Merawat Sense of Pandemic

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 05:24 WIB
loading...
Merawat “Sense of Pandemic”
Iqbal Mochtar
A A A
Iqbal Mochtar
Dokter dan Pemerhati Masalah Kesehatan


PANDEMI membutuhkan penatalaksanaan yang komprehensif dan konsisten. Semua chain of actions harus berjalan sinergi dan tidak kontra-produktif. Sayangnya, pemerintah dan lembaga negara terkesan kurang mampu menjaga ritme sinergitas ini. Entah karena ketidaktahuan atau kealpaan, mereka berkali-kali melakukan langkah kontra-produktif. Dan, fenomena ini makin nyata akhir-akhir ini.

Di tengah jumlah kasus baru dan kematian Covid-19 yang masih terus meningkat, tiba-tiba DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Pengesahan ini kontan mendapat reaksi berupa unjuk rasa besar-besaran. Terjadi demonstrasi luas yang melibatkan banyak orang di berbagai daerah. Parahnya, para demonstran beraksi tanpa memperhatikan lagi protokol kesehatan. Pembatasan jarak, penggunaan masker dan cuci tangan semua terlanggar. Maka wajar bila sejumlah ahli kesehatan memprediksi akan meledaknya kasus baru plus kematian Covid-19 dalam beberapa pekan mendatang.

Di Amerika Serikat (AS), beberapa bulan lalu terjadi demonstrasi besar di ratusan kota berkaitan dengan kematian George Floyd. Di berbagai kota besar seperti Hennepin, Washington DC dan New York, demonstrasi ini ternyata tidak diikuti oleh peningkatan jumlah kasus Covid-19. Karenanya, sebagian ahli langsung berkesimpulan bahwa demonstrasi tidak meningkatkan kasus Covid-19. Namun, saat dianalisis secara keseluruhan, terdapat banyak daerah yang mengalami peningkatan kasus pascademonstrasi. Dari 3.141 counties atau wilayah yang ada di AS, 1.421 counties mengalami peningkatan jumlah kasus, 1.198 counties mengalami penurunan kasus dan 522 counties tidak mengalami perubahan. Perlu dicatat bahwa figur ini terjadi di tengah demonstrasi yang dilaporkan berjalan tertib dengan penerapan standar protokol yang baik, termasuk penggunaan masker. Pada saat yang sama, masyarakat yang tidak berdemo, tidak keluar rumah selama beberapa waktu. Ahli epidemiologi menganggap kedua faktor inilah yang mengerem peningkatan signifikan kasus Covid-19 pascademonstrasi.

Sayangnya, kondisi kontributif seperti ini tidak terjadi pada demonstrasi di Indonesia. Di sini ribuan atau puluhan ribu pendemo berkumpul, berteriak, bernyanyi dan bergerak secara scattered tanpa memedulikan protokol kesehatan. Ini sangat berpotensi menularkan virus lewat droplet dan aerosol. Petugas keamanan juga berkumpul dan menyemprotkan water cannon yang berpotensi memperluas penyebaran virus. Tidak ada lagi implementasi standard precautions. Jadi beralasan bila ahli kesehatan khawatir bahwa pascademonstrasi ini akan terdapat peningkatan signifikan kasus Covid-19.

DPR adalah lembaga terhormat yang diisi orang-orang pandai. Mereka tentu terlatih berpikir antisipatif. Selayaknya mereka bisa memprediksi akan adanya resistensi masyarakat, termasuk demonstrasi, terhadap pengesahan UU Ombinus Law ini. Mereka pun tidak buta melihat bahwa pandemi saat ini masih berlangsung progresif dan belum ada tanda-tanda penurunan. Artinya, mereka seharusnya paham tentang potensi perburukan pandemi akibat pengesahan UU tanpa memperhitungkan waktu yang tepat. Dengan premis ini, selayaknya mereka mencari timing yang tepat untuk pengesahan. Mengapa tidak menunggu pandemi mereda sebelum melakukan pengesahan UU? Seberapa urgent UU tersebut disahkan saat ini? Apakah rakyat Indonesia akan mati besok apabila Omnibus Law tidak disahkan sekarang?

