Pilkada di Tengah Pandemi Dibayangi Ledakan Golput

Kamis, 01 Oktober 2020 - 07:22 WIB
loading...
Pilkada di Tengah Pandemi...
Foto/Koran SINDO/Yuliato
A A A
JAKARTA - Dampak dari sikap pemerintah yang tetap bersikukuh melanjutkan pilkada di tengah pandemi diperkirakan besar. Satu di antaranya partisipasi pemilih yang dinilai akan anjlok. Harus ada jurus yang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar ledakan golput bisa dihindari.

Potensi ledakan golput tidak lepas dari fakta minimnya dukungan terhadap pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Desember 2020. Banyak kelompok yang menyuarakan pilkada ditunda karena dinilai membahayakan masyarakat akibat situasi pandemi Covid-19. Suara penolakan ini bahkan datang dari dua ormas terbesar di Tanah Air, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Tidak hanya itu, banyak organisasi dan kelompok masyarakat yang juga menyuarakan hal yang sama. (Baca: Waspada dan Jangan Meremehkan Sifat Lalai)

Survei lembaga Indikator Politik Indonesia pada Juli 2020 menyebutkan, 65% warga meminta agar pilkada ditunda. Survei ini dilakukan sebelum NU, Muhammadiyah, dan organisasi lainnya menyerukan penundaan pilkada. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, peningkatan permintaan penundaan pilkada pada saat pandemi harus dipahami bahwa itu akan menjadi sumber golput.

Dia menyebut angka golput akan meningkat lebih tajam jika survei dilakukan pada hari-hari akhir sebelum pencoblosan. Ini seiring dengan permintaan NU, Muhammadiyah, atau ormas lainnya. Pernyataan Burhanuddin ini disampaikan saat menjadi pembicara sebuah webinar pada Minggu (27/9).

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, hingga saat ini Muhammadiyah tetap pada sikap dan pandangan agar pilkada ditunda pelaksanaannya sampai keadaan memungkinkan.

“Kalau pemerintah dan penyelenggara pemilu masih tetap mau melaksanakan pilkada , itu urusan dan tanggung jawab mereka,” kata Mu’ti saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Bantu Guru PJJ, Kemendikbud Luncurkan Program Guru Belajar)

Muhammadiyah melihat ada sejumlah makna di balik sikap pemerintah yang tetap ingin menggelar pilkada di 270 pada 9 Desember. Pertama, pemerintah terkesan sangat gegabah dan menyederhanakan masalah. Potensi terjadi kluster demokrasi dinilai sangat besar karena penegakan aturan dan disiplin selama ini sudah terbukti tidak berhasil. “Pada tingkat tertentu pemerintah mengabaikan hak hidup dan jaminan kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Kedua, pemerintah mereduksi makna dan hakikat demokrasi sebatas proses dan mekanisme pergantian kekuasaan semata. Situasi pandemi Covid-19, dengan berbagai kontrol yang ketat, akan mengurangi partisipasi masyarakat.

“Antusiasme masyarakat yang rendah akan mengurangi legitimasi pilkada. Juga ada potensi besar praktik politik uang dalam pilkada ,” katanya. (Baca juga: Pneumonia Butuh Penanganan Serius)

Ketiga, di tengah krisis ekonomi yang mulai melanda Indonesia, bahkan berpotensi disusul resesi, anggaran negara yang begitu besar semestinya bisa dipergunakan untuk kepentingan pemulihan ekonomi dan bantuan kesejahteraan masyarakat, termasuk kesehatan dan pendidikan. Karena itu, dia heran ketika pilkada seperti sesuatu yang mutlak dilaksanakan saat ini dan sama sekali tidak bisa ditunda. “Pemerintah seperti sedang mempertaruhkan masa depan ekonomi Indonesia demi pilkada,” tandasnya.

Akibat seriusnya ancaman virus, pilkada bahkan diperkirakan bukan hanya persoalan partisipasi pemilih yang rendah. Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, sebelum persoalan partisipasi pemilih yang memang potensial anjlok, yang perlu dipikirkan KPU saat ini adalah bagaimana menyiapkan personel di tempat pemungutan suara (TPS). Menurutnya, tidak mudah meyakinkan orang untuk bersedia menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

“Bahkan panitia TPS ini dulu yang perlu dipikirkan, nanti bisa dipenuhi enggak oleh KPU? Sebagai contoh, saya punya kenalan, selama ini dia selalu jadi panitia TPS, tapi sekarang ini dia tidak mau lagi karena takut terinfeksi,” ungkapnya. (Baca juga: 83 Juta Warga India Kemungkinan Telah Terinfeksi Virus Covid-19)

Partisipasi pemilih menjadi satu di antara tolok ukur kualitas pilkada. Dalam beberapa pilkada serentak sebelumnya, angka partisipasi menunjukkan tren yang baik. Pada Pilkada 2015 yang diikuti 264 daerah, partisipasi jauh dari target yang ditetapkan KPU sebesar 77,5%. Pilkada serentak tahap pertama ini hanya menghasilkan partisipasi pemilih 64,02%.

Angka partisipasi pemilih membaik setahun kemudian, yakni pada Pilkada 2017 yang diikuti 101 daerah. Saat itu partisipasi mencapai 74,20% dan mendekati target KPU sebesar 77,5%.

Hasil Pilkada 2018 yang diikuti 171 daerah, angka partisipasi tergolong masih tinggi, yakni 73,24%. Meski demikian, ini masih belum mencapai target yang ditetapkan KPU yang juga 77,5%. (Lihat videonya: Tempat Karaoke di Depok Ditutup Paksa Petugas)

Kali ini, meski pilkada dilaksanakan di tengah pandemi, namun KPU tetap yakin pemilih akan menggunakan hak pilihnya di TPS. Alasannya, ada jaminan perlindungan berupa penerapan protokol kesehatan yang ketat, baik terhadap penyelenggara pilkada di TPS maupun terhadap pemilih. Pada pilkada serentak tahap IV yang diikuti 270 daerah ini, KPU tetap menetapkan target partisipasi pemilih yang ambisius, yakni 77,5%. (Bakti)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1589 seconds (0.1#10.140)