Lansia Sehat, Aktif, dan Bermartabat

Jum'at, 09 Oktober 2020 - 06:32 WIB
loading...
Lansia Sehat, Aktif,...
Sudibyo Alimoeso
A A A
Sudibyo Alimoeso
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI)/
Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan (CeFAS) Urindo

JANGAN tua sebelum kaya! Tagline itu menjadi salah satu tema webinar yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam rangka memperingati Hari Lanjut Lansia Internasional.

Menjadi tua adalah sebuah kepastian. Namun kenyataannya banyak yang tidak siap untuk menjadi tua karena dianggap sebagai peristiwa yang menyakitkan. Menjadi tua dianggap akhir dari segalanya, karier, eksistensi, bahkan merasa tidak berguna.

Tagline di atas sebenarnya disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengingatkan negara-negara di Asia agar belajar dari pengalaman Jepang dan bertindak lebih awal untuk mengatasi populasi yang menua dengan cepat. IMF memperingatkan bahwa bagian-bagian kawasan berisiko, termasuk Indonesia, akan menghadapi tantangan khusus karena proses penuaan yang cepat. Indonesia harus mampu mengantisipasi dan menempatkan proses penuaan sebagai tantangan khusus karena terjadi pada situasi tingkat pendapatan yang relatif rendah. Artinya Indonesia bisa dikatakan "menjadi tua sebelum menjadi kaya".

Saat ini Indonesia memang sedang menikmati bonus (dividen ) demografis yang substansial sejak 2015 dan berakhir sekitar 2038. Dalam kurun waktu 2020-2024 (Proyeksi Penduduk BPS, 2017), diperkirakan terjadi jendela peluang (window of opportunity ) yang semestinya harus dapat dimanfaatkan dividen demografisnya seoptimal mungkin (Bloom, dkk, 2003) dan mengurangi segala hal yang merugikan akibat pengaruh penuaan. Bersamaan dengan itu, implikasi yang perlu diantisipasi adalah peningkatan jumlah lansia yang akan menciptakan "beban" demografis (demographic tax) atas pertumbuhan ekonomi.

Proses penuaan menyebabkan beban ketergantungan orang tua meningkat, otomatis tabungan turun. Angkatan kerja kemudian menyusut sehingga rasio modal menjadi tenaga kerja naik dan investasi turun. Tantangan ini memerlukan penyesuaian kebijakan makroekonomi sejak dini sebelum penuaan dimulai.

Kondisi Lansia di Indonesia
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi penduduk lanjut usia (lansia) 18 juta jiwa (9,77%) dari total penduduk Indonesia pada 2010 dan menjadi sekitar 26 juta (11,34%) pada 2020 serta diprediksi akan terus meningkat hingga 48,2 juta jiwa (15,8%) pada 2035. Dari seluruh lansia yang ada di Indonesia, lansia muda (60-69 tahun) jauh mendominasi dengan besaran yang mencapai 63,82%, selanjutnya diikuti lansia madya (70-79 tahun) sebesar 27,68% dan lansia tua (80+ tahun) sebesar 8,50%.

Diperkirakan terdapat lansia yang mandiri sebanyak 74,3% dan lansia yang tergantung ringan 22%. Beberapa penyakit lansia tertinggi (di atas 45%) adalah sendi, hipertensi, masalah mulut, dan diabetes (Riskesdas, 2018). Seiring dengan proses penuaan yang tergolong cepat, ternyata prevalensi demensia juga meningkat dengan sangat cepat yang harus disikapi dengan baik agar tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,2 juta orang dengan demensia (2016) yang akan meningkat menjadi 2 juta (2030) dan menjadi dua kali lipat (4 juta) orang pada 2050.

Sementara itu BPS mencatat angka kesakitan penduduk lansia di Indonesia mencapai 26,20% pada 2019. Artinya terdapat 26 hingga 27 dari 100 lansia yang sakit di dalam negeri.

Memahami kondisi kelanjutusiaan menjadi penting mengingat terjadi kecepatan penuaan yang lebih tinggi setelah 2020. Tidak semua lansia memiliki keberuntungan, yaitu bisa hidup sehat dan mandiri. Masih ada di antara mereka yang memerlukan pertolongan. Untuk itu perlu dukungan sistem informasi kelanjutusiaan dan program holistis komprehensif yang menyertainya. Kedua hal ini menempatkan posisi lansia apakah lansia sebagai beban atau aset bagi pembangunan.

Mewujudkan Lansia "Smart"
Lanjut usia sangat berkaitan dengan berbagai perubahan seperti perubahan anatomi/fisiologi, berbagai penyakit atau keadaan patologik sebagai akibat penuaan serta pengaruh psikososial pada fungsi organ. Penurunan kondisi fisik dan psikis dapat menimbulkan masalah bagi lansia. Hurlock (2002) menyebutkan ada beberapa masalah yang dapat menyertai lansia, yaitu: (1) ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain; (2) ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya; (3) membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah; (4) mengembangkan aktivitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak; dan (5) belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa.

