Jangan Eksploitasi Pelajar untuk Demo Tolak UU Cipta Kerja

Jum'at, 16 Oktober 2020 - 08:01 WIB
loading...
Jangan Eksploitasi Pelajar untuk Demo Tolak UU Cipta Kerja
Komnas PA menyerukan dan meminta semua elemen masyarakat tidak melibatkan anak-anak dalam aksi menolak UU Cipta Kerja. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyerukan dan meminta semua elemen masyarakat apa pun latar belakangnya tidak melibatkan anak-anak dalam aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI.

Sepanjang aksi menolak UU Cipta Kerja ditemukan fakta bahwa ribuan anak yang tidak mempunyai kepentingan ikut dalam demonstrasi menolak UU RI Cipta Kerja di berbagai daerah.



Di DKI Jakarta, misalnya, ditemukan fakta ratusan demonstrasi berstatus pelajar diamankan dari berbagai titik, seperti di depan Istana, Harmoni, Pasar Senen, Jembatan Layang Pasar Rebo, dan Bundaran HI. Pelajar tersebut disinyalir didatangkan dari berbagai daerah untuk saling lempar dengan aparat keamanan untuk menciptakan situasi memanas dan gaduh.

Jangan Eksploitasi Pelajar untuk Demo Tolak UU Cipta Kerja


Demikian juga di Medan, Sumatera Utara, ditemukan ratusan pelajar di tengah-tengah demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, yang dianggap merugikan masyarakat buruh di Indonesia, bentrok dengan aparat keamanan. Hal yang sama juga di Makassar, Bandung, dan Pontianak. Mereka terlibat dalam demonstrasi yang dilakukan elemen masyarakat buruh, mahasiswa, serta aktivis prodemokrasi. Kemudian di Bandung, Pematangsiantar, Jawa Timur, dan Batam. (Baca: Inilah Tabiat Buruk Suami yang Harus Dijauhi)

“Yang memprihatinkan anak-anak berstatus pelajar tersebut disinyalir didatangkan dari berbagai daerah untuk saling lempar dengan aparat keamanan dalam aksi demonstrasi untuk menciptakan situasi memanas dan gaduh,” ucap Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, kemarin.

Arist menyebutkan banyak anak-anak yang diamankan aparat kepolisian sebelum sampai di arena demonstrasi mengaku mereka dikerahkan melalui sistem pesan berantai menggunakan media sosial. Mereka juga tidak tahu apa yang diperjuangkan.

“Kami hanya diperintahkan berkumpul di satu tempat, lalu disediakan kendaraan dan ada juga yang harus berjuang menumpang truk secara berantai,” kata Arist, mengutip pengakuan seorang anak yang diamankan di Polda Metro Jaya. (Baca juga: Pendidikan Guru Penggerak Diikuti 2.800 Guru)

Dari fakta-fakta tersebut, sangat jelas bahwa anak secara sistemik sengaja diorganisasi secara terukur, dilibatkan, atau dieksploitasi secara politik untuk kepentingan dan tujuan kelompok tertentu. “Sudah tidak terbantahkan lagi bahwa anak-anak sengaja dihadirkan dalam aksi demonstrasi untuk menolak UU Cipta Kerja untuk tujuan dan kepentingan kelompok tertentu,” katanya.

Arist meminta semua pihak tidak melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan politik atau demonstrasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Sebabnya, menggerakkan anak dalam kegiatan politik yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan mereka adalah bentuk kekerasan dan eksploitasi politik dan kejahatan terhadap kemanusiaan. “Janganlah kita memanfaatkan anak untuk kepentingan politik,” katanya.

Mabes Polri menyebut aksi unjuk rasa pada 13 Oktober 2020 diikuti banyak pelajar. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 806 orang tersebar di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Pelibatan pelajar ini sangat disayangkan, apalagi ada beberapa di antara mereka yang masih duduk di bangku SD dan SMP. (Baca juga: Jaga Kesehatan Mata, Batasi Anak Main Gadget)

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan, 806 pelajar yang tertangkap demo semua sudah didata. Mereka diberi pengarahan, selanjutnya diserahkan ke orang tua masing-masing. “Perlu bimbingan semua pihak, terutama orang tua, agar anak-anak tidak ikut-ikutan demo. Apalagi yang mereka perjuangkan tidak tahu,” katanya.

