Jangan Eksploitasi Pelajar untuk Demo Tolak UU Cipta Kerja

Jum'at, 16 Oktober 2020 - 08:01 WIB
loading...
A A A
Arist meminta semua pihak tidak melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan politik atau demonstrasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Sebabnya, menggerakkan anak dalam kegiatan politik yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan mereka adalah bentuk kekerasan dan eksploitasi politik dan kejahatan terhadap kemanusiaan. “Janganlah kita memanfaatkan anak untuk kepentingan politik,” katanya.

Mabes Polri menyebut aksi unjuk rasa pada 13 Oktober 2020 diikuti banyak pelajar. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 806 orang tersebar di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Pelibatan pelajar ini sangat disayangkan, apalagi ada beberapa di antara mereka yang masih duduk di bangku SD dan SMP. (Baca juga: Jaga Kesehatan Mata, Batasi Anak Main Gadget)

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan, 806 pelajar yang tertangkap demo semua sudah didata. Mereka diberi pengarahan, selanjutnya diserahkan ke orang tua masing-masing. “Perlu bimbingan semua pihak, terutama orang tua, agar anak-anak tidak ikut-ikutan demo. Apalagi yang mereka perjuangkan tidak tahu,” katanya.

Argo menyebutkan, di Jakarta Utara, pihaknya mengamankan 70 anak-anak di bawah umur alias pelajar. Bahkan, ada yang masih kelas satu dan kelas dua SMP. Dari puluhan pelajar dan remaja yang diamankan, petugas menemukan barang bawaan di dalam tas. Misalnya pentungan, cairan berbahaya, bensin, dan miras.

Rektor Ibnu Chaldun Prof Musni Umar mengungkapkan, berbeda dengan mahasiswa dan buruh yang lebih elegan dalam menyampaikan aspirasinya, demo dan penyampaian pendapat yang dilakukan pelajar jauh lebih anarkistis karena gelora jiwa muda sehingga mereka mudah untuk bertindak anarkistis. “Jadi, mereka mudah terpancing, dipantik sedikit langsung bergelora. Wajar ini bagian dari jiwa muda,” kata Musni.

Dia menyebutkan fenomena pelajar ikut demo baru terjadi belakangan ini, tepatnya saat kejadian “Al-Maidah” menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama beberapa waktu silam. Di situlah tayangan televisi mempertontonkan bagaimana kekerasan terjadi. (Baca juga: Ombusman Surati Kapori, Minta Pendekatan persuasif dalam Unjuk Rasa)

Dari kondisi itu, masyarakat khususnya pelajar menjadi terlibat. Ketertarikan mereka akan demonstrasi dan rasa ingin tahu yang besar membuat mereka tertarik ingin demo. “Ini bagian dari kepedulian mereka. Persoalan mereka mengerti atau tidak, itu soal lain, yang penting mereka hadir dan ikut menyuarakan,” sebutnya.

Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta mengatakan, pelajar adalah remaja sehingga punya energi besar yang perlu penyaluran. Dengan kondisi demikian, mereka memerlukan media penyaluran arah yang baik.

“Pada masa remaja ini, mereka memiliki konformitas yang tinggi pada kelompok karena adanya keinginan untuk diterima sehingga cenderung mengikuti apa yang dilakukan kelompok itu tanpa mempertimbangkan benar, salah, dan apa risikonya. Saat ada pimpinan dalam kelompok teman sebayanya, maka remaja cenderung mengikuti mentah-mentah,” katanya.

Ditambah lagi, pada kondisi pandemi saat ini, para pelajar merasa bosan dengan keadaan sehingga mereka mencari suasana lain dengan cara yang mereka mau. “Pada masa pandemi juga ada faktor kejenuhan menghadapi situasi ini. Energi yang sudah lama tidak tersalurkan, dimanfaatkan pada kegiatan aksi,” katanya. (Lihat videonya: Satukan Tekad untuk Memenangkan Perang Melawan Covid-19)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4407 seconds (0.1#10.140)