Butuh Konsistensi Putus Rantai Teror

Selasa, 22 September 2020 - 07:01 WIB
loading...
Butuh Konsistensi Putus...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penangkapan puluhan tersangka kasus terorisme di beberapa wilayah beberapa waktu lalu mengejutkan banyak kalangan. Di tengah pandemi Covid-19 ini, sel-sel jaringan terorisme masih aktif melakukan latihan, pengalangan dana, dan rekrutmen simpatisan baru.

Total ada 72 tersangka kasus terorisme yang ditangkap oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri selama periode 1 Juni hingga 12 Agustus 2020. Penangkapan dilakukan di delapan provinsi, yakni Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Tengah, dan Riau. Khusus wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat ada 15 tersangka yang diamankan. (Baca: Inilah Nasib Orang yang Bakhil)

Berdasarkan informasi dari Mabes Polri, puluhan tersangka tersebut merupakan bagian dari kelompok Jamaan Ansharut Daulah (JAD). “Penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Polri adalah merupakan bentuk preemptive strike atau tindak pencegahan sebelum aksi terorisme terjadi di lapangan,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Dari informasi yang dihimpun petugas dari para tersangka, diketahui bahwa kelompok ini terus aktif melakukan pelatihan untuk persiapan aksi teror. Setidaknya mereka melakukan tiga kali pelatihan, yakni digelar di Goa Ciwadon, Jonggol, Bogor (17-18 Agustus 2019, di Curug Cilalay, Karawang (8 September 2019), dan di Gunung Batu Jonggol (21-22 September 2019).

Rangkaian pelatihan ini dilakukan untuk persiapan serangan sepanjang 2020. Selain terlibat berbagai teror, kelompok ini juga diduga aktif melakukan pengiriman logistik dan pendanaan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) serta fasilitator keberangkatan ke Suriah.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Andi M Faisal Bakti menyayangkan hingga kini masih ada penyebaran atas paham radikalisme. Kondisi ini harus menjadi perhatian banyak pihak, apalagi kelompok jaringan terorisme ini masih terus melakukan upaya rekrutmen kader baru. (Baca juga: Penting Buat Orangtua, Kenali Gejala Kanker pada Anak)

Puluhan terduga teroris yang ditangkap maupun ditembak mati di berbagai di daerah di Indonesia sepanjang Januari hingga Agustus 2020, menunjukkan bahwa upaya penanggulangan dan pencegahan radikalisme dan terorisme belum berjalan efektif dan maksimal.

"Untuk mengantisipasi ini, harus melakukan dialog terbuka, pendekatan dialog. Semua golongan harus diajak dialog, bukan golongan tertentu saja. Yang ditangkap itu coba cari gurunya siapa, diajak dialog secara terbuka, kemudian dilihat pandangan mereka seperti apa, jangan langsung ditangkap gurunya," ujar Faisal saat berbincang dengan KORAN SINDO.

Wakil Ketua Bidang Pendidikan Tinggi Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) ini membeberkan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kementerian, lembaga, dan stakeholder terkait juga harus mengantisipasi dan mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme di kalangan milenial atau generasi muda. Musababnya, generasi ini sangat rentan menjadi target rekrutmen sebagai calon teroris.

Untuk upaya antisipasi dan pencegahan maka perlu dilakukan pendekatan kepada orang tua dan gurunya. Apalagi, kata Andi, orang tua merupakan bagian penting dari pendidikan dalam keluarga. Para orang tua dapat melakukan paksaan (coercion) dan/atau bujukan (seduction) kepada anak. Selain itu, upaya tersebut juga harus dijalankan dengan menggandeng pemuka agama, ormas-ormas, hingga berbagai rumah ibadah. (Baca juga: Inggris Mengaku Menghadapi Titik Kritis Pandemi Covid-19)

"Biasanya anak-anak itu bisa mengikuti orang tuanya. Kadang juga bisa mengikuti referential group atau kelompok yang bisa memberikan petuah. Referential group itu termasuk guru. Jadi, dialog juga dengan referential group, dilibatkan. Namanya referential group bisa macam-macam, seperti bisa ulama panutan, orang tua panutan, bisa NGO, bisa LSM, bisa masjid, bisa gereja," tuturnya.

Andi menambahkan, BNPT dan stakeholder terkait pun seharusnya konsisten menggandeng sejumlah universitas dan organisasi kepemudaan guna pencegahan aksi terorisme. Selain itu, pemerintah khususnya BNPT benar-benar perlu juga menggandeng organisasi atau kelompok yang masih termarginalkan atau di luar organisasi yang telah diajak kerja sama.

"Ada kelompok-kelompok yang termarginalkan yang merasa bahwa ada something wrong di negeri kita. Inilah bagaimana wrong itu dijadikan (diubah) menjadi true, menjadi right, menjadi benar. Jadi, pemerintah kita itu harus melihat tidak hanya satu sisi," ungkapnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan mengatakan, penanggulangan dan pencegahan terorisme harus terus dilakukan oleh pemerintah lebih khusus melalui BNPT. Upaya ini tidak boleh berhenti meski saat ini masih masa pandemi Covid-19. Apalagi, kelompok radikal dan organisasi teroris malah makin gencar melakukan kampanye dan propaganda hingga rekrutmen calon teroris baru.

