Survei Indometer Sebut 90,1% Publik Setuju UU Omnibus Law Ciptaker
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belakangan ini wacana publik diramaikan dengan soal pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pro dan kontra menyeruak, di mana aksi-aksi demonstrasi menolak Omnibus Law pecah di berbagai kota hingga berujung bentrokan dan perusakan fasilitas umum.
Temuan survei Indometer menunjukkan sedikit sekali publik yang mendengar atau mengetahui tentang Omnibus Law. Hanya 31,2% publik yang tahu, sebagian besar sebanyak 68,8% mengaku sama sekali tidak tahu,” katanya. (Baca juga: Naskah RUU Cipta Kerja Disampaikan ke Presiden)
Di antara yang mengetahui, hampir semuanya menyatakan setuju dengan Omnibus Law. Sebanyak 90,1% publik setuju, hanya 8,6% yang terang-terangan menolak, dan sisanya 1,3% tidak tahu/tidak menjawab. “Hanya 30-an persen publik yang mengetahui tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja, di antara yang mengetahui lebih dari 90% setuju dengan RUU tersebut,” ungkap Direktur Eksekutif Indometer Leonard SB dalam press release di Jakarta, pada Jumat (16/10/2020). (Baca juga: Perumusan Aturan Turunan UU Cipta Kerja Perlu Libatkan Publik)
Menurut Leonard, hal ini sekaligus menjadi catatan kritis bagi pemerintah, di mana rumusan kebijakan yang dinilai sangat strategis kurang dikomunikasikan kepada publik. Simpang siurnya informasi menyebabkan muncul banyak tudingan hoaks terhadap isi Omnibus Law yang beredar. Seperti diketahui, RUU Cipta Kerja merupakan paket pertama dari rangkaian Omnibus Law yang digagas Presiden Jokowi. Tujuan besarnya adalah untuk menyederhanakan regulasi, di mana perubahan terhadap puluhan UU dilakukan sekaligus, tidak satu per satu. (Baca juga: DPR Klaim Tak Ada Pasal Selundupan UU Ciptaker)
Minimnya sosialisasi bisa jadi karena faktor pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020, Leonard menambahkan. Pembahasan cenderung dilakukan tertutup oleh pemerintah dan DPR, hingga tiba-tiba disahkan pada awal Oktober 2020. “Di antara yang menyatakan setuju, alasan utama adalah bahwa Omnibus Law bisa menciptakan lapangan kerja sebesar 75,4%, hanya 13,4% tidak setuju, dan 11,3% tidak tahu/tidak jawab,” papar Leonard.
RUU Omnibus law Cipta Kerja dilatarbelakangi situasi perang dagang Amerika dan China, di mana Indonesia dinilai tidak berhasil memetik keuntungan untuk menarik investasi. Ditambah faktor pandemi, di mana banyak terjadi PHK, kebutuhan akan omnibus law jadi semakin besar. Alasan lainnya memudahkan perizinan (72,1%/15,7%/12,2%), memulihkan ekonomi nasional (69,4%/19,9%/10,7%), dan menghidupkan UMKM (65,3%/23,1%/11,6%).
Lalu mendorong investasi (60,5%/19,0%/20,5%), menyederhanakan birokrasi (56,1%/15,7%/28,2%), dan menyelesaikan tumpang-tindih perundang-undangan (52,2%/26,4%/21,4%). “Di antara sebagian kecil yang menyatakan tidak setuju, alasan terbesar adalah bahwa Omnibus Law merupakan intervensi asing (75,0%), sisanya 18,8% tidak setuju dan 6,3% tidak tahu/tidak jawab,” jelas Leonard.
Alasan lainnya, memudahkan tenaga kerja China masuk (68,8%/21,9%/9,4%), merugikan pekerja (59,4%/25,0%/15,6%), PHK tanpa pesangon (46,9%/ 15,6%/37,5%), dan libur Lebaran ditiadakan (37,5%/46,9%/15,6%). Naiknya pemberitaan seputar Omnibus Law selama sepekan belakangan bisa jadi meningkatkan pengetahuan publik. “Pemerintah harus bisa menjelaskan secara transparan substansi Omnibus Law dan mengapa RUU itu sangat dibutuhkan Indonesia,” pungkas Leonard.