Argo menyebutkan, di Jakarta Utara, pihaknya mengamankan 70 anak-anak di bawah umur alias pelajar. Bahkan, ada yang masih kelas satu dan kelas dua SMP. Dari puluhan pelajar dan remaja yang diamankan, petugas menemukan barang bawaan di dalam tas. Misalnya pentungan, cairan berbahaya, bensin, dan miras.

Rektor Ibnu Chaldun Prof Musni Umar mengungkapkan, berbeda dengan mahasiswa dan buruh yang lebih elegan dalam menyampaikan aspirasinya, demo dan penyampaian pendapat yang dilakukan pelajar jauh lebih anarkistis karena gelora jiwa muda sehingga mereka mudah untuk bertindak anarkistis. “Jadi, mereka mudah terpancing, dipantik sedikit langsung bergelora. Wajar ini bagian dari jiwa muda,” kata Musni.

Dia menyebutkan fenomena pelajar ikut demo baru terjadi belakangan ini, tepatnya saat kejadian “Al-Maidah” menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama beberapa waktu silam. Di situlah tayangan televisi mempertontonkan bagaimana kekerasan terjadi. (Baca juga: Ombusman Surati Kapori, Minta Pendekatan persuasif dalam Unjuk Rasa)

Dari kondisi itu, masyarakat khususnya pelajar menjadi terlibat. Ketertarikan mereka akan demonstrasi dan rasa ingin tahu yang besar membuat mereka tertarik ingin demo. “Ini bagian dari kepedulian mereka. Persoalan mereka mengerti atau tidak, itu soal lain, yang penting mereka hadir dan ikut menyuarakan,” sebutnya.

Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta mengatakan, pelajar adalah remaja sehingga punya energi besar yang perlu penyaluran. Dengan kondisi demikian, mereka memerlukan media penyaluran arah yang baik.

“Pada masa remaja ini, mereka memiliki konformitas yang tinggi pada kelompok karena adanya keinginan untuk diterima sehingga cenderung mengikuti apa yang dilakukan kelompok itu tanpa mempertimbangkan benar, salah, dan apa risikonya. Saat ada pimpinan dalam kelompok teman sebayanya, maka remaja cenderung mengikuti mentah-mentah,” katanya.

Ditambah lagi, pada kondisi pandemi saat ini, para pelajar merasa bosan dengan keadaan sehingga mereka mencari suasana lain dengan cara yang mereka mau. “Pada masa pandemi juga ada faktor kejenuhan menghadapi situasi ini. Energi yang sudah lama tidak tersalurkan, dimanfaatkan pada kegiatan aksi,” katanya. (Lihat videonya: Satukan Tekad untuk Memenangkan Perang Melawan Covid-19)

Shinta menuturkan, pelibatan pelajar dalam demo sebenarnya bukan fenomena baru. Dulu mereka terbiasa tersulut dengan aksi tawuran antarremaja atau antarsekolah. Saat ini mereka dimanfaatkan untuk kegiatan yang mirip (penyaluran energi agresif). “‘Memegang’ salah satu yang dianggap mereka pimpinan saja cukup karena dengan mudah apa yang dilakukannya akan diikuti oleh teman-teman sebayanya,” ucapnya.

Dia menambahkan, secara psikologis, remaja lebih mudah melakukan sesuatu yang dilakukan bersama teman-temannya tanpa memikirkan lebih jauh konsekuensi dari tindakannya. Keinginan untuk diterima dalam kelompok sehingga memiliki kesamaan dalam rangka mencari jati dirinya. “Sehingga ketika sesama teman sebaya ada yang tergerak, dengan mudah pula bisa memengaruhi teman yang lain,” ungkapnya. (R Ratna Purnama/Yan Yusuf/M Yamin)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2237 seconds (0.1#10.140)