Patuhi Tarif Tes Usap!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mulai hari ini rumah sakit (RS) tak bisa lagi seenaknya mematok tarif tes usap (swab test) . Sesuai aturan baru, tarif tes usap dibatasi maksimal Rp900.000. Di tengah pandemi Covid-19 , RS didorong memiliki tanggung jawab bersama dengan tidak mengambil keuntungan yang berlebihan.
Kesadaran bersama, termasuk dari penyelenggara layanan tes usap tersebut, penting karena selama ini tarif pemeriksaan mandiri dengan metode real-time (RT) Polymerase Chain Reaction (PCR) seolah tak terkendali. Tarif tes usap yang dikenakan tiap RS berbeda-beda. Kisarannya Rp1,6 juta hingga Rp3 juta. Besaran tarif tergantung layanan yang diberikan dan cepat tidaknya hasil pemeriksaan. (Baca: Amalan yang Mempercapat Datangnya Rezeki)
Tingginya tarif dan disparitas harga ini membuat masyarakat dihadapkan pilihan yang pelik. Lebih-lebih, tidak semua RS baik negeri maupun swasta di Indonesia memiliki layanan tes PCR tersebut. Hal itu membuat masyarakat kian susah untuk mendeteksi secara mandiri terhadap kondisi kesehatannya.
Di Jakarta, tes usap yang dipatok sejumlah RS swasta rata-rata berkisar di atas Rp2 juta. Begitu membeludaknya peminat, untuk mendapatkan layanan tes ini juga tidak bisa singkat. Namun, RS umumnya juga melayani pendaftar yang ingin mendapatkan layanan dan hasil cepat. Konsekuensinya, tarif yang dikenakan bisa menjadi berlipat-lipat.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) mewanti-wanti agar pengelola RS mematuhi aturan teranyar dari pemerintah pusat tersebut. Bahkan, dia mengimbau kepada para pengusaha khususnya di dunia medis untuk tidak mengambil keuntungan pada masa pandemi ini.
"Saya kira itu tidak terpuji. Dalam kondisi seperti ini kalau ada kelompok atau pengusaha yang mengambil keuntungan, saya rasa tidak baik," kata Ariza kemarin. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
Dia tak mengelak banyak RS di Jakarta selama ini mematok harga tinggi tes usap. Namun, meskipun diperbolehkan mencari keuntungan, menurutnya tugas dunia usaha adalah membantu masyarakat bersama-sama melawan Covid-19.
Jumat (2/10/2020), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) secara resmi menetapkan harga tes usap sebesar Rp900.000. Harga itu sudah termasuk pemeriksaan dengan metode real time PCR.
Penetapan besaran ini telah melalui survei lapangan. Angka Rp900.000 dinilai bisa dipertanggungjawabkan lantaran telah mencakup biaya pemeriksaan, layanan, administrasi, laboratorium, dan sebagainya. Tarif tersebut juga dinilai relatif terjangkau oleh masyarakat.
Beberapa bulan lalu, harga rapid test untuk keperluan bepergian dengan pesawat dan kereta api juga mencapai Rp500.000–800.000. Kemenkes pun membuat tarif batas atas sebesar Rp150.000.
Soal besaran tarif, anggota Komisi IX DPR M Nabil Haroen menilai harga acuan tertinggi biaya tes usap sebesar Rp900.000 masih wajar. "Rp900.000 ini cukup moderat," tandasnya. (Baca juga: Jangan pernah Malas Pakai Masker karena Ini Alasannya!)
Namun, politikus PDIP ini juga berharap agar para peneliti dan ilmuwan Indonesia dapat menemukan alternatif lain untuk mendeteksi dini Covid-19. Komisi IX belum lama ini telah berkunjung ke beberapa universitas, salah satunya Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk melihat Genose, kreasi anak bangsa untuk penanganan Covid.
Pihaknya berharap agar uji klinis alat itu segera tuntas dan bisa digunakan masyarakat. Genose diklaim jauh lebih murah dan lebih nyaman karena hanya menggunakan embusan napas tanpa lagi harus dicolok-colok menggunakan cotton bud mini.
RS Minta Biaya PCR Diperinci
Pengaturan batas atas tarif tes usap yang mulai diberlakukan pemerintah, praktis membuat pengelola RS tak lagi bisa leluasa. Mereka berpikir keras menghitung ulang model layanan berikut besaran keuntungan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi menilai rumah sakit memahami dan akan mengikuti kebijakan pemerintah ini. Namun, imbas regulasi baru ini, pihaknya juga harus memerinci lagi serta mengatur standardisasi alat pendukung tes PCR.
