Catatan Pakar Hukum Tata Negara soal Proses Pembuatan UU Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti membeberkan mengapa Omnibus Law UU Cipta Kerja simpang-siur. Menurut dia, ini lantaran pembahasan atau pun persetujuan tingkat 1 RUU Cipta Kerja dilakukan pada hari Sabtu, 3 Oktober di atas jam 22.00 WIB.
"Ini juga tidak wajar ya sebenarnya, itu sudah harus ada naskah finalnya, itu kelaziman dan juga diatur Undang-undang," jelas Bivitri dalam diskusi Populi Center dan Smart FM Network bertajuk Omnibus Law dan Aspirasi Publik, Sabtu (17/10/2020)
(Baca: Survei Indometer Sebut 90,1% Publik Setuju UU Omnibus Law Ciptaker)
Dia mengatakan, biasanya sudah ada naskah lengkap pada rapat kerja DPR pengambilan keputusan tingkat 1. "Nah ini kita tahu begitu terburu-buru bahkan juga ada keinginan yang sangat luar biasa untuk mempercepat rapat (Paripurna) dari tanggal 8 Oktober ke 5 Oktober, tanpa pemberitahuan yang memadai, ini juga menyalahi prosedural," tuturnya.
Karena itu, kata Bivitri, tidak ada naskah final pada rapat paripurna DPR pengesahan Omnibus Law Ciptaker Senin 5 Oktober lalu. "Kita tahu beredar 905 halaman nah itu kemudian ada 1052, 1035, terakhir 812, saya hampir hafal, saya mencoba menelusuri, karena diminta kan begitu kalau mau kritis kritisnya yang benar dong, sumbernya yang mana? Karena masing-masing itu berbeda-beda," pungkasnya.
(Baca: Omnibus Law Dikebut, Mafia Birokrasi Kalang Kabut)
Lebih lanjuta dia menyebutkan, pembuatan Omnibus Law UU Cipta Kerja merupakan yang paling buruk dalam proses legislasi pada era reformasi. Dia menyebut ada pelanggaran hukum tata negara secara prosedural.
"Nah kalau pertanyaannya apakah mengubah-ubah naskah dan lain sebagainya, itu melanggar hukum tata negara secara prosedural, iya. Melanggar prinsip iya juga. Jadi ini praktik yang sangat buruk dalam catatan kami bahkan ini yang terburuk ya dalam proses legislasi selama ini terutama pasca reformasi," ujar dia.
"Ini juga tidak wajar ya sebenarnya, itu sudah harus ada naskah finalnya, itu kelaziman dan juga diatur Undang-undang," jelas Bivitri dalam diskusi Populi Center dan Smart FM Network bertajuk Omnibus Law dan Aspirasi Publik, Sabtu (17/10/2020)
(Baca: Survei Indometer Sebut 90,1% Publik Setuju UU Omnibus Law Ciptaker)
Dia mengatakan, biasanya sudah ada naskah lengkap pada rapat kerja DPR pengambilan keputusan tingkat 1. "Nah ini kita tahu begitu terburu-buru bahkan juga ada keinginan yang sangat luar biasa untuk mempercepat rapat (Paripurna) dari tanggal 8 Oktober ke 5 Oktober, tanpa pemberitahuan yang memadai, ini juga menyalahi prosedural," tuturnya.
Karena itu, kata Bivitri, tidak ada naskah final pada rapat paripurna DPR pengesahan Omnibus Law Ciptaker Senin 5 Oktober lalu. "Kita tahu beredar 905 halaman nah itu kemudian ada 1052, 1035, terakhir 812, saya hampir hafal, saya mencoba menelusuri, karena diminta kan begitu kalau mau kritis kritisnya yang benar dong, sumbernya yang mana? Karena masing-masing itu berbeda-beda," pungkasnya.
(Baca: Omnibus Law Dikebut, Mafia Birokrasi Kalang Kabut)
Lebih lanjuta dia menyebutkan, pembuatan Omnibus Law UU Cipta Kerja merupakan yang paling buruk dalam proses legislasi pada era reformasi. Dia menyebut ada pelanggaran hukum tata negara secara prosedural.
"Nah kalau pertanyaannya apakah mengubah-ubah naskah dan lain sebagainya, itu melanggar hukum tata negara secara prosedural, iya. Melanggar prinsip iya juga. Jadi ini praktik yang sangat buruk dalam catatan kami bahkan ini yang terburuk ya dalam proses legislasi selama ini terutama pasca reformasi," ujar dia.
(muh)