Pilkada di Tengah Pandemi Dibayangi Ledakan Golput
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dampak dari sikap pemerintah yang tetap bersikukuh melanjutkan pilkada di tengah pandemi diperkirakan besar. Satu di antaranya partisipasi pemilih yang dinilai akan anjlok. Harus ada jurus yang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar ledakan golput bisa dihindari.
Potensi ledakan golput tidak lepas dari fakta minimnya dukungan terhadap pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Desember 2020. Banyak kelompok yang menyuarakan pilkada ditunda karena dinilai membahayakan masyarakat akibat situasi pandemi Covid-19. Suara penolakan ini bahkan datang dari dua ormas terbesar di Tanah Air, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Tidak hanya itu, banyak organisasi dan kelompok masyarakat yang juga menyuarakan hal yang sama. (Baca: Waspada dan Jangan Meremehkan Sifat Lalai)
Survei lembaga Indikator Politik Indonesia pada Juli 2020 menyebutkan, 65% warga meminta agar pilkada ditunda. Survei ini dilakukan sebelum NU, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya menyerukan penundaan pilkada. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, peningkatan permintaan penundaan pilkada pada saat pandemi harus dipahami bahwa itu akan menjadi sumber golput.
Dia menyebut angka golput akan meningkat lebih tajam jika survei dilakukan pada hari-hari akhir sebelum pencoblosan. Ini seiring dengan permintaan NU, Muhammadiyah, atau ormas lainnya. Pernyataan Burhanuddin ini disampaikan saat menjadi pembicara sebuah webinar pada Minggu (27/9).
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, hingga saat ini Muhammadiyah tetap pada sikap dan pandangan agar pilkada ditunda pelaksanaannya sampai keadaan memungkinkan.
“Kalau pemerintah dan penyelenggara pemilu masih tetap mau melaksanakan pilkada , itu urusan dan tanggung jawab mereka,” kata Mu’ti saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Bantu Guru PJJ, Kemendikbud Luncurkan Program Guru Belajar)
Muhammadiyah melihat ada sejumlah makna di balik sikap pemerintah yang tetap ingin menggelar pilkada di 270 pada 9 Desember. Pertama, pemerintah terkesan sangat gegabah dan menyederhanakan masalah. Potensi terjadi kluster demokrasi dinilai sangat besar karena penegakan aturan dan disiplin selama ini sudah terbukti tidak berhasil. “Pada tingkat tertentu pemerintah mengabaikan hak hidup dan jaminan kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Kedua, pemerintah mereduksi makna dan hakikat demokrasi sebatas proses dan mekanisme pergantian kekuasaan semata. Situasi pandemi Covid-19, dengan berbagai kontrol yang ketat, akan mengurangi partisipasi masyarakat.
“Antusiasme masyarakat yang rendah akan mengurangi legitimasi pilkada. Juga ada potensi besar praktik politik uang dalam pilkada ,” katanya. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)
Ketiga, di tengah krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia, bahkan berpotensi disusul resesi, anggaran negara yang begitu besar semestinya bisa dipergunakan untuk kepentingan pemulihan ekonomi dan bantuan kesejahteraan masyarakat, termasuk kesehatan dan pendidikan. Karena itu, dia heran ketika pilkada seperti sesuatu yang mutlak dilaksanakan saat ini dan sama sekali tidak bisa ditunda. “Pemerintah seperti sedang mempertaruhkan masa depan ekonomi Indonesia demi pilkada,” tandasnya.
Potensi ledakan golput tidak lepas dari fakta minimnya dukungan terhadap pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Desember 2020. Banyak kelompok yang menyuarakan pilkada ditunda karena dinilai membahayakan masyarakat akibat situasi pandemi Covid-19. Suara penolakan ini bahkan datang dari dua ormas terbesar di Tanah Air, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Tidak hanya itu, banyak organisasi dan kelompok masyarakat yang juga menyuarakan hal yang sama. (Baca: Waspada dan Jangan Meremehkan Sifat Lalai)
Survei lembaga Indikator Politik Indonesia pada Juli 2020 menyebutkan, 65% warga meminta agar pilkada ditunda. Survei ini dilakukan sebelum NU, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya menyerukan penundaan pilkada. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, peningkatan permintaan penundaan pilkada pada saat pandemi harus dipahami bahwa itu akan menjadi sumber golput.
Dia menyebut angka golput akan meningkat lebih tajam jika survei dilakukan pada hari-hari akhir sebelum pencoblosan. Ini seiring dengan permintaan NU, Muhammadiyah, atau ormas lainnya. Pernyataan Burhanuddin ini disampaikan saat menjadi pembicara sebuah webinar pada Minggu (27/9).
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, hingga saat ini Muhammadiyah tetap pada sikap dan pandangan agar pilkada ditunda pelaksanaannya sampai keadaan memungkinkan.
“Kalau pemerintah dan penyelenggara pemilu masih tetap mau melaksanakan pilkada , itu urusan dan tanggung jawab mereka,” kata Mu’ti saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Bantu Guru PJJ, Kemendikbud Luncurkan Program Guru Belajar)
Muhammadiyah melihat ada sejumlah makna di balik sikap pemerintah yang tetap ingin menggelar pilkada di 270 pada 9 Desember. Pertama, pemerintah terkesan sangat gegabah dan menyederhanakan masalah. Potensi terjadi kluster demokrasi dinilai sangat besar karena penegakan aturan dan disiplin selama ini sudah terbukti tidak berhasil. “Pada tingkat tertentu pemerintah mengabaikan hak hidup dan jaminan kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Kedua, pemerintah mereduksi makna dan hakikat demokrasi sebatas proses dan mekanisme pergantian kekuasaan semata. Situasi pandemi Covid-19, dengan berbagai kontrol yang ketat, akan mengurangi partisipasi masyarakat.
“Antusiasme masyarakat yang rendah akan mengurangi legitimasi pilkada. Juga ada potensi besar praktik politik uang dalam pilkada ,” katanya. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)
Ketiga, di tengah krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia, bahkan berpotensi disusul resesi, anggaran negara yang begitu besar semestinya bisa dipergunakan untuk kepentingan pemulihan ekonomi dan bantuan kesejahteraan masyarakat, termasuk kesehatan dan pendidikan. Karena itu, dia heran ketika pilkada seperti sesuatu yang mutlak dilaksanakan saat ini dan sama sekali tidak bisa ditunda. “Pemerintah seperti sedang mempertaruhkan masa depan ekonomi Indonesia demi pilkada,” tandasnya.