Lansia Sehat, Aktif, dan Bermartabat
loading...
A
A
A
Sudibyo Alimoeso
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)/
Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan (CeFAS) Urindo
JANGAN tua sebelum kaya! Tagline itu menjadi salah satu tema webinar yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam rangka memperingati Hari Lanjut Lansia Internasional.
Menjadi tua adalah sebuah kepastian. Namun kenyataannya banyak yang tidak siap untuk menjadi tua karena dianggap sebagai peristiwa yang menyakitkan. Menjadi tua dianggap akhir dari segalanya, karier, eksistensi, bahkan merasa tidak berguna.
Tagline di atas sebenarnya disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengingatkan negara-negara di Asia agar belajar dari pengalaman Jepang dan bertindak lebih awal untuk mengatasi populasi yang menua dengan cepat. IMF memperingatkan bahwa bagian-bagian kawasan berisiko, termasuk Indonesia, akan menghadapi tantangan khusus karena proses penuaan yang cepat. Indonesia harus mampu mengantisipasi dan menempatkan proses penuaan sebagai tantangan khusus karena terjadi pada situasi tingkat pendapatan yang relatif rendah. Artinya Indonesia bisa dikatakan "menjadi tua sebelum menjadi kaya".
Saat ini Indonesia memang sedang menikmati bonus (dividen ) demografis yang substansial sejak 2015 dan berakhir sekitar 2038. Dalam kurun waktu 2020-2024 (Proyeksi Penduduk BPS, 2017), diperkirakan terjadi jendela peluang (window of opportunity ) yang semestinya harus dapat dimanfaatkan dividen demografisnya seoptimal mungkin (Bloom, dkk, 2003) dan mengurangi segala hal yang merugikan akibat pengaruh penuaan. Bersamaan dengan itu, implikasi yang perlu diantisipasi adalah peningkatan jumlah lansia yang akan menciptakan "beban" demografis (demographic tax) atas pertumbuhan ekonomi.
Proses penuaan menyebabkan beban ketergantungan orang tua meningkat, otomatis tabungan turun. Angkatan kerja kemudian menyusut sehingga rasio modal menjadi tenaga kerja naik dan investasi turun. Tantangan ini memerlukan penyesuaian kebijakan makroekonomi sejak dini sebelum penuaan dimulai.
Kondisi Lansia di Indonesia
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi penduduk lanjut usia (lansia) 18 juta jiwa (9,77%) dari total penduduk Indonesia pada 2010 dan menjadi sekitar 26 juta (11,34%) pada 2020 serta diprediksi akan terus meningkat hingga 48,2 juta jiwa (15,8%) pada 2035. Dari seluruh lansia yang ada di Indonesia, lansia muda (60-69 tahun) jauh mendominasi dengan besaran yang mencapai 63,82%, selanjutnya diikuti lansia madya (70-79 tahun) sebesar 27,68% dan lansia tua (80+ tahun) sebesar 8,50%.
Diperkirakan terdapat lansia yang mandiri sebanyak 74,3% dan lansia yang tergantung ringan 22%. Beberapa penyakit lansia tertinggi (di atas 45%) adalah sendi, hipertensi, masalah mulut, dan diabetes (Riskesdas, 2018). Seiring dengan proses penuaan yang tergolong cepat, ternyata prevalensi demensia juga meningkat dengan sangat cepat yang harus disikapi dengan baik agar tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,2 juta orang dengan demensia (2016) yang akan meningkat menjadi 2 juta (2030) dan menjadi dua kali lipat (4 juta) orang pada 2050.
Sementara itu BPS mencatat angka kesakitan penduduk lansia di Indonesia mencapai 26,20% pada 2019. Artinya terdapat 26 hingga 27 dari 100 lansia yang sakit di dalam negeri.
Memahami kondisi kelanjutusiaan menjadi penting mengingat terjadi kecepatan penuaan yang lebih tinggi setelah 2020. Tidak semua lansia memiliki keberuntungan, yaitu bisa hidup sehat dan mandiri. Masih ada di antara mereka yang memerlukan pertolongan. Untuk itu perlu dukungan sistem informasi kelanjutusiaan dan program holistis komprehensif yang menyertainya. Kedua hal ini menempatkan posisi lansia apakah lansia sebagai beban atau aset bagi pembangunan.