Sejauh ini memang upaya pencegahan radikalisme dan terorisme sudah berjalan baik. Akan tetapi, baik saja tidak cukup. Di kepemimpinan Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar sebagai kepala BNPT, Trimedya mendorong agar BNPT konsisten terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pencegahan radikalisme dan terorisme serta pencegahan rekrutmen calon terorisme baru. (Baca juga: OPM Sudah Kelewatan, Penggunaan Operasi Militer Dinilai Sudah Mendesak)

Selain itu, Boy juga harus sering bersuara dan menyampaikan kepada masyarakat capaian-capaian BNPT untuk pencegahan terorisme,. "Di masa corona ini, kita tidak boleh lengah, karena pelaku-pelaku teroris itu justru lebih aktif, karena dianggapnya negara sedang sibuk urus corona. Jadi memang kita butuh konsistensi pencegahan. Efektivitas dan peningkatan pencegahan terorisme harus terus dilanjutkan," tegas Trimedya saat berbincang dengan KORAN SINDO.

Komisi III, ujar Trimedya, terus mengingatkan BNPT dan pihak-pihak terkait agar bisa memetakan secara utuh modus-modus rekrutmen calon teroris yang dijalankan kelompok atau organisasi teroris. Misalnya modus rekrutmen lewat pernikahan atau pembukaan lowongan pekerjaan atau kader kelompok teroris yang melakukan tindak pidana umum, kemudian dijebloskan ke rutan atau lapas, kemudian melakukan rekrutmen calon teroris di rutan atau lapas. Pemetaan tersebut bukan saja untuk kelompok atau organisasi teroris di dalam negeri, melainkan juga terafiliasi dengan kelompok atau organisasi teroris internasional.

Dari pemetaan tersebut dapat disimpulkan cara atau metode mana yang tepat untuk pencegahan. Identifikasi atas daerah-daerah keberadaan kelompok atau organisasi teroris harus terus dimaksimalkan. Musababnya, ujar Trimedya, jangan sampai pemetaan dan identifikasi yang salah mengakibatkan kesalahan saat pelaksanaan cara atau metode pencegahan. (Baca juga: Soal Aturan Gowes, Daerah Lain Diminta Contoh Anies)

"Yang paling penting itu deteksi dini. Pendekatan untuk penanggulangan dan pencegahan itu juga harus nirkekerasan. Libatkan juga kementerian, lembaga, masyarakat, dunia pendidikan. Misalnya Kementerian Agama, Kemendiknas. Untuk deteksi dini itu, koordinasikan dengan BIN, Polri, dan dengan TNI juga," paparnya.

Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini menyambut baik langkah pencegahan yang telah dilakukan BNPT dengan pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT), pembentukan Tim Asistensi Khusus atau Kelompok Kerja (Pokja) Deradikalisasi, pencegahan berbasis pengembangan kesejahteraan masyarakat, pencegahan berbasis desa, hingga pencegahan berbasis ulama, tokoh agama, para dai organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, dan lembaga pendidikan keagamaan.

"Tapi juga program-program pencegahan seperti itu harus juga dibarengi dengan evaluasi. Jadi nanti bisa diketahui bagaimana efektivitasnya, kemudian bagaimana perbaikan ke depannya, apa yang bisa dilakukan lagi," ucap Trimedya.

Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Raden Ahmad Nurwahid mengatakan, ketika bicara tentang terorisme maka kita tidak bisa lepas dengan perkembangan radikalisme karena radikalisme adalah paham atau fase awal menuju terorisme. Maka dapat dikatakan semua teroris pasti berpaham radikal, tetapi tidak semua paham radikal otomatis akan menjadi teroris. (Baca juga: Krisis Akibat Pandemi, McLaren Jual Kantor Pusat)

Ketika berbicara tentang penanggulangan radikalisme dan terorisme, ujar Nurwahid, maka harus dilihat secara holistis dari hulu sampai hilir. Untuk hilir merupakan upaya penegakan hukum dengan penindakan yang dilakukan Polri dan untuk hulu menjadi tugas pokok BNPT. Upaya hulu inilah disebut sebagai pendekatan nirkekerasan atau soft power approach.

"Tidak bisa ditangani secara parsial. Kalau kita bicara BNPT maka kita bicara upaya hulu. Upaya pencegahan menjadi kuncinya. Upaya pencegahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang di-break down ke dalam PP Nomor 77 Tahun 2019, maka ada tiga yaitu kesiapsiagaan nasional, kemudian kontraradikalisasi, dan deradikalisasi," tegas Nurwahid saat berbincang dengan KORAN SINDO.

Penanganan dari hulu, kata Nurwahid, dimulai dari dua upaya. Pertama, upaya preemptive atau cegah dini yang dimulai dari imunisasi ideologi dengan menyasar mereka yang belum terpapar atau rentan atau potensi terpapar radikalisme. Kedua, moderasi beragama yang ditargetkan pada mereka yang sudah terpapar radikalisme pada level rendah karena faktor ada niat atau motif untuk radikal. (Lihat videonya: Banjir Bandang Terjang Desa Cicurug, Sukabumi)

"Jadi untuk moderasi beragama bisa menggunakan kontranarasi. Kita menggunakan tokoh-tokoh, menggunakan ulama-ulama yang moderat untuk melakukan kontranarasi atas narasi radikal terorisme menjadi narasi-narasi yang moderat. Kontranarasi juga dilakukan baik di media cetak, media elektronik, maupun media sosial," bebernya.

Mantan kabag banops Densus 88 Antiteror Mabes Polri ini mengungkapkan, langkah berikutnya kontraradikalisasi atau kontrapropaganda yang menyasar orang-orang yang sudah masuk dalam jaringan teror atau radikal tingkat tinggi tapi belum memenuhi unsur pidana untuk dilakukan tindakan hukum sesuai dengan UU Terorisme. Terakhir, bagi narapidana terorisme atau orang sudah melakukan aksi teror atau belum melakukan aksi teror tapi sudah bisa dijerat UU Terorisme, maka dilakukan deradikalisasi. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0997 seconds (0.1#10.140)