Masalah lansia ternyata bukan hanya faktor kesehatan saja, tetapi juga faktor psikososial dan budaya. Oleh karena itu penanganan lansia perlu dilakukan secara holistis integratif dan komprehensif. Perhatian yang memadai terhadap faktor kesehatan, psikologi, budaya, dan sosial merupakan bagian dari upaya yang diperlukan untuk memenuhi hak dan kebutuhan lansia.

Berbagai kementerian dan lembaga ikut ambil bagian dalam "mengeroyok" pemberdayaan lansia. Kementerian Kesehatan bergerak melalui pembentukan dan pembinaan lansia dengan posyandu lansia atau posbindu lansia. Langkah ini lebih mengutamakan upaya peningkatan pencegahan dan pemeliharaan kesehatan di samping upaya penyembuhan dan pemulihan bagi lansia yang sakit. Tujuannya membentuk lansia "Smart" yaitu sehat, mandiri, aktif, produktif, dan bermartabat.

BKKBN dengan program Bina Keluarga Lansia (BKL) lebih konsentrasi pada pemberdayaan lansia potensial (mandiri) sekitar 74% atau 19,2 juta lansia agar menjadi lansia tangguh. Intinya juga sama, yaitu agar lansia masih terus aktif dan menjadi potensi bagi pembangunan. Secara operasional, mengajarkan kepada lansia dan keluarga lansia untuk memahami dan mempraktikkan tujuh dimensi lansia tangguh. Konsep ini diambil dari Seven Dimension of Wellness yang dikembangkan oleh International Council on Active Ageing (ICAA ) yang intinya lansia perlu terus diintervensi (stimulasi) pada aspek spiritual, intelektual/profesional, vokasional/hobi, sosial, fisik/kesehatan, emosional, dan lingkungan.

Kementerisn Sosial lebih mengarah pada lansia nonpotensial yang jumlahnya sekitar 7 juta (26%) melalui program rehabilitasi sosial (progres lansia). Program ini adalah upaya yang ditujukan untuk membantu lanjut usia dalam memulihkan dan mengembangkan keberfungsian sosialnya yang dilakukan secara terarah, terpadu dan berkelanjutan dalam bentuk rehabilitasi sosial dan pemberian bantuan kesejahteraan sosial.

Untuk memudahkan penanganan lansia diperlukan sistem informasi kelanjutusiaan yang akurat dan tepercaya agar intervensi tepat sasaran. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah merancang studi untuk pengembangan sistem informasi lanjut usia (Silani). Tujuan dari diadakannya pilot project Silani ini adalah untuk menyediakan data kondisi lanjut usia dan rumah tangga, menyediakan data keadaan fasilitas penyediaan layanan, dasar mengembangkan kebijakan dan intervensi, serta sebagai alat monitoring dan evaluasi.

Sementara itu BKKBN juga mengembangkan sistem informasi kelanjutusiaan "GoLantang", merupakan sebuah media yang menyediakan rubrik bagi lansia dan keluarga lansia dalam mencapai lansia tangguh dan berkualitas. GoLantang juga mengintegrasikan data dari berbagai institusi pemerintah terkait lansia seperti BKKBN, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Sosial, Kementerian Kesehatan, Bappenas, BPS, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan lainnya. Selain kementerian dan lembaga tersebut, penanganan lansia juga dilakukan berbagai LSM dan universitas.

Agar efektif, penanganan kelanjutusiaan idealnya dilakukan secara holistis integratif dan komprehensif. Holistis karena menggarap lansia yang terbaik berdasarkan siklus kehidupannya. Integratif agar semua program lansia menjadi fokus dan terarah serta saling melengkapi. Komprehensif karena digarap dengan memperhatikan berbagai dimensi mulai spiritual, kesehatan, psikososial, budaya hingga lingkungan. Semua pihak harus bersatu padu. Stigmatisasi terhadap lansia yang tebersit di benak setiap orang bahwa lansia adalah seseorang yang tidak berdaya harus dihilangkan.

Lansia sebenarnya dapat berdaya sebagai subjek dalam pembangunan. Pengalaman hidup menempatkan lansia bukan hanya sebagai orang yang dituakan dan dihormati di lingkungannya, tetapi juga dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change ) di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Lansia yang "Smart" merupakan keharusan agar mampu memetik bonus demografi tahap kedua.

Meski jatuh pada 2 Oktober yang lalu, belum telat untuk mengucapkan "Selamat Hari Lansia Internasional"!
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1132 seconds (0.1#10.140)