Perppu No. 2/2020 Dinilai Masih Setengah Hati Beri Kepastian Hukum Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengaku telah menerima naskah Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, dari mantan Ketua KPU yang sekarang menjadi deputi KSP, Juri Ardiantoro. (Baca juga: Perppu Diteken Jokowi, Pilkada Digelar Desember)
Titi mengaku semua pihak harus memberikan apresiasi kepada pemerintah yang akhirnya menerbitkan Perppu dan bisa memberikan kepastian hukum terkait keberlanjutan tahapan pilkada pascapenundaan yang telah dilakukan KPU. Perpu ini sekaligus menjadi legalitas atas penundaan pilkada serentak secara nasional yang telah diputuskan KPU pada 21 Maret 2020 lalu melalui Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020. (Baca juga: Kemendagri: Pilkada Dimungkinkan Ditunda Kembali Jika COVID-19 Belum Tuntas)
"Penundaan empat aktivitas tahapan secara nasional yang dilakukan KPU menjadi absah melalui pengaturan perubahan Pasal 120 ayat (1) Perpu No. 2 Tahun 2020 tersebut," kata Titi kepada SINDOnews, Rabu (6/5/2020).
Titi menuturkan, pasal 120 ayat (1) Perppu Pilkada mengatur bahwa dalam hal pada sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan.
"Kalau dalam UU Pilkada sebelumnya tidak mengenal mekanisme penundaan pilkada akibat bencana nonalam maupun penundaan secara nasional di seluruh wilayah, maka perppu pilkada secara eksplisit telah mengaturnya," ungkap dia.
Selanjutnya, Titi melihat, pada Pasal 122A ayat (1) Perppu Pilkada mengatur pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan.
Menurutnya, Ayat (2) Pasal ini lantas menegaskan bahwa penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
"KPU melalui pasal ini menjadi tak sepenuhnya mandiri dalam membuat keputusan teknis terkait penundaan dan pelaksanaan pemilihan lanjutan. Sesuatu yang cukup disayangkan, karena sangat mungkin KPU akan terjebak dalam tarik menarik kepentingan politik di antara Pemerintah dan DPR yang memiliki agenda politiknya masing-masing," ujar dia.
Selain itu, kata Titi, Perppu Pilkada pada Pasal 201A ayat (2) menyebutkan, pemungutan suara serentak Pilkada 2020 yang ditunda akibat bencana nonalam, akan dilanjutkan pelaksanaannya pada bulan Desember 2020.
"Pasal ini sejatinya memberikan arah yang lebih jelas soal tahapan pelaksaan pilkada yang akan berujung pada proses pungut hitung di bulan Desember 2020. Sejalan dengan salah satu skenario yang ditawarkan KPU, yaitu menunda pemungutan suara selama tiga bulan dari 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020," ucapnya.
Lebih lanjut Titi menganggap perppu pilkada ini masih menyimpan kegamangan dan situasi tidak pasti dengan adanya pengaturan pada Pasal 201A ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal pemungutan suara serentak 2020 tidak dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020, maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir, melalui mekanisme persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR.
Titi menilai, terlihat bahwa Pemerintah melalui perppu ini, meski mengatur pemungutan suara pilkada serentak 2020 pada Desember 2020, tapi tetap menyimpan ketidakyakinan terkait situasi pandemi yang dihadapi. Alih-alih memilih waktu yang lebih memadai, misalnya menunda ke Juni 2021 dengan pertimbangan waktu yang lebih memadai untuk melakukan persiapan dan penyesuaian pada penanganan pandemi COVID-19, Pemerintah malah menyerahkan skema kemungkinan penundaan kembali pilkada melalui kesepakatan tripartit KPU, Pemerintah, dan DPR.
Menurut Titi, jika dirujuk implikasi teknis pilihan pemungutan suara pada bulan Desember 2020 membuat KPU harus sudah mulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni 2020, artinya akan ada irisan pelaksanaan tahapan dengan fase penanganan puncak pandemi dan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhirnya.