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)/
Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan (CeFAS) Urindo
JANGAN tua sebelum kaya! Tagline itu menjadi salah satu tema webinar yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam rangka memperingati Hari Lanjut Lansia Internasional.
Menjadi tua adalah sebuah kepastian. Namun kenyataannya banyak yang tidak siap untuk menjadi tua karena dianggap sebagai peristiwa yang menyakitkan. Menjadi tua dianggap akhir dari segalanya, karier, eksistensi, bahkan merasa tidak berguna.
Tagline di atas sebenarnya disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengingatkan negara-negara di Asia agar belajar dari pengalaman Jepang dan bertindak lebih awal untuk mengatasi populasi yang menua dengan cepat. IMF memperingatkan bahwa bagian-bagian kawasan berisiko, termasuk Indonesia, akan menghadapi tantangan khusus karena proses penuaan yang cepat. Indonesia harus mampu mengantisipasi dan menempatkan proses penuaan sebagai tantangan khusus karena terjadi pada situasi tingkat pendapatan yang relatif rendah. Artinya Indonesia bisa dikatakan "menjadi tua sebelum menjadi kaya".
Saat ini Indonesia memang sedang menikmati bonus (dividen ) demografis yang substansial sejak 2015 dan berakhir sekitar 2038. Dalam kurun waktu 2020-2024 (Proyeksi Penduduk BPS, 2017), diperkirakan terjadi jendela peluang (window of opportunity ) yang semestinya harus dapat dimanfaatkan dividen demografisnya seoptimal mungkin (Bloom, dkk, 2003) dan mengurangi segala hal yang merugikan akibat pengaruh penuaan. Bersamaan dengan itu, implikasi yang perlu diantisipasi adalah peningkatan jumlah lansia yang akan menciptakan "beban" demografis (demographic tax) atas pertumbuhan ekonomi.
Proses penuaan menyebabkan beban ketergantungan orang tua meningkat, otomatis tabungan turun. Angkatan kerja kemudian menyusut sehingga rasio modal menjadi tenaga kerja naik dan investasi turun. Tantangan ini memerlukan penyesuaian kebijakan makroekonomi sejak dini sebelum penuaan dimulai.
Kondisi Lansia di Indonesia
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi penduduk lanjut usia (lansia) 18 juta jiwa (9,77%) dari total penduduk Indonesia pada 2010 dan menjadi sekitar 26 juta (11,34%) pada 2020 serta diprediksi akan terus meningkat hingga 48,2 juta jiwa (15,8%) pada 2035. Dari seluruh lansia yang ada di Indonesia, lansia muda (60-69 tahun) jauh mendominasi dengan besaran yang mencapai 63,82%, selanjutnya diikuti lansia madya (70-79 tahun) sebesar 27,68% dan lansia tua (80+ tahun) sebesar 8,50%.
Diperkirakan terdapat lansia yang mandiri sebanyak 74,3% dan lansia yang tergantung ringan 22%. Beberapa penyakit lansia tertinggi (di atas 45%) adalah sendi, hipertensi, masalah mulut, dan diabetes (Riskesdas, 2018). Seiring dengan proses penuaan yang tergolong cepat, ternyata prevalensi demensia juga meningkat dengan sangat cepat yang harus disikapi dengan baik agar tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,2 juta orang dengan demensia (2016) yang akan meningkat menjadi 2 juta (2030) dan menjadi dua kali lipat (4 juta) orang pada 2050.
Sementara itu BPS mencatat angka kesakitan penduduk lansia di Indonesia mencapai 26,20% pada 2019. Artinya terdapat 26 hingga 27 dari 100 lansia yang sakit di dalam negeri.
Memahami kondisi kelanjutusiaan menjadi penting mengingat terjadi kecepatan penuaan yang lebih tinggi setelah 2020. Tidak semua lansia memiliki keberuntungan, yaitu bisa hidup sehat dan mandiri. Masih ada di antara mereka yang memerlukan pertolongan. Untuk itu perlu dukungan sistem informasi kelanjutusiaan dan program holistis komprehensif yang menyertainya. Kedua hal ini menempatkan posisi lansia apakah lansia sebagai beban atau aset bagi pembangunan.