Ketentuan Pidana dan Denda Mogok Kerja Dihapus di UU Cipta Kerja

Kamis, 15 Oktober 2020 - 15:26 WIB
loading...
Ketentuan Pidana dan...
Ketentuan pidana dan denda bagi pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja yang diatur dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja dihapus. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Terdapat sejumlah perubahan ketentuan pasal dalam klaster ketenagakerjaan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) antara naskah setebal 905 halaman yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu dan naskah setebal 812 halaman yang diserahkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (14/10/2020) kemarin.

Hal ini diketahui dari pengamatan SINDOnews terhadap kedua naskah tersebut yang didapat dari pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR dan dikonfirmasi Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR, Bab IV: Ketenagakerjaan.

Ada satu perubahan yang menggembirakan yakni penghapusan ketentuan pidana dan denda bagi pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja yang diatur dalam Pasal 81 UU Ciptaker, yang mengubah Pasal 186 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan itu masih diatur dalam naskah UU Cipta Kerja yang disahkan di Rapat Paripurna DPR. ( )

Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, atau Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Berubah menjadi:

Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 93 ayat (2), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 137 dan 138 sendiri, mengatur tentang ketentuan mogok kerja oleh pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh akibat gagalnya perundingan dengan perusahaan. ( )

Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.

Sementara, Pasal 35 ayat 2 dan 3 mengatur tentang kewajiban pemberi kerja atau pelaksana penempatan kerja kepada pekerja/buruh yang diperkerjakannya.

Pasal 35
(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Dan Pasal 93 ayat 2, mengatur tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja/buruh apabila sakit; haid/datang bulan; menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptis, istri melahirkan atau keguguran, anggota keluarga meninggal dunia; dan beberapa ketentuan lainnya.

Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1287 seconds (0.1#10.140)