Paradigma Komprehensif Penanganan Covid-19
loading...
A
A
A
oleh Kamaluddin Latief
Peneliti/Epidemiolog
BADAN Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini minus 5,32%. Pemerintah dan pengamat juga telah memprediksi kemungkinan pertumbuhan negatif berlanjut pada kuartal ketiga ini akibat pandemi Covid-19. Indonesia akan masuk jurang resesi jika kondisi ini terus terjadi pada kuartal-kuartal berikutnya. Saat ini pandemi telah menghantam hampir semua sendi kehidupan kita, termasuk pendidikan, keagamaan, tradisi budaya/kebiasaan, hingga munculnya ancaman resesi ekonomi. Dampak pandemi Covid-19 masih akan terus terasa jika kasus tak kunjung turun.
Akhir 2019 pertama kali pihak berwenang China melaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ada kluster virus baru di Wuhan yang memiliki gejala mirip pneumonia. Perlahan, tapi pasti, virus yang belakangan diketahui sebagai SARS-CoV-2 itu menyebar secara tak terduga ke banyak negara dan tumbuh secara eksponensial dalam waktu kurang dari empat bulan.
Di Tanah Air, saat itu, meskipun banyak pihak yang menganggap bahwa kasus sudah ada di Indonesia, pemerintah baru secara resmi mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, saat kasus dunia mencapai 88.948 kasus. Sebelumnya otoritas pemerintahan sibuk membangun narasi optimisme dan kelakar publik bahwa virus korona tidak berani masuk ke Indonesia. Satu bulan kemudian ada 1.528 kasus positif yang dilaporkan.
Pemerintah kemudian memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Banyak yang menilai bahwa itu pilihan yang gamang karena tidak cepat dan tidak ketat. Kurva kasus penyebaran Covid-19 tidak melandai, ekonomi ikut melemah. Pemerintah mencoba adaptasi kebiasaan baru (AKB) agar ekonomi produktif kembali, sementara jumlah kematian dan kejadian Covid-19 terus naik tanpa bisa dikendalikan.
Harus diakui bahwa kita gagal memanfaatkan momentum emas di awal menghadapi wabah. Kita semua kehilangan kesempatan. Hingga saat ini, ketika tulisan ini dibuat, lebih dari 300.000 kasus positif dengan lebih dari 10.000 kematian terlaporkan di Indonesia.
Langkah terbaru pemerintah sembari menunggu vaksin adalah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020). Kendali diambil alih oleh tim gabungan kementerian. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 turun derajat menjadi satuan tugas. Akankah komite ini bisa bekerja cepat dan tepat di tengah sempitnya waktu dan tantangan alur birokrasi yang tidak mudah? Apakah pilihan langkah pemerintah akan efektif? Bagaimana jika vaksin terlambat dan virus semakin mengganas? Apa yang dapat dilakukan?
Solusi Penanggulangan
Berkaca dari pengalaman selama ini, penanggulangan masalah cenderung dihadapi secara parsial. Ini terbukti menyulitkan. Paradigma harus diubah. Harus ada penanganan pandemik yang terencana dan komprehensif, melibatkan semua pihak dan bersatu dalam menghadapi persoalan. Ada beberapa komponen penting perlu diperbaiki demi penanganan masalah pandemik dan perbaikan fondasi kesehatan kita, yakni pertama, kepemimpinan (leadership) yang merupakan kunci tata kelola. Kepemimpinan ini harus ada mulai dari pusat hingga daerah. Akhir Juli lalu Presiden meminta semua pihak memiliki sense of crisis. Kepekaan terhadap krisis dari seorang pemimpin penting untuk memahami masalah dan mampu membangun strategi jitu untuk menangani pandemi Covid-19 ini.
Kedua, keakuratan data. Data diperlukan karena tanpa evidence based yang kuat, maka kebijakan yang dikeluarkan bisa salah sasaran. Presiden sudah pernah meng-highlight 3T (test, tracing, and treatment). Kalau tes kurang, surveillance lemah (contact tracing), maka data selamanya akan under-reported. Sebagian besar (50%) contact tracing belum didapatkan datanya oleh satuan tugas nasional. Kondisi ini bisa membuat arah kebijakan menjadi salah. Gugus tugas pernah mengeluarkan rekomendasi, boleh berkegiatan bagi pekerja di bawah 45 tahun yang datanya hanya diambil dari laporan kematian di rumah sakit. Ini adalah langkah bias karena tidak menggambarkan populasi dan tren masalah secara keseluruhan. Di luar sana kasus suspect dari penderita yang bergejala ringan atau bahkan tanpa gejala bisa memperluas transmisi kejadian sehingga angka terus bertahan di puncak. Cari, temukan, kemudian karantina untuk isolasi penyebarannya. Jika tidak, kasus tanpa gejala akan terus menularkan membentuk kluster-kluster baru yang tak berkesudahan.
Ketiga, kesiapan fasilitas kesehatan (faskes). Hal ini hanya bisa dilakukan kalau semua aspek ditingkatkan seperti peralatan (jumlah tempat tidur, ventilator, dan alat pelindung diri), pengaturan ruang rawat termasuk sirkulasi udara maupun standar pelayanan. Analisis kesiapsiagaan pandemi yang dilakukan saat wabah flu burung merebak memperlihatkan lemahnya faskes kita jika pandemi tidak terbendung. Dalam hitungan bulan kita bisa kolaps dan tenaga kesehatan (nakes) akan bertumbangan jika penyebaran virus tidak dapat dihentikan. Ancaman penularan dalam ruangan maupun kekhawatiran munculnya kluster baru di rumah sakit atau faskes adalah keniscayaan. Saat ini Indonesia salah satu negara dengan kematian nakes tertinggi di dunia.