Survei Indometer dilakukan pada 25 September-5 Oktober 2020 melalui sambungan telepon kepada 1.200 responden dari seluruh provinsi yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error sebesar 2,98% pada tingkat kepercayaan 95%.
Temuan survei Indometer menunjukkan sedikit sekali publik yang mendengar atau mengetahui tentang Omnibus Law. Hanya 31,2% publik yang tahu, sebagian besar sebanyak 68,8% mengaku sama sekali tidak tahu,” katanya. (Baca juga: Naskah RUU Cipta Kerja Disampaikan ke Presiden)
Di antara yang mengetahui, hampir semuanya menyatakan setuju dengan Omnibus Law. Sebanyak 90,1% publik setuju, hanya 8,6% yang terang-terangan menolak, dan sisanya 1,3% tidak tahu/tidak menjawab. “Hanya 30-an persen publik yang mengetahui tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja, di antara yang mengetahui lebih dari 90% setuju dengan RUU tersebut,” ungkap Direktur Eksekutif Indometer Leonard SB dalam press release di Jakarta, pada Jumat (16/10/2020). (Baca juga: Perumusan Aturan Turunan UU Cipta Kerja Perlu Libatkan Publik)
Menurut Leonard, hal ini sekaligus menjadi catatan kritis bagi pemerintah, di mana rumusan kebijakan yang dinilai sangat strategis kurang dikomunikasikan kepada publik. Simpang siurnya informasi menyebabkan muncul banyak tudingan hoaks terhadap isi Omnibus Law yang beredar. Seperti diketahui, RUU Cipta Kerja merupakan paket pertama dari rangkaian Omnibus Law yang digagas Presiden Jokowi. Tujuan besarnya adalah untuk menyederhanakan regulasi, di mana perubahan terhadap puluhan UU dilakukan sekaligus, tidak satu per satu. (Baca juga: DPR Klaim Tak Ada Pasal Selundupan UU Ciptaker)
Minimnya sosialisasi bisa jadi karena faktor pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020, Leonard menambahkan. Pembahasan cenderung dilakukan tertutup oleh pemerintah dan DPR, hingga tiba-tiba disahkan pada awal Oktober 2020. “Di antara yang menyatakan setuju, alasan utama adalah bahwa Omnibus Law bisa menciptakan lapangan kerja sebesar 75,4%, hanya 13,4% tidak setuju, dan 11,3% tidak tahu/tidak jawab,” papar Leonard.
RUU Omnibus law Cipta Kerja dilatarbelakangi situasi perang dagang Amerika dan China, di mana Indonesia dinilai tidak berhasil memetik keuntungan untuk menarik investasi. Ditambah faktor pandemi, di mana banyak terjadi PHK, kebutuhan akan omnibus law jadi semakin besar. Alasan lainnya memudahkan perizinan (72,1%/15,7%/12,2%), memulihkan ekonomi nasional (69,4%/19,9%/10,7%), dan menghidupkan UMKM (65,3%/23,1%/11,6%).
Lalu mendorong investasi (60,5%/19,0%/20,5%), menyederhanakan birokrasi (56,1%/15,7%/28,2%), dan menyelesaikan tumpang-tindih perundang-undangan (52,2%/26,4%/21,4%). “Di antara sebagian kecil yang menyatakan tidak setuju, alasan terbesar adalah bahwa Omnibus Law merupakan intervensi asing (75,0%), sisanya 18,8% tidak setuju dan 6,3% tidak tahu/tidak jawab,” jelas Leonard.
Alasan lainnya, memudahkan tenaga kerja China masuk (68,8%/21,9%/9,4%), merugikan pekerja (59,4%/25,0%/15,6%), PHK tanpa pesangon (46,9%/ 15,6%/37,5%), dan libur Lebaran ditiadakan (37,5%/46,9%/15,6%). Naiknya pemberitaan seputar Omnibus Law selama sepekan belakangan bisa jadi meningkatkan pengetahuan publik. “Pemerintah harus bisa menjelaskan secara transparan substansi Omnibus Law dan mengapa RUU itu sangat dibutuhkan Indonesia,” pungkas Leonard.
Survei Indometer dilakukan pada 25 September-5 Oktober 2020 melalui sambungan telepon kepada 1.200 responden dari seluruh provinsi yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error sebesar 2,98% pada tingkat kepercayaan 95%.
(cip)