Dia menjelaskan, pada swab test PCR terdiri atas beberapa komponen seperti mesin PCR dan alat pendukung pemeriksaan. Alat pendukung itu meliputi reagent, sumber daya manusia (SDM) yaitu dokter spesialis, analis, alat pelindung diri (APD), listrik, dan sebagainya. ”Karena sudah ditetapkan pemerintah seperti itu, tentunya kita ikut saja. Namun, kami juga mendorong agar reagent juga distandardisasi agar bisa lebih efisien lagi,” ujar Ichsan kemarin. (Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Kembali Suarakan Mogok Nasional)
Bagi RS yang tidak memiliki alat PCR, biasanya harus mengirim bahan atau sampel pemeriksaan ke RS atau laboratorium lain. Dengan begitu, kemungkinan akan ada biaya tambahan seperti transportasi. Di sisi lain, Ichsan juga belum memahami penetapan tarif baru tersebut untuk tes PCR yang berapa hari.
Sepengetahuannya, rata-rata hasil pengujiannya bisa didapat sampai tiga hari. “Kalau di rumah sakit tertentu, untuk (hasil) sehari keluar, mungkin harganya bisa lebih. Karena antrean ini cukup banyak. Alatnya terbatas,” jelasnya.
Plt Dirjen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kemenkes Abdul Kadir mengatakan harga baru maksimal Rp900.000 sudah mempertimbangkan segala kebutuhan, dari dokter, petugas, alat pelindung diri, viral transport medium (VTM), serta pemeliharaan dan penyusutan alat. Kemenkes pun sudah memasukkan keuntungan sekitar 15% dari Rp900.000 tersebut.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan tes PCR mahal. Pertama, pelaku usaha melihat tes PCR ini sebagai peluang bisnis. Kedua, hukum ekonomi berlaku. Laboratorium saat ini sedikit, tetapi permintaan untuk tes Covid-19 cukup banyak. “Pada saat demand tinggi dan suplai kurang, harga pun tinggi. Demikian juga harga reagent di tahap awal itu mahal juga, tak terkendali,” tutur Abdul Kadir.
Surat Edaran Menteri Kesehatan untuk pengaturan biaya tes usap akan keluar hari ini. Namun, surat ini sepertinya tidak akan mencantum sanksi bagi laboratorium dan rumah sakit yang melanggar kebijakan baru itu. Sanksi bagi pelanggar akan diserahkan kepada dinas kesehatan di masing-masing daerah. “Itu dinas kesehatan yang bisa melakukan, tergantung bagaimana (nanti) melakukan pembinaan,” terangnya. (Baca juga: Waspadalah, PHK Massal Imbas Kenaikan Harga Pokok)
PCR Lebih Utama Ketimbang Rapid
PCR memang menjadi rujukan utama untuk mendeteksi seseorang terpapar virus corona atau tidak. Di Singapura, pemerintah tidak lagi menggunakan rapid test dengan menggunakan antigen. Hal itu karena tes tersebut tidak sensitif dalam mendeteksi infeksi virus corona.
“Tes rapid antigen kerap memberikan hasil palsu sehingga mengabaikan kasus sebenarnya,” kata Raymond Lin, direktur Laboratorium Kesehatan Publik Nasional di Pusat Nasional Penyakit Infeksi Singapura, dilansir The Straits Times.
Dia mengatakan, tes rapid antigen bisa mengabaikan satu dari enam kasus atau lebih. “Jika mengabaikan kasus ini, kita akan memiliki wabah yang terus menerus,” katanya.
Tes PCR dinilai lebih mampu mendeteksi material genetik virus pada sampel pasien dan menjadi tes yang standar untuk mengetahui Covid-19. Kelemahannya, proses tes PCR memerlukan waktu pengiriman ke laboratorium dan memakan waktu selama satu hari. Selain itu, biaya tes PCR juga lebih mahal dan membutuhkan personel terlatih.
