Unjuk Rasa di Era Disinformasi

Sabtu, 10 Oktober 2020 - 08:19 WIB
loading...
Unjuk Rasa di Era Disinformasi
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, Dr Firman Kurniawan S. Foto/Istimewa
A A A
Dr Firman Kurniawan SPemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org

DALAM sebuah perang, termasuk pertikaian maupun perseteruan antarkelompok, korban terbesarnya bukanlah tentara, pemimpin masyarakat, tokoh politik, atau orang tak bersalah yang tak tahu menahu urusan perselisihan.

Korban utama perang adalah kebenaran. Masing-masing pihak yang berselisih, berusaha memelihara moral pendukungnya lewat informasi yang menihilkan jatuhnya korban, seraya meruntuhkan moral lawan dengan perayaan-perayaan kemenangan palsu.

Kemenangan kecil yang digaungkan lebih baik daripada kemenangan besar yang dilupakan. Realitas ini kemudian meniscayakan pada tiap perselisihan, diikuti ramainya aktivitas propaganda.

Propaganda menurut Bruce Lannes Smith, 2016 dalam tulisannya tentang hal yang sama: Propaganda, adalah aktivitas komunikasi yang digunakan untuk memengaruhi pihak lain dengan tujuan tertentu -tentunya bertujuan untuk memelihara moral dukungan-. Tak penting isinya yang tak objektif.

Ketakobyektifan ini, termasuk penyajian fakta yang mendorong terbentuknya persepsi tertentu atau digunakannya bahasa yang dapat menghasilkan tanggapan emosional dibanding tanggapan rasional. Maka termasuk dalam himpunan propaganda, adalah aktivitas disinformasi.

Disinformasi menurut Oxford Dictionary punya pengertian sebagai informasi palsu yang bertujuan menyesatkan, terutama ketika itu dikeluarkan oleh suatu organisasi pemerintah kepada kekuatan saingan maupun media. Di era komunikasi digital, saat haters jadi musuh abadi lovers di peristiwa apa pun, disinformasi jadi keniscayaan yang lekat dalam budaya masyarakat. Lebih-lebih pada masyarakat yang riuh dengan aneka peristiwa politik.

Keniscayaan macam ini, terkonfirmasi oleh The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation yang disusun Samantha Bradshaw dan Philip N.Howard, dari Oxford University.

Keduanya mendapati lima fakta. Ke-5 fakta itu menyangkut: Pertama, manipulasi media sosial dalam aktivitas kampanye yang terorganisir di tahun 2019, telah berlangsung di 70 negara. Ini mengalami kenaikan dari 48 negara, di tahun 2018 dan 28 negara di tahun 2017.

Pada setiap negara, setidaknya melibatkan satu partai politik atau lembaga pemerintah yang menggunakan media sosial untuk membentuk sikap publik di dalam negeri. Kedua, media sosial telah dikuasai oleh rezim otoriter. Fakta yang terjadi di 26 negara, propaganda termediasi komputer digunakan untuk mengendalikan informasi dalam tiga cara: menekan hak asasi manusia, mendiskreditkan lawan politik, dan menenggelamkan perbedaan pendapat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1657 seconds (0.1#10.140)