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan putusan. Masing-masing yakni Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, dan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman.
Anwar mengungkapkan, putusan ini diputus dalam dua Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) oleh sembilan
hakim konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Suhartoyo, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Manahan MP Sitompul, dan Wahiduddin Adams masing-masing sebagai anggota. RPH pertama pada Selasa, 21 Juli 2020 dan RPH kedua pada Kamis, 15 Oktober 2020. Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada Senin (26/10/2020).
(abd)