Ini berbeda dengan tes rapid dengan antigen yang hanya menguji protein virus di permukaan dan hasilnya bisa terlihat dalam hitungan menit. Tes serologi akan mampu mendeteksi kehadiran antibodi yang digunakan guna mengetahui apakah orang tersebut pernah terinfeksi di masa lalu. (Baca juga: 10 Pertempuran Udara Paling Sengit Dalam Sejarah)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya merekomendasikan penggunaan tes rapid dalam kondisi tertentu, misalnya lokasi terpencil dan pelaksanaan tes PCR tidak tersedia. Tes rapid hanya dijadikan sebagai upaya memonitor kondisi kesehatan semata.
Berbeda dengan Singapura, di Filipina, pemerintah masih menerapkan tes rapid dan PCR. Apalagi, banyak warga Filipina berinisiatif melakukan tes PCR dan rapid sehingga mereka merasa aman. Jika dinyatakan terinfeksi, mereka juga harus mengisolasi diri di rumah.
Badan Kesehatan Inggris (NHS) akan memberikan tes PCR gratis jika ada warga yang mengalami gejala terinfeksi virus corona seperti demam dan batuk terus-menerus. Tes gratis juga diberikan kepada orang yang pernah tinggal dengan pasien yang sudah terinfeksi virus corona.
Pemerintah Inggris sudah mengizinkan penggunaan tes corona yang bisa diketahui dalam waktu satu jam. "Tes baru itu akan bisa mendeteksi flu musim dingin dan virus corona. Nantinya, tes itu digunakan untuk mencegah penyebaran virus corona menjelang musim dingin," kata Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock, dilansir Euro News. Dia mengatakan bahwa Inggris menggunakan teknologi inovasi untuk menangkal virus corona.
Bagaimana dengan di Amerika Serikat (AS)? Pada akhir Agustus lalu, Badan Obat-obatan dan Makanan (FDA) mengizinkan penggunaan tes rapid dengan biaya USD5 dalam kondisi darurat. Hasil tes rapid itu bisa diketahui dalam waktu 15 menit karena tidak memerlukan laboratorium. AS menghabiskan anggaran USD760 juta untuk memproduksi 150 juta tes rapid dari Abbott Laboratories. (Lihat videonya: Lawan Covid-19, Pakai Masker Berfiltrasi Baik)
“Membuat tes yang cepat, murah, dan mudah memang menjadi tujuan utama. Saya pikir tes antigen adalah solusinya,” papar Martin Burke, pakar kimia dari Universitas Illinois at Urbana-Champaign. (Bima Setyadi/Faorick Pakpahan /F.W. Bahtiar/Raka Dwi N/Andika H Mustaqim)
Kesadaran bersama, termasuk dari penyelenggara layanan tes usap tersebut, penting karena selama ini tarif pemeriksaan mandiri dengan metode real-time (RT) Polymerase Chain Reaction (PCR) seolah tak terkendali. Tarif tes usap yang dikenakan tiap RS berbeda-beda. Kisarannya Rp1,6 juta hingga Rp3 juta. Besaran tarif tergantung layanan yang diberikan dan cepat tidaknya hasil pemeriksaan. (Baca: Amalan yang Mempercapat Datangnya Rezeki)
Tingginya tarif dan disparitas harga ini membuat masyarakat dihadapkan pilihan yang pelik. Lebih-lebih, tidak semua RS baik negeri maupun swasta di Indonesia memiliki layanan tes PCR tersebut. Hal itu membuat masyarakat kian susah untuk mendeteksi secara mandiri terhadap kondisi kesehatannya.
Di Jakarta, tes usap yang dipatok sejumlah RS swasta rata-rata berkisar di atas Rp2 juta. Begitu membeludaknya peminat, untuk mendapatkan layanan tes ini juga tidak bisa singkat. Namun, RS umumnya juga melayani pendaftar yang ingin mendapatkan layanan dan hasil cepat. Konsekuensinya, tarif yang dikenakan bisa menjadi berlipat-lipat.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) mewanti-wanti agar pengelola RS mematuhi aturan teranyar dari pemerintah pusat tersebut. Bahkan, dia mengimbau kepada para pengusaha khususnya di dunia medis untuk tidak mengambil keuntungan pada masa pandemi ini.
"Saya kira itu tidak terpuji. Dalam kondisi seperti ini kalau ada kelompok atau pengusaha yang mengambil keuntungan, saya rasa tidak baik," kata Ariza kemarin. (Baca juga: Masa Pendaftaran Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)
Dia tak mengelak banyak RS di Jakarta selama ini mematok harga tinggi tes usap. Namun, meskipun diperbolehkan mencari keuntungan, menurutnya tugas dunia usaha adalah membantu masyarakat bersama-sama melawan Covid-19.
