Unjuk Rasa di Era Disinformasi
loading...
A
A
A
Ketiga, sejumlah aktor negara terampil menggunakan propaganda termediasi komputer. Ini termasuk untuk mempengaruhi pihak asing. Facebook dan Twitter dikaitkan dengan operasi untuk mempengaruhi pihak asing di tujuh negara, China, India, Iran, Pakistan, Rusia, Arab Saudi, dan Venezuela.
Para aktor negara, menggunakan kedua platform itu untuk membangun pengaruh pada masyarakat global. Keempat, China telah menjadi pemain utama disinformasi global. Protes yang terjadi di Hong Kong hingga tahun 2019, meninggalkan bukti pada sistem propaganda termediasi komputer di Cina. Platform domestik seperti Weibo, WeChat, dan QQ, menunjukkan itu.
Kelima, meskipun terjadi pertambahan platform jejaring sosial, makin banyak dibanding sebelumnya, Facebook tetap jadi platform utama untuk manipulasi. Ditemukan di 56 negara, bukti kampanye propaganda termediasi komputer, yang teroganisasi secara formal di Facebook.
Disinformasi di tengah unjuk rasa tak berkesudahan, sebagai wujud perselisihan antara demonstran dan pemerintah Cina di Hong Kong, dilaporkan oleh Linda Lew, 2019. Laporan terpublikasi dengan judul Hong Kong protests and ‘fake news’: in The Psychological War for Hearts and Minds, Disinformation Becomes a Weapon Used by Both Sides. Disebutkannya tentang investigasi yang dilakukan oleh Tim Hong Kong University.
Tim ini dipimpin oleh Masato Kajimoto, yang menginvestigasi gambar, video, dan aneka wujud informasi. Seluruh material informasi itu merupakan hasil dari protes anti pemerintah Cina. Tim mencoba bedakan informasi yang nyata, menyesatkan, maupun palsu.
Didapati di bulan September 2019 saja, tak kurang dari 5.000 gambar yang dibagikan lewat Telegram, aplikasi yang banyak digunakan pengunjuk rasa. Dari investigasi itu, terlihat adanya tendensi penyebaran gambar maupun video untuk mempengaruhi opini publik. Tak mudah membedakan informasi dari disinformasi.
Disinformasi bukan hanya bagian dari permainan, tapi juga perangkat perang psikologis, yang digunakan oleh kedua belah pihak. “Tak mudah memenangkan hati seseorang, hanya lewat fakta dan informasi yang akurat. Untuk menang harus menarik emosi orang”. Itu artinya, bisa dengan memberikan gambaran yang tidak lengkap, menyesatkan, atau salah, tentang yang terjadi di lapangan.
Realitasnya saat protes berlanjut, disinformasi makin memburuk. Dan kebenaran kian jadi korban. Warga Hong Kong dipaksa mengonsumsi informasi yang gagal menyajikan kebenaran. Gejala yang nyata, masyarakat tersegregasi, hingga rekonsiliasi antara pihak yang berlawanan jadi sulit.
Modus serupa, terjadi di tengah protes besar-besaran warga Amerika, pasca kematian warga berkulit hitam George Floyd, lantaran tindakan kekerasan yang dilakukan polisi berkulit putih, di negara bagian Minneapolis.
Dalam laporan berjudul The Flood of Online Misinformation Around the George Floyd Protests, yang ditulis Megan K McBride dan Jessica Stern, 2020 disebutkan, jalan-jalan di berbagai kota Amerika dipenuhi dengan pemrotes.
Media sosial juga dibanjiri foto maupun video yang berisi informasi mengerikan, hingga yang menggembirakan. Ini menyebabkan kebingungan. Saat protes berubah jadi kekerasan, tak jelas siapa yang memicu perubahan. Kaum ekstrem kiri, pengunjuk rasa, pejuang supremasi kulit putih, maupun petugas penegak hukum, merupakan pelaku potensial.
Para aktor negara, menggunakan kedua platform itu untuk membangun pengaruh pada masyarakat global. Keempat, China telah menjadi pemain utama disinformasi global. Protes yang terjadi di Hong Kong hingga tahun 2019, meninggalkan bukti pada sistem propaganda termediasi komputer di Cina. Platform domestik seperti Weibo, WeChat, dan QQ, menunjukkan itu.
Kelima, meskipun terjadi pertambahan platform jejaring sosial, makin banyak dibanding sebelumnya, Facebook tetap jadi platform utama untuk manipulasi. Ditemukan di 56 negara, bukti kampanye propaganda termediasi komputer, yang teroganisasi secara formal di Facebook.
Disinformasi di tengah unjuk rasa tak berkesudahan, sebagai wujud perselisihan antara demonstran dan pemerintah Cina di Hong Kong, dilaporkan oleh Linda Lew, 2019. Laporan terpublikasi dengan judul Hong Kong protests and ‘fake news’: in The Psychological War for Hearts and Minds, Disinformation Becomes a Weapon Used by Both Sides. Disebutkannya tentang investigasi yang dilakukan oleh Tim Hong Kong University.
Tim ini dipimpin oleh Masato Kajimoto, yang menginvestigasi gambar, video, dan aneka wujud informasi. Seluruh material informasi itu merupakan hasil dari protes anti pemerintah Cina. Tim mencoba bedakan informasi yang nyata, menyesatkan, maupun palsu.
Didapati di bulan September 2019 saja, tak kurang dari 5.000 gambar yang dibagikan lewat Telegram, aplikasi yang banyak digunakan pengunjuk rasa. Dari investigasi itu, terlihat adanya tendensi penyebaran gambar maupun video untuk mempengaruhi opini publik. Tak mudah membedakan informasi dari disinformasi.
Disinformasi bukan hanya bagian dari permainan, tapi juga perangkat perang psikologis, yang digunakan oleh kedua belah pihak. “Tak mudah memenangkan hati seseorang, hanya lewat fakta dan informasi yang akurat. Untuk menang harus menarik emosi orang”. Itu artinya, bisa dengan memberikan gambaran yang tidak lengkap, menyesatkan, atau salah, tentang yang terjadi di lapangan.
Realitasnya saat protes berlanjut, disinformasi makin memburuk. Dan kebenaran kian jadi korban. Warga Hong Kong dipaksa mengonsumsi informasi yang gagal menyajikan kebenaran. Gejala yang nyata, masyarakat tersegregasi, hingga rekonsiliasi antara pihak yang berlawanan jadi sulit.
Modus serupa, terjadi di tengah protes besar-besaran warga Amerika, pasca kematian warga berkulit hitam George Floyd, lantaran tindakan kekerasan yang dilakukan polisi berkulit putih, di negara bagian Minneapolis.
Dalam laporan berjudul The Flood of Online Misinformation Around the George Floyd Protests, yang ditulis Megan K McBride dan Jessica Stern, 2020 disebutkan, jalan-jalan di berbagai kota Amerika dipenuhi dengan pemrotes.
Media sosial juga dibanjiri foto maupun video yang berisi informasi mengerikan, hingga yang menggembirakan. Ini menyebabkan kebingungan. Saat protes berubah jadi kekerasan, tak jelas siapa yang memicu perubahan. Kaum ekstrem kiri, pengunjuk rasa, pejuang supremasi kulit putih, maupun petugas penegak hukum, merupakan pelaku potensial.