Platform Media Sosial, Sarana Pelanggengan Industri Kebencian?

Jum'at, 18 September 2020 - 09:51 WIB
loading...
A A A
Lebih lanjut dalam pernyataan para mantan pejabat itu, nilai manfaat atas penjualan data yang terkumpul dari para pengguna platform, bukan jadi incaran. Sumber keuntungan model bisnisnya adalah iklan. Karenanya, ini kemudian dapat dipahami secara terpisah: saat terkuaknya skandal Cambridge Analytical (CA) yang semula diduga melibatkan Facebook, sang CEO Mark Zuckerberg di hadapan Kongres Amerika menjawab, tak tahu menahu dan tak merasa terlibat.

Skandal terjadi, manakala jutaan data pengguna Facebook di berbagai negara bocor: Digunakan, diolah dan dikarakterisasi tanpa sepengetahuan pemiliknya, untuk mengembangkan materi kampanye, oleh firma konsultan politik Cambridge Analytica. Tentu tujuannya memenangkan kandidat jagoan CA dalam pemilu yang melibatkan Donald Trump dan Hillary Clinton, waktu itu.

Dalam penegasan para mantan pejabat tersebut, penciptaan adiksi menghasilkan data yang makin berlimpah. Ini merupakan basis algoritma sebagai sumber model kecenderungan, preferensi masing-masing pengguna platform, terhadap konten yang hendak dikonsumsi.

Konten yang digemari berujung pada sisipan iklan yang sesuai dengan karakteristik mereka. Algoritma dengan basis data berlimpah jadi sarana penyempurnaan model terhadap rekomendasi konten yang digemari, maupun iklan yang “mengena”.

Ini kemudian, kembali dapat dipahami, terpisah: Struktur model bisnis yang mengeksploitasi pendapatan dari tambang iklan, tak peduli pada kualitas konten. Termasuk jika itu berarti, tak peduli pada perlindungan nilai-nilai dan keagungan budaya yang dianut masyarakat. Visi pengembang platform, berfokus pada kuantitas penggemar konten. Makin banyak penggemarnya, makin berhasil konten. Sesederhana itu.

Youtube, Facebook, Twitter, Instagram maupun Pinterest, dll, tak peduli adanya konten prank yang merugikan masyarakat, hoaks, disinformasi, maupun ujaran kebencian yang tersebar luas. Sepanjang penggemarnya banyak, konten didorong untuk terus diproduksi dan didistribusikan, lewat platform. Sebab saat konsumsi terjadi, sisipan iklan yang menggembungkan pundi-pundi pendapatan, terus berlangsung.

Sayang dalam realitasnya, ini semua belum tersentuh dan dapat ditapis lewat mekanisme negara. Harusnya lewat pengaturan dan pengawasan berbasis undang-undang, produksi dan distribusi konten buruk dapat dicegah.

Hari ini, konten yang bertentangan dengan kepentingan nilai-nilai yang dianut masyarakat, berseliweran bebas setiap menit lewat platform. Sementara pendapatan iklan terus dinikmati pengembang platform, banyak negara diambang segregasi sosial. Ini termasuk diakibatkan pertikaian tak berkesudahan, pasca pemilu yang telah lama berlangsung: Amerika, Indonesia, Brasil. Maupun pertikaian-pertikaian lain akibat terjebat dalam filter bubble dan echo chamber, yang didalangi algoritma.

Dalam The business of Hate Media: How Google and Facebook Make Online Harassment and Disinformation Both Possible and Profitable, Kris Shaffer, 2017 menyatakan hal senada.

“Ada jaringan besar platform dan arsitektur periklanan, yang membuat media kebencian jadi mungkin dan menguntungkan. Perusahaan platform global seperti Google dan Facebook berada di pusat jaringan itu. Perusahaan-perusahaan itu menyediakan sebagian besar sumber daya keuangan yang menopangnya. Ini membawa pada pemahaman, bagaimana kebencian-dan sepupu dekatnya, disinformasi- menyebar. Dengan memahami mekanismenya, berarti kita dapat memberikan tekanan pada orang yang tepat dan mengurangi kemampuan kelompok pembenci, untuk mengatur, mempublikasikan, dan memobilisasi kebencian secara online”.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1402 seconds (0.1#10.140)