Isu lain adalah pilkada serentak pada 9 Desember yang tahapannya tetap dilanjutkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, untuk mencegah kevakuman pemerintahan daerah di tengah pandemi yang belum jelas akhirnya. Kedua, pilkada dianggap sebuah golden opportunity untuk menurunkan kasus Covid-19. Alasannya, saat pilkada akan marak kampanye di mana kampanye tersebut dapat dimanfaatkan untuk penyebarluasan informasi protokol kesehatan, pembagian masker dan handsanitizer. Aksi ini dianggap dapat menurunkan kasus Covid-19.

Pertimbangan pertama tampak rasional namun tidak absolut. Artinya, ada alternatif lain. Pemerintah bisa membuat peraturan untuk memperpanjang masa jabatan pemerintah daerah incumbent hingga kondisi pandemi lebih baik. Ini merupakan ranah hukum dan pemerintahan yang pasti bisa dibuat. Pertimbangan kedua kurang valid. Jumlah pemilih yang akan terlibat dalam pilkada ini sangat besar, yaitu 106 juta jiwa atau sekitar 40% penduduk Indonesia. Bila masyarakat dengan jumlah masif ini datang serempak ke satu daerah, maka sangat mungkin transmisi Covid-19 merebak. Apalagi mereka datang bukan hanya untuk memilih tetapi juga bertemu teman-teman, berkumpul dan bersosialisasi. Ini membuka peluang teretasnya satu atau lebih protokol kesehatan. Belum lagi saat para calon kepala daerah melakukan kampanye. Saat kampanye, akan terjadi pengumpulan ribuan, atau bahkan puluhan ribu orang dalam satu waktu dan tempat. Ini sangat berpotensi menimbulkan ratusan kluster baru di daerah pilkada dan sekaligus menjadi port d’entry penyebaran Covid-19 ke seluruh Indonesia. Jadi narasi bahwa pilkada akan menurunkan kasus Covid-19 tidak lebih dari sebuah mimpi indah. Melanjutkan pilkada di tengah pandemi yang masih progresif justru merupakan sebuah keputusan dan eksperimen politik yang amat berpotensi merugikan rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdalih akan menetapkan aturan ketat protokol kesehatan, termasuk anjuran kampanye daring. KPU mungkin kurang aware bahwa jangankan peringatan protokol kesehatan, pelaksanaan PSBB saja belum dapat mengurangi perburukan pandemi.

Pada tingkat dunia, terdapat ratusan pemilihan berbagai tingkatan (election) yang seharusnya berlangsung pada masa pandemi ini. Dari jumlah ini, hingga pertengahan Oktober 2020, telah terdapat 73 negara atau wilayah yang menunda pemilihan atas alasan pandemi, termasuk pemilihan presiden dan perdana menteri. Sementara puluhan negara tetap melanjutkan pemilihan seperti Burundi, Prancis dan Korea Selatan. Dari negara yang melanjutkan pemilihan, tren epidemiologi Covid-19 bervariasi; sebagian meningkat dan sebagian tidak meningkat. Namun, analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pada semua negara yang melakukan pemilihan saat kurva epiodemiologinya masih menanjak, jumlah kasus Covid-19 meningkat signifikan. Di Serbia, jumlah kasus meningkat hampir lima hingga enam kali lipat pasca-pemilihan; di Singapura dan Polandia meningkat dua kali lipat. Padahal saat pemilihan, negara-negara ini mengimplementasikan standard precautions yang ketat. Belajar dari pengalaman tersebut, pilkada di Indonesia seharusnya ditunda hingga kurva epidemiologi mengalami penurunan. Tidak perlu kurva melandai total tapi paling tidak terdapat penurunan 10%. Itu pun harus disertai standard precautions yang ketat.

Tampak bahwa memang pemerintah tidak merawat sense of pandemic secara serius. Di tengah kurva pandemi yang masih terus meningkat dan belum diketahui puncaknya, mereka menyetujui dua event besar yang sangat berpotensi meningkatkan kasus Covid-19. Ini sangat tidak time-relevance. Pemerintah mungkin lupa bahwa pandemi adalah krisis kesehatan dan krisis global. Jangankan Omnibus Law atau pilkada, pemilihan pemimpin negara pun dapat ditunda atas alasan pandemi. Bila banyak negara berani menunda berbagai event khususnya, lantas apa alasan sebenarnya yang mendorong pemerintah ngotot mengesahkan Omnibus Law dan melanjutkan pilkada di tengah pandemi yang masih bergejolak? Hanya pemerintah yang tahu jawabannya!





(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2563 seconds (0.1#10.140)