Peneliti/Epidemiolog
BADAN Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini minus 5,32%. Pemerintah dan pengamat juga telah memprediksi kemungkinan pertumbuhan negatif berlanjut pada kuartal ketiga ini akibat pandemi Covid-19. Indonesia akan masuk jurang resesi jika kondisi ini terus terjadi pada kuartal-kuartal berikutnya. Saat ini pandemi telah menghantam hampir semua sendi kehidupan kita, termasuk pendidikan, keagamaan, tradisi budaya/kebiasaan, hingga munculnya ancaman resesi ekonomi. Dampak pandemi Covid-19 masih akan terus terasa jika kasus tak kunjung turun.
Akhir 2019 pertama kali pihak berwenang China melaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ada kluster virus baru di Wuhan yang memiliki gejala mirip pneumonia. Perlahan, tapi pasti, virus yang belakangan diketahui sebagai SARS-CoV-2 itu menyebar secara tak terduga ke banyak negara dan tumbuh secara eksponensial dalam waktu kurang dari empat bulan.
Di Tanah Air, saat itu, meskipun banyak pihak yang menganggap bahwa kasus sudah ada di Indonesia, pemerintah baru secara resmi mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020, saat kasus dunia mencapai 88.948 kasus. Sebelumnya otoritas pemerintahan sibuk membangun narasi optimisme dan kelakar publik bahwa virus korona tidak berani masuk ke Indonesia. Satu bulan kemudian ada 1.528 kasus positif yang dilaporkan.
Pemerintah kemudian memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Banyak yang menilai bahwa itu pilihan yang gamang karena tidak cepat dan tidak ketat. Kurva kasus penyebaran Covid-19 tidak melandai, ekonomi ikut melemah. Pemerintah mencoba adaptasi kebiasaan baru (AKB) agar ekonomi produktif kembali, sementara jumlah kematian dan kejadian Covid-19 terus naik tanpa bisa dikendalikan.
Harus diakui bahwa kita gagal memanfaatkan momentum emas di awal menghadapi wabah. Kita semua kehilangan kesempatan. Hingga saat ini, ketika tulisan ini dibuat, lebih dari 300.000 kasus positif dengan lebih dari 10.000 kematian terlaporkan di Indonesia.
Langkah terbaru pemerintah sembari menunggu vaksin adalah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020). Kendali diambil alih oleh tim gabungan kementerian. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 turun derajat menjadi satuan tugas. Akankah komite ini bisa bekerja cepat dan tepat di tengah sempitnya waktu dan tantangan alur birokrasi yang tidak mudah? Apakah pilihan langkah pemerintah akan efektif? Bagaimana jika vaksin terlambat dan virus semakin mengganas? Apa yang dapat dilakukan?
Solusi Penanggulangan
Berkaca dari pengalaman selama ini, penanggulangan masalah cenderung dihadapi secara parsial. Ini terbukti menyulitkan. Paradigma harus diubah. Harus ada penanganan pandemik yang terencana dan komprehensif, melibatkan semua pihak dan bersatu dalam menghadapi persoalan. Ada beberapa komponen penting perlu diperbaiki demi penanganan masalah pandemik dan perbaikan fondasi kesehatan kita, yakni pertama, kepemimpinan (leadership) yang merupakan kunci tata kelola. Kepemimpinan ini harus ada mulai dari pusat hingga daerah. Akhir Juli lalu Presiden meminta semua pihak memiliki sense of crisis. Kepekaan terhadap krisis dari seorang pemimpin penting untuk memahami masalah dan mampu membangun strategi jitu untuk menangani pandemi Covid-19 ini.
Kedua, keakuratan data. Data diperlukan karena tanpa evidence based yang kuat, maka kebijakan yang dikeluarkan bisa salah sasaran. Presiden sudah pernah meng-highlight 3T (test, tracing, and treatment). Kalau tes kurang, surveillance lemah (contact tracing), maka data selamanya akan under-reported. Sebagian besar (50%) contact tracing belum didapatkan datanya oleh satuan tugas nasional. Kondisi ini bisa membuat arah kebijakan menjadi salah. Gugus tugas pernah mengeluarkan rekomendasi, boleh berkegiatan bagi pekerja di bawah 45 tahun yang datanya hanya diambil dari laporan kematian di rumah sakit. Ini adalah langkah bias karena tidak menggambarkan populasi dan tren masalah secara keseluruhan. Di luar sana kasus suspect dari penderita yang bergejala ringan atau bahkan tanpa gejala bisa memperluas transmisi kejadian sehingga angka terus bertahan di puncak. Cari, temukan, kemudian karantina untuk isolasi penyebarannya. Jika tidak, kasus tanpa gejala akan terus menularkan membentuk kluster-kluster baru yang tak berkesudahan.
Ketiga, kesiapan fasilitas kesehatan (faskes). Hal ini hanya bisa dilakukan kalau semua aspek ditingkatkan seperti peralatan (jumlah tempat tidur, ventilator, dan alat pelindung diri), pengaturan ruang rawat termasuk sirkulasi udara maupun standar pelayanan. Analisis kesiapsiagaan pandemi yang dilakukan saat wabah flu burung merebak memperlihatkan lemahnya faskes kita jika pandemi tidak terbendung. Dalam hitungan bulan kita bisa kolaps dan tenaga kesehatan (nakes) akan bertumbangan jika penyebaran virus tidak dapat dihentikan. Ancaman penularan dalam ruangan maupun kekhawatiran munculnya kluster baru di rumah sakit atau faskes adalah keniscayaan. Saat ini Indonesia salah satu negara dengan kematian nakes tertinggi di dunia.