Jumat (2/10/2020), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) secara resmi menetapkan harga tes usap sebesar Rp900.000. Harga itu sudah termasuk pemeriksaan dengan metode real time PCR.
Penetapan besaran ini telah melalui survei lapangan. Angka Rp900.000 dinilai bisa dipertanggungjawabkan lantaran telah mencakup biaya pemeriksaan, layanan, administrasi, laboratorium, dan sebagainya. Tarif tersebut juga dinilai relatif terjangkau oleh masyarakat.
Beberapa bulan lalu, harga rapid test untuk keperluan bepergian dengan pesawat dan kereta api juga mencapai Rp500.000–800.000. Kemenkes pun membuat tarif batas atas sebesar Rp150.000.
Soal besaran tarif, anggota Komisi IX DPR M Nabil Haroen menilai harga acuan tertinggi biaya tes usap sebesar Rp900.000 masih wajar. "Rp900.000 ini cukup moderat," tandasnya. (Baca juga: Jangan pernah Malas Pakai Masker karena Ini Alasannya!)
Namun, politikus PDIP ini juga berharap agar para peneliti dan ilmuwan Indonesia dapat menemukan alternatif lain untuk mendeteksi dini Covid-19. Komisi IX belum lama ini telah berkunjung ke beberapa universitas, salah satunya Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk melihat Genose, kreasi anak bangsa untuk penanganan Covid.
Pihaknya berharap agar uji klinis alat itu segera tuntas dan bisa digunakan masyarakat. Genose diklaim jauh lebih murah dan lebih nyaman karena hanya menggunakan embusan napas tanpa lagi harus dicolok-colok menggunakan cotton bud mini.
RS Minta Biaya PCR Diperinci
Pengaturan batas atas tarif tes usap yang mulai diberlakukan pemerintah, praktis membuat pengelola RS tak lagi bisa leluasa. Mereka berpikir keras menghitung ulang model layanan berikut besaran keuntungan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi menilai rumah sakit memahami dan akan mengikuti kebijakan pemerintah ini. Namun, imbas regulasi baru ini, pihaknya juga harus memerinci lagi serta mengatur standardisasi alat pendukung tes PCR.
Dia menjelaskan, pada swab test PCR terdiri atas beberapa komponen seperti mesin PCR dan alat pendukung pemeriksaan. Alat pendukung itu meliputi reagent, sumber daya manusia (SDM) yaitu dokter spesialis, analis, alat pelindung diri (APD), listrik, dan sebagainya. ”Karena sudah ditetapkan pemerintah seperti itu, tentunya kita ikut saja. Namun, kami juga mendorong agar reagent juga distandardisasi agar bisa lebih efisien lagi,” ujar Ichsan kemarin. (Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Kembali Suarakan Mogok Nasional)
Bagi RS yang tidak memiliki alat PCR, biasanya harus mengirim bahan atau sampel pemeriksaan ke RS atau laboratorium lain. Dengan begitu, kemungkinan akan ada biaya tambahan seperti transportasi. Di sisi lain, Ichsan juga belum memahami penetapan tarif baru tersebut untuk tes PCR yang berapa hari.
Sepengetahuannya, rata-rata hasil pengujiannya bisa didapat sampai tiga hari. “Kalau di rumah sakit tertentu, untuk (hasil) sehari keluar, mungkin harganya bisa lebih. Karena antrean ini cukup banyak. Alatnya terbatas,” jelasnya.
Plt Dirjen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kemenkes Abdul Kadir mengatakan harga baru maksimal Rp900.000 sudah mempertimbangkan segala kebutuhan, dari dokter, petugas, alat pelindung diri, viral transport medium (VTM), serta pemeliharaan dan penyusutan alat. Kemenkes pun sudah memasukkan keuntungan sekitar 15% dari Rp900.000 tersebut.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan tes PCR mahal. Pertama, pelaku usaha melihat tes PCR ini sebagai peluang bisnis. Kedua, hukum ekonomi berlaku. Laboratorium saat ini sedikit, tetapi permintaan untuk tes Covid-19 cukup banyak. “Pada saat demand tinggi dan suplai kurang, harga pun tinggi. Demikian juga harga reagent di tahap awal itu mahal juga, tak terkendali,” tutur Abdul Kadir.