Dia menganggap, melaksanakan tahapan yang beririsan dengan masa puncak pandemi memerlukan dukungan dan disiplin ketat pada kepatuhan terhadap protokal kesehatan penanganan pandemi COVID-19 oleh semua pemangku kepentingan pilkada, mulai dari petugas pemilihan, calon peserta pemilihan, maupun masyarakat pemilih.
Di sisi lain, lanjutnya, hal itu mengandung risiko tersendiri terutama bila kita tidak bisa memastikan keterpenuhan fasilitas untuk proteksi kesehatan pada para petugas pemilihan dan kepatuhan pada disiplin aturan main protokol kesehatan yang ada.
"Tentu perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19, sebut saja keperluan pengadaan masker, hand sanitizer, disinfektan, dan lain-lain. Kita belajar soal hal ini setidaknya dari Pemilu Korea Selatan yang sedemikian rupa menyediakan fasilitas tambahan bagi para petugas pemilihan sejalan dengan protokol penanganan COVID-19," tuturnya.
Dalam hal ini, sambung dia, KPU semestinya harus merumuskan berbagai peraturan teknis pilkada yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19, khususnya soal interaksi petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan yang tidak beresiko menyebarkan Covid-19.
Misalnya saja, kata dia, teknis verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, coklit data pemilih, pendaftaran calon, maupun kampanye, dan pemungutan suara, mestinya sesuai dengan kebijakan jaga jarak (physical distancing) untuk mencegah penyebaran COVID-19. Namun perppu nampaknya kurang menangkap kebutuhan teknis ini agar bisa diatur dengan baik oleh berbagai peraturan teknis yang dibuat penyelenggara pemilihan.
"Jadi bisa disimpulkan bahwa Perppu No. 2 Tahun 2020 ini masih setengah hati dalam memberikan kepastian hukum keberlanjutan pilkada serentak 2020. Ada kepastian tapi belum sepenuhnya pasti. Selain itu, pilihan pemungutan suara di bulan Desember 2020 juga masih membawa risiko kesehatan pada para pihak yang terlibat di pemilihan, khususnya bila KPU tidak mampu menyiapkan teknis pemilihan yang kompatibel dengan protokol penanganan Corona," ucapnya.
Titi mengaku semua pihak harus memberikan apresiasi kepada pemerintah yang akhirnya menerbitkan Perppu dan bisa memberikan kepastian hukum terkait keberlanjutan tahapan pilkada pascapenundaan yang telah dilakukan KPU. Perpu ini sekaligus menjadi legalitas atas penundaan pilkada serentak secara nasional yang telah diputuskan KPU pada 21 Maret 2020 lalu melalui Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020. (Baca juga: Kemendagri: Pilkada Dimungkinkan Ditunda Kembali Jika COVID-19 Belum Tuntas)
"Penundaan empat aktivitas tahapan secara nasional yang dilakukan KPU menjadi absah melalui pengaturan perubahan Pasal 120 ayat (1) Perpu No. 2 Tahun 2020 tersebut," kata Titi kepada SINDOnews, Rabu (6/5/2020).
Titi menuturkan, pasal 120 ayat (1) Perppu Pilkada mengatur bahwa dalam hal pada sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan.
"Kalau dalam UU Pilkada sebelumnya tidak mengenal mekanisme penundaan pilkada akibat bencana nonalam maupun penundaan secara nasional di seluruh wilayah, maka perppu pilkada secara eksplisit telah mengaturnya," ungkap dia.
Selanjutnya, Titi melihat, pada Pasal 122A ayat (1) Perppu Pilkada mengatur pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan.
Menurutnya, Ayat (2) Pasal ini lantas menegaskan bahwa penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
"KPU melalui pasal ini menjadi tak sepenuhnya mandiri dalam membuat keputusan teknis terkait penundaan dan pelaksanaan pemilihan lanjutan. Sesuatu yang cukup disayangkan, karena sangat mungkin KPU akan terjebak dalam tarik menarik kepentingan politik di antara Pemerintah dan DPR yang memiliki agenda politiknya masing-masing," ujar dia.
