BPOM Temukan 50 Ribu Tautan Iklan Penjual Obat Ilegal Selama Pandemi COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ), Penny Kusumastuti Lukito mengatakan di masa pandemi COVID-19 sebanyak 50 ribu tautan atau link website yang mengiklankan obat dan makanan ilegal .
“Dalam masa krisis pandemi ini banyak dimanfaatkan oleh para penjahat yang memanfaatkan keberadaan kondisi krisis ini dengan memberikan iklan-iklan yang berlebihan, iklan-iklan yang tidak sepatutnya sesuai dengan pembuktiannya yang ada, tentunya akan sangat berbahaya kalau dikonsumsi oleh masyarakat,” ungkap Penny dalam Konferensi Pers secara virtual Penindakan Obat dan Makanan di Masa Pandemi COVID-19, Jumat (25/9/2020). (Baca juga: Pilkada Picu Lonjakan COVID-19, KPU Harus Tegas pada Pelanggar Protokol Kesehatan)
Sebanyak 48 ribu tautan tersebut berisi iklan obat terutama yang dijadikan pengobatan COVID-19 seperti hidroksiklorokuin, aktinomisin, ataupun dexamethasone. “Identifikasi sekitar 50 ribu tautan atau istilahnya link yang mengedarkan iklan-iklan penjualan obat dan makanan yang ilegal. Dan tentunya ilegal dan merupakan produk-produk yang dilarang khususnya untuk dikaitkan dengan obat-obat jadikan COVID-19 banyak sekali hidroksiklorokuin, aktinomisin, dexamethasone yang dijual secara ilegal,” jelasnya.
Penny mengatakan temuan ini merupakan hasil patroli siber dari Maret sampai dengan September. Dan kini sebanyak 50 ribu tautan sudah di take down.
“Sudah ditemukan sebanyak hampir 50 ribu tautan atau link yang sebelumnya telah ditindaklanjuti dan telah direkomendasi take down. Terima kasih atas kerja samanya dari IDEA (Indonesian E-Commerce Association) yang selalu bekerja sama menindaklanjuti, menurunkan temuan-temuan yang kami dapatkan,” tandasnya. (Baca juga: Mulia Sekali! Meski Ditanggung Pemerintah, Asuransi Jiwa Tetap Bayar Klaim Covid)
Namun, Penny menambahkan penjualan ilegal ini juga tidak akan terjadi kalau tidak ada yang membeli. “Jadi demand yang juga tugas dari pada masyarakat untuk tidak mencari, tidak membeli produk-produk obat keras ini yang seharusnya memang didapatkan melalui resep dokter atau dari fasilitas pelayanan kesehatan. Terutama yang terkait dengan pengobatan COVID-19,” katanya.
“Dalam masa krisis pandemi ini banyak dimanfaatkan oleh para penjahat yang memanfaatkan keberadaan kondisi krisis ini dengan memberikan iklan-iklan yang berlebihan, iklan-iklan yang tidak sepatutnya sesuai dengan pembuktiannya yang ada, tentunya akan sangat berbahaya kalau dikonsumsi oleh masyarakat,” ungkap Penny dalam Konferensi Pers secara virtual Penindakan Obat dan Makanan di Masa Pandemi COVID-19, Jumat (25/9/2020). (Baca juga: Pilkada Picu Lonjakan COVID-19, KPU Harus Tegas pada Pelanggar Protokol Kesehatan)
Sebanyak 48 ribu tautan tersebut berisi iklan obat terutama yang dijadikan pengobatan COVID-19 seperti hidroksiklorokuin, aktinomisin, ataupun dexamethasone. “Identifikasi sekitar 50 ribu tautan atau istilahnya link yang mengedarkan iklan-iklan penjualan obat dan makanan yang ilegal. Dan tentunya ilegal dan merupakan produk-produk yang dilarang khususnya untuk dikaitkan dengan obat-obat jadikan COVID-19 banyak sekali hidroksiklorokuin, aktinomisin, dexamethasone yang dijual secara ilegal,” jelasnya.
Penny mengatakan temuan ini merupakan hasil patroli siber dari Maret sampai dengan September. Dan kini sebanyak 50 ribu tautan sudah di take down.
“Sudah ditemukan sebanyak hampir 50 ribu tautan atau link yang sebelumnya telah ditindaklanjuti dan telah direkomendasi take down. Terima kasih atas kerja samanya dari IDEA (Indonesian E-Commerce Association) yang selalu bekerja sama menindaklanjuti, menurunkan temuan-temuan yang kami dapatkan,” tandasnya. (Baca juga: Mulia Sekali! Meski Ditanggung Pemerintah, Asuransi Jiwa Tetap Bayar Klaim Covid)
Namun, Penny menambahkan penjualan ilegal ini juga tidak akan terjadi kalau tidak ada yang membeli. “Jadi demand yang juga tugas dari pada masyarakat untuk tidak mencari, tidak membeli produk-produk obat keras ini yang seharusnya memang didapatkan melalui resep dokter atau dari fasilitas pelayanan kesehatan. Terutama yang terkait dengan pengobatan COVID-19,” katanya.
(kri)