Platform Media Sosial, Sarana Pelanggengan Industri Kebencian?

Jum'at, 18 September 2020 - 09:51 WIB
loading...
Platform Media Sosial,...
Pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org, Dr Firman Kurniawan S. Foto/Istimewa
A A A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org

WALAUPUN
harusnya sudah terantisipasi, lewat banyaknya waktu yang saya gunakan untuk mengkaji digital dilemma, ada kerisauan yang dalam setelah menonton sebuah film yang dirilis Januari 2020 yang dapat diakses lewat layar Netflix, mulai 9 September 2020.

Film bergenre dokumenter drama ini berjudul The Social Dilemma. Sepanjang pengisahannya, tak hendak spoiler, film ini berisi pernyataan dengan ilutrasi dari para mantan pejabat pengembang platform global: Google, Twitter, Instagram, Facebook, Youtube, Apple, Firefox, NVIDIA, Pinterest. Pernyataan juga diberikan oleh akademisi informasi dan komunikasi dari Harvard University, Laboratoium Penelitian MIT, maupun jenius di bidang virtual reality, Jaron Zepel Lanier.

Lanier ini jika ditelusuri lebih dalam lewat Wikipedia adalah penulis filsafat komputer Amerika, ilmuwan komputer, seniman visual, dan komposer musik klasik kontemporer. Perannya sangat diakui dunia sebagai pengembang awal teknologi virtual reality.

Beberapa hal yang lahirkan rasa prihatin selepas selesaikan film ini, semua pengembang platform dalam realitasnya selalu menyempurnakan layanannya. Platform makin canggih dan membuat betah pemakainya. Ini harusnya jadi hal lazim di dunia layanan.

Penyempurnaan bertujuan mempertahankan loyalitas konsumen. Namun jadi paradoks manakala pencanggihan bertujuan mengintensifkan lahirnya adiksi dari para pengguna. Indikasi keberhasilannya, para pemilik akun bakal terus menambah dan menambah lagi, porsi waktu berelasi memanfaatkan perangkat komunikasi digitalnya.

Untuk keperluan ini, tak segan pengembang platform melibatkan ilmuwan terbaik yang memahami kondisi mental manusia, maupun ahli di bidang komunikasi persuasi.

Mekanismenya, produksi ketergantungan yang merangsang produksi kimia otak, dan berujung pada rasa nikmat yang mencandu. Pengalaman banyak orang, munculnya kenikmatan mencandu bersumber dari komen, like, repost, retwett, penambahan jumlah follower, subscriber, lahirnya trending topic maupun ramainya traffic, akibat unggahan sendiri maupun orang lain.

Banjirnya kimia otak yang nikmat ini, juga bersumber dari keterlibatan atas topik yang dikembangkan orang lain. Hingga tak jarang, seseorang menyediakan waktunya yang seakan tak terbatas, untuk bertikai, membela dan menangkis suatu pendapat, sampai ciptakan kelompok lovers maupun haters, atas suatu topik.

Dahsyatnya, implikasi pencanggihan platform, bukan hanya pada pemilik akun aktif yang memproduksi dan mendistribusi konten. Rekan saya yang hitungannya tak aktif unggah konten pun, punya jam konsumsi penggunaan platform yang tinggi. Tanpa sadar ia termanipulasi, menikmati unggahan sehari-hari teman-temannya dalam jejaring.

Bagaimana mungkin? Ia mengalami FOMO, fear of missing out, takut ketinggalan kabar perkembangan terbaru teman-teman jejaringnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3641 seconds (0.1#10.140)