Selain itu, kata Titi, Perppu Pilkada pada Pasal 201A ayat (2) menyebutkan, pemungutan suara serentak Pilkada 2020 yang ditunda akibat bencana nonalam, akan dilanjutkan pelaksanaannya pada bulan Desember 2020.
"Pasal ini sejatinya memberikan arah yang lebih jelas soal tahapan pelaksaan pilkada yang akan berujung pada proses pungut hitung di bulan Desember 2020. Sejalan dengan salah satu skenario yang ditawarkan KPU, yaitu menunda pemungutan suara selama tiga bulan dari 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020," ucapnya.
Lebih lanjut Titi menganggap perppu pilkada ini masih menyimpan kegamangan dan situasi tidak pasti dengan adanya pengaturan pada Pasal 201A ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal pemungutan suara serentak 2020 tidak dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020, maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir, melalui mekanisme persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR.
Titi menilai, terlihat bahwa Pemerintah melalui perppu ini, meski mengatur pemungutan suara pilkada serentak 2020 pada Desember 2020, tapi tetap menyimpan ketidakyakinan terkait situasi pandemi yang dihadapi. Alih-alih memilih waktu yang lebih memadai, misalnya menunda ke Juni 2021 dengan pertimbangan waktu yang lebih memadai untuk melakukan persiapan dan penyesuaian pada penanganan pandemi COVID-19, Pemerintah malah menyerahkan skema kemungkinan penundaan kembali pilkada melalui kesepakatan tripartit KPU, Pemerintah, dan DPR.
Menurut Titi, jika dirujuk implikasi teknis pilihan pemungutan suara pada bulan Desember 2020 membuat KPU harus sudah mulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni 2020, artinya akan ada irisan pelaksanaan tahapan dengan fase penanganan puncak pandemi dan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhirnya.
Dia menganggap, melaksanakan tahapan yang beririsan dengan masa puncak pandemi memerlukan dukungan dan disiplin ketat pada kepatuhan terhadap protokal kesehatan penanganan pandemi COVID-19 oleh semua pemangku kepentingan pilkada, mulai dari petugas pemilihan, calon peserta pemilihan, maupun masyarakat pemilih.
Di sisi lain, lanjutnya, hal itu mengandung risiko tersendiri terutama bila kita tidak bisa memastikan keterpenuhan fasilitas untuk proteksi kesehatan pada para petugas pemilihan dan kepatuhan pada disiplin aturan main protokol kesehatan yang ada.
"Tentu perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19, sebut saja keperluan pengadaan masker, hand sanitizer, disinfektan, dan lain-lain. Kita belajar soal hal ini setidaknya dari Pemilu Korea Selatan yang sedemikian rupa menyediakan fasilitas tambahan bagi para petugas pemilihan sejalan dengan protokol penanganan COVID-19," tuturnya.
Dalam hal ini, sambung dia, KPU semestinya harus merumuskan berbagai peraturan teknis pilkada yang sejalan dengan protokol penanganan COVID-19, khususnya soal interaksi petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan yang tidak beresiko menyebarkan Covid-19.
Misalnya saja, kata dia, teknis verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, coklit data pemilih, pendaftaran calon, maupun kampanye, dan pemungutan suara, mestinya sesuai dengan kebijakan jaga jarak (physical distancing) untuk mencegah penyebaran COVID-19. Namun perppu nampaknya kurang menangkap kebutuhan teknis ini agar bisa diatur dengan baik oleh berbagai peraturan teknis yang dibuat penyelenggara pemilihan.
"Jadi bisa disimpulkan bahwa Perppu No. 2 Tahun 2020 ini masih setengah hati dalam memberikan kepastian hukum keberlanjutan pilkada serentak 2020. Ada kepastian tapi belum sepenuhnya pasti. Selain itu, pilihan pemungutan suara di bulan Desember 2020 juga masih membawa risiko kesehatan pada para pihak yang terlibat di pemilihan, khususnya bila KPU tidak mampu menyiapkan teknis pemilihan yang kompatibel dengan protokol penanganan Corona," ucapnya.
(cip)