3 Pelanggaran yang Bisa Membuat Calon Kepala Daerah Didiskualifikasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 bukanlah hal yang mudah. Ancaman penularan virus Sars Cov-II masih menghantui masyarakat.
Namun, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilih melanjutkan pilkada di 270 daerah dan pemungutan suara akan dilakukan 9 Desember nanti. Masalahnya, pilkada yang identik dengan keramaian dinilai sulit untuk menerapkan protokol kesehatan, terutama jaga jarak.
( ).
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra menerangkan, pihaknya awalnya memberikan tiga opsi pelaksanaan pilkada lanjutan, yakni Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021.
Dia mengungkapkan pihaknya pernah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar yang menentukan waktu pilkada lanjutan adalah KPU. Namun, dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) itu harus kesepakatan pemerintah, DPR, dan KPU.
( ).
Pilihannya, jatuh pada 9 Desember 2020. Maka, menurutnya, KPU meminta pendapat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengenai pelaksanaan pilkada ini. "Pilkada ini bisa diselenggarakan dengan mematuhi protokol pencegahan Covid-19," ujarnya menirukan jawaban gugus tugas, dalam diskusi daring "Pilkada Berkualitas Dengan Protokol Kesehatan: Utopia atau Realita?, Rabu (30/9/2020).
KPU pun meminta tambahan anggaran untuk pemenuhan alat pelindung diri (APD) bagi para petugasnya. Sebelumnya, APD ini tidak masuk dalam dana hibah daerah untuk pilkada.
Permasalahan pelaksanaan pilkada belum selesai karena saat pendaftaran cakada pada 4-6 September 2020 banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Karena itu, muncul desakan kepada KPU untuk mendiskualifikasi cakada yang tidak mematuhi protokol kesehatan pada tahapan selanjutnya, seperti kampanye.
Ilham menyatakan, lembaganya tidak bisa melakukan itu karena tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pilkada. Yang membuat paslon didiskualifikasi adalah petahana yang melakukan mutasi pejabat enam bulan menjelang pilkada, money politics, dan pelanggaran dana kampanye.
KPU sepertinya belajar dari pengalaman menerapkan peraturan larangan mantan narapidana koruptor maju. Saat itu, aturan tersebut dibatalkan karena tidak ada dalam UU. "Bawaslu menganggap tidak ada di UU. Setiap ada sengketa di Bawaslu, diperbolehkan kembali," pungkasnya.
Namun, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilih melanjutkan pilkada di 270 daerah dan pemungutan suara akan dilakukan 9 Desember nanti. Masalahnya, pilkada yang identik dengan keramaian dinilai sulit untuk menerapkan protokol kesehatan, terutama jaga jarak.
( ).
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra menerangkan, pihaknya awalnya memberikan tiga opsi pelaksanaan pilkada lanjutan, yakni Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021.
Dia mengungkapkan pihaknya pernah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar yang menentukan waktu pilkada lanjutan adalah KPU. Namun, dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) itu harus kesepakatan pemerintah, DPR, dan KPU.
( ).
Pilihannya, jatuh pada 9 Desember 2020. Maka, menurutnya, KPU meminta pendapat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengenai pelaksanaan pilkada ini. "Pilkada ini bisa diselenggarakan dengan mematuhi protokol pencegahan Covid-19," ujarnya menirukan jawaban gugus tugas, dalam diskusi daring "Pilkada Berkualitas Dengan Protokol Kesehatan: Utopia atau Realita?, Rabu (30/9/2020).
KPU pun meminta tambahan anggaran untuk pemenuhan alat pelindung diri (APD) bagi para petugasnya. Sebelumnya, APD ini tidak masuk dalam dana hibah daerah untuk pilkada.
Permasalahan pelaksanaan pilkada belum selesai karena saat pendaftaran cakada pada 4-6 September 2020 banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Karena itu, muncul desakan kepada KPU untuk mendiskualifikasi cakada yang tidak mematuhi protokol kesehatan pada tahapan selanjutnya, seperti kampanye.
Ilham menyatakan, lembaganya tidak bisa melakukan itu karena tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pilkada. Yang membuat paslon didiskualifikasi adalah petahana yang melakukan mutasi pejabat enam bulan menjelang pilkada, money politics, dan pelanggaran dana kampanye.
KPU sepertinya belajar dari pengalaman menerapkan peraturan larangan mantan narapidana koruptor maju. Saat itu, aturan tersebut dibatalkan karena tidak ada dalam UU. "Bawaslu menganggap tidak ada di UU. Setiap ada sengketa di Bawaslu, diperbolehkan kembali," pungkasnya.
(zik)