Khawatir Klaster Baru Covid-19, Publik Tolak Pilkada Serentak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah tingginya penambahan kasus Covid-19, pemerintah dan DPR memutuskan untuk tetap melanjutkan penyelenggaraan Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020.
Tuntutan agar pilkada ditunda disuarakan banyak kalangan, termasuk dari ormas Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kerumunan massa dalam pilkada berpotensi menciptakan klaster baru Covid-19 dan mengancam keselamatan rakyat. “Mayoritas publik sebanyak 80,5% menolak pilkada karena dikhawatirkan menjadi klaster baru Covid-19,” demikian ungkap Direktur Eksekutif New Indonesia Research & Consulting Andreas Nuryono dalam siaran pers di Jakarta, pada Kamis (1/10/2020). (Baca juga: Bawaslu Usul Jatah Kampanye Pelanggar Protokol Kesehatan Dikurangi)
Menurut Andreas, publik lebih menginginkan pilkada ditunda hingga wabah Covid-19 bisa dikendalikan. Sebagai catatan, pemerintah telah satu kali menunda pilkada dari jadwal sebelumnya pada 9 September 2020, dengan alasan yang sama. Hanya ada 12,6% responden yang setuju pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal, dan sisanya 6,9% tidak tahu/tidak menjawab. Kecilnya dukungan publik juga berpotensi menurunkan partisipasi pemilih atau meningkatkan golput, lanjut Andreas. “Meskipun golput tidak berpengaruh terhadap perhitungan suara, tetapi besarnya penolakan publik terhadap pilkada di tengah wabah bisa menurunkan legitimasi terhadap kepala daerah terpilih,” tandas Andreas. (Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi Dibayangi Ledakan Golput)
Pemerintah, DPR, dan KPU, Andreas menambahkan, sebaiknya menjadwal ulang Pilkada 2020 dan menerbitkan Perppu. “PKPU tentang protokol kesehatan dipandang tidak cukup efektif, sementara keselamatan rakyat harus dinomorsatukan,” kata Andreas. (Baca juga: 3 Pelanggaran yang Bisa Membuat Calon Kepala Daerah Didiskualifikasi)
Survei New Indonesia Research & Consulting dilakukan pada 15-25 September 2020, dengan sambungan telepon kepada 1.200 responden yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error ±2,89% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Tuntutan agar pilkada ditunda disuarakan banyak kalangan, termasuk dari ormas Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kerumunan massa dalam pilkada berpotensi menciptakan klaster baru Covid-19 dan mengancam keselamatan rakyat. “Mayoritas publik sebanyak 80,5% menolak pilkada karena dikhawatirkan menjadi klaster baru Covid-19,” demikian ungkap Direktur Eksekutif New Indonesia Research & Consulting Andreas Nuryono dalam siaran pers di Jakarta, pada Kamis (1/10/2020). (Baca juga: Bawaslu Usul Jatah Kampanye Pelanggar Protokol Kesehatan Dikurangi)
Menurut Andreas, publik lebih menginginkan pilkada ditunda hingga wabah Covid-19 bisa dikendalikan. Sebagai catatan, pemerintah telah satu kali menunda pilkada dari jadwal sebelumnya pada 9 September 2020, dengan alasan yang sama. Hanya ada 12,6% responden yang setuju pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal, dan sisanya 6,9% tidak tahu/tidak menjawab. Kecilnya dukungan publik juga berpotensi menurunkan partisipasi pemilih atau meningkatkan golput, lanjut Andreas. “Meskipun golput tidak berpengaruh terhadap perhitungan suara, tetapi besarnya penolakan publik terhadap pilkada di tengah wabah bisa menurunkan legitimasi terhadap kepala daerah terpilih,” tandas Andreas. (Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi Dibayangi Ledakan Golput)
Pemerintah, DPR, dan KPU, Andreas menambahkan, sebaiknya menjadwal ulang Pilkada 2020 dan menerbitkan Perppu. “PKPU tentang protokol kesehatan dipandang tidak cukup efektif, sementara keselamatan rakyat harus dinomorsatukan,” kata Andreas. (Baca juga: 3 Pelanggaran yang Bisa Membuat Calon Kepala Daerah Didiskualifikasi)
Survei New Indonesia Research & Consulting dilakukan pada 15-25 September 2020, dengan sambungan telepon kepada 1.200 responden yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error ±2,89% dengan tingkat kepercayaan 95%.
(cip)