Penyelesaian Masalah di Ombudsman Umumnya lewat Konsiliasi dan Mediasi

Rabu, 23 September 2020 - 21:55 WIB
loading...
Penyelesaian Masalah...
Ombudsman Republik Indonesia mengedepankan konsiliasi, mediasi, dan rekomendasi dalam menyelesaikan permasalahan pelayanan publik yang dialami masyarakat. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia mengedepankan konsiliasi, mediasi, dan rekomendasi dalam menyelesaikan permasalahan pelayanan publik yang dialami masyarakat. Cara itu disebut Ombudsman’s Way.

(Baca juga: Pemerintah Harus Segera Keluarkan Perppu Pilkada di Tengah Pandemi)

Ketua Ombudsman Amzulian Rifai mengatakan, pihaknya memiliki kekhasan dalam penyelesaian maladministrasi. Tidak seperti lembaga penegak hukum lainnya. Ombudsman akan mengutamakan pendekatan persuasif dalam menyelesaikan setiap keluhan pelayanan publik.

(Baca juga: Update, Total 1.510 WNI Positif Covid-19)

"Pemerintah sebagai pelayan publik tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap masyarakat masyarakat. Ada beberapa peraturan sebagai payung hukumnya, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman, UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, dan UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," kata Amzulian, Rabu (23/9/2020).

(Baca juga: Mensos Juliari Batubara Salurkan Bansos Beras ke Natuna)

Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy mengungkapkan, ada sekira 10.000 laporan per tahun tentang diskriminasi pelayanan publik. Mayoritas laporan itu diselesaikan melalui konsiliasi dan mediasi.

"Berdasarkan data lima terakhir, ada 9 laporan yang diselesaikan dengan rekomendasi pada 2015. Angkanya terus menurun. Dua tahun terakhir, penyelesaian melalui rekomendasi hanya dua buah," ucapnya.

Suaedy menjelaskan 64 persen penyelesaian masalah sudah ditindaklanjuti. Namun, ada 27 persen yang tidak ditindaklanjuti oleh pelapor dan sisanya, masih dimonitor oleh Ombudsman. “Hampir semua kasus minoritas diselesaikan konsiliasi dan mediasi,” ucapnya.

Suaedy menceritakan ada dugaan maladministrasi di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Pemkot Bandung tidak mau menerima pemeluk aliran kepercayaan yang sudah diterima sebagai pegawai.

"Pemerintah tidak ingin menyumpah (jabatan) karena aliran kepercayaan belum diakui sebagai agama, Ombudsman menganggap itu maladministrasi. Akhirnya, dia disumpah," tuturnya.

Kasus lain diskriminasi yang pernah ditangani Ombudsman adalah pengajuan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) 5.000 warga di wilayah hutan lindung. Suaedy memaparkan warga itu sudah tinggal di sana lama, tetapi permohonannya tidak diakomodasi oleh pemerintah setempat.

"Dibela Ombudsman, pemerintah mengeluarkan regulasi dan mereka bisa mendapatkan KTP-el dengan memasukkan mereka ke RT di luar batas (hutan lindung). Ini berlaku bagi masyarakat terpinggirkan, seperti suku laut yang tinggal dari satu tempat ke yang lainnya. Dengan keputusan ini bisa dapat KTP-el," pungkasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1202 seconds (0.1#10.140)