Surat Edaran Menteri Kesehatan untuk pengaturan biaya tes usap akan keluar hari ini. Namun, surat ini sepertinya tidak akan mencantum sanksi bagi laboratorium dan rumah sakit yang melanggar kebijakan baru itu. Sanksi bagi pelanggar akan diserahkan kepada dinas kesehatan di masing-masing daerah. “Itu dinas kesehatan yang bisa melakukan, tergantung bagaimana (nanti) melakukan pembinaan,” terangnya. (Baca juga: Waspadalah, PHK Massal Imbas Kenaikan Harga Pokok)
PCR Lebih Utama Ketimbang Rapid
PCR memang menjadi rujukan utama untuk mendeteksi seseorang terpapar virus corona atau tidak. Di Singapura, pemerintah tidak lagi menggunakan rapid test dengan menggunakan antigen. Hal itu karena tes tersebut tidak sensitif dalam mendeteksi infeksi virus corona.
“Tes rapid antigen kerap memberikan hasil palsu sehingga mengabaikan kasus sebenarnya,” kata Raymond Lin, direktur Laboratorium Kesehatan Publik Nasional di Pusat Nasional Penyakit Infeksi Singapura, dilansir The Straits Times.
Dia mengatakan, tes rapid antigen bisa mengabaikan satu dari enam kasus atau lebih. “Jika mengabaikan kasus ini, kita akan memiliki wabah yang terus menerus,” katanya.
Tes PCR dinilai lebih mampu mendeteksi material genetik virus pada sampel pasien dan menjadi tes yang standar untuk mengetahui Covid-19. Kelemahannya, proses tes PCR memerlukan waktu pengiriman ke laboratorium dan memakan waktu selama satu hari. Selain itu, biaya tes PCR juga lebih mahal dan membutuhkan personel terlatih.
Ini berbeda dengan tes rapid dengan antigen yang hanya menguji protein virus di permukaan dan hasilnya bisa terlihat dalam hitungan menit. Tes serologi akan mampu mendeteksi kehadiran antibodi yang digunakan guna mengetahui apakah orang tersebut pernah terinfeksi di masa lalu. (Baca juga: 10 Pertempuran Udara Paling Sengit Dalam Sejarah)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya merekomendasikan penggunaan tes rapid dalam kondisi tertentu, misalnya lokasi terpencil dan pelaksanaan tes PCR tidak tersedia. Tes rapid hanya dijadikan sebagai upaya memonitor kondisi kesehatan semata.
Berbeda dengan Singapura, di Filipina, pemerintah masih menerapkan tes rapid dan PCR. Apalagi, banyak warga Filipina berinisiatif melakukan tes PCR dan rapid sehingga mereka merasa aman. Jika dinyatakan terinfeksi, mereka juga harus mengisolasi diri di rumah.
Badan Kesehatan Inggris (NHS) akan memberikan tes PCR gratis jika ada warga yang mengalami gejala terinfeksi virus corona seperti demam dan batuk terus-menerus. Tes gratis juga diberikan kepada orang yang pernah tinggal dengan pasien yang sudah terinfeksi virus corona.
Pemerintah Inggris sudah mengizinkan penggunaan tes corona yang bisa diketahui dalam waktu satu jam. "Tes baru itu akan bisa mendeteksi flu musim dingin dan virus corona. Nantinya, tes itu digunakan untuk mencegah penyebaran virus corona menjelang musim dingin," kata Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock, dilansir Euro News. Dia mengatakan bahwa Inggris menggunakan teknologi inovasi untuk menangkal virus corona.
Bagaimana dengan di Amerika Serikat (AS)? Pada akhir Agustus lalu, Badan Obat-obatan dan Makanan (FDA) mengizinkan penggunaan tes rapid dengan biaya USD5 dalam kondisi darurat. Hasil tes rapid itu bisa diketahui dalam waktu 15 menit karena tidak memerlukan laboratorium. AS menghabiskan anggaran USD760 juta untuk memproduksi 150 juta tes rapid dari Abbott Laboratories. (Lihat videonya: Lawan Covid-19, Pakai Masker Berfiltrasi Baik)
“Membuat tes yang cepat, murah, dan mudah memang menjadi tujuan utama. Saya pikir tes antigen adalah solusinya,” papar Martin Burke, pakar kimia dari Universitas Illinois at Urbana-Champaign. (Bima Setyadi/Faorick Pakpahan /F.W. Bahtiar/Raka Dwi N/Andika H Mustaqim)
(ysw)