PK Pintu Keluar Terpidana Korupsi
loading...
A
A
A
“Dengan kata lain, tren itu menunjukkan krisis kepekaan, krisis sensivitas dari hakim agung MA terhadap korupsi. Dampak korupsi itu tidak hanya hukum, tapi juga perekonomian, demokrasi, sosial, pemenuhan hak masyarakat, hingga dampak pelayanan publik," tegas Busyro.
Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah ini membeberkan, dampak merusak demokrasi paling tampak ketika pelaku korupsi adalah pejabat eksekutif dan legislatif. Namun, dia menyebutkan dampak yang paling besar adalah merusak sendi-sendi negara. Seharusnya hakim agung yang menangani perkara di tahap PK ataupun kasasi harus memperhatikan dampak-dampak tersebut.
“Itu yang tidak ditangkap oleh hakim agung. Jadi, hak-hak dasar masyarakat baik secara ekonomi, sosial, budaya, politik dirampas dan negara diperlemah karena korupsi itu. Ketika merusak demokrasi berarti merusak prinsip the rule of law, jadi merusak negara," ujarnya. (Baca juga: Perdamaian Israel-Bahrain Tak Bantu Palestina)
Mantan ketua Komisi Yudisial ini melanjutkan, ada tiga faktor penting mengapa MA melalui hakim agung acap memutus untuk memangkas pidana penjara bahkan membebaskan terpidana. Pertama, sumber daya manusia (SDM) individu hakim agung yang krisis integritas dan moralitas. Kedua, kultur lembaga peradilan khususnya MA sejak 2005 hingga kini masih berpikir konservatif dengan menyimpang dari fakta sebenarnya.
“Jadi, putusan itu ada penyelundupan atau istilah lainnya korupsi makna, terbaca di dalam putusannya. Misalnya makna tentang kasusnya, tafsir fakta yang disimpangkan. Kemudian ada tafsir peraturan perundang-undangan yang semestinya, tapi tafsirnya tidak seperti yang dimaksud tapi justru disesatkan," bebernya.
Faktor ketiga yakni ideologi dan metodologi. Maksudnya, bangunan hukum yang menjadi pegangan bagi hakim agung termasuk hakim tingkat pertama dan tingkat banding masih cenderung pada doktrin positivisme hukum yang legistis-positivistis. Bahkan, sumber hukum yang dipakai selalu saja hanya undang-undang, tanpa melihat dampak dari perbuatan koruptor maupun rasa keadilan masyarakat.
"Itu menjadi hambatan utama, faktor utama putusan hakim yang progresif, yang responsif. Sumber hukum undang-undang melulu, tidak ada kemampuan untuk melakukan penafsiran yang progresif, substansial, teleologis, sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri," ungkapnya.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menyatakan ada sekitar 20 terpidana yang hukuman vonisnya dipotong MA di tahap PK selama 2019-2020. Menurut dia, jumlah tersebut bisa saja bertambah karena proses inventarisasi perkara masih berlangsung. (Baca juga: Kenali Gejala Kanker Payudara Sejak Dini)
Yang terbaru adalah empat terpidana yang dipotong masa hukumannya. Mereka adalah mantan Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip, mantan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, Direktur Utama PT Sumber Swarnanusa Jeo Fandy Yoesman alias Asiang, dan mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB Musa Zainuddin. Jika dibandingkan dengan tuntutan JPU, pidana penjara empat orang tersebut sangat berbeda jauh.
"KPK prihatin karena kecenderungan pengurangan hukuman setiap pemohon PK menjadi angin segar bagi para koruptor. Di sisi lain, putusan tersebut tidak mendukung upaya pemerintah dalam perang melawan korupsi. Kami khawatir putusan seperti itu menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi," ungkap Ali.
Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah ini membeberkan, dampak merusak demokrasi paling tampak ketika pelaku korupsi adalah pejabat eksekutif dan legislatif. Namun, dia menyebutkan dampak yang paling besar adalah merusak sendi-sendi negara. Seharusnya hakim agung yang menangani perkara di tahap PK ataupun kasasi harus memperhatikan dampak-dampak tersebut.
“Itu yang tidak ditangkap oleh hakim agung. Jadi, hak-hak dasar masyarakat baik secara ekonomi, sosial, budaya, politik dirampas dan negara diperlemah karena korupsi itu. Ketika merusak demokrasi berarti merusak prinsip the rule of law, jadi merusak negara," ujarnya. (Baca juga: Perdamaian Israel-Bahrain Tak Bantu Palestina)
Mantan ketua Komisi Yudisial ini melanjutkan, ada tiga faktor penting mengapa MA melalui hakim agung acap memutus untuk memangkas pidana penjara bahkan membebaskan terpidana. Pertama, sumber daya manusia (SDM) individu hakim agung yang krisis integritas dan moralitas. Kedua, kultur lembaga peradilan khususnya MA sejak 2005 hingga kini masih berpikir konservatif dengan menyimpang dari fakta sebenarnya.
“Jadi, putusan itu ada penyelundupan atau istilah lainnya korupsi makna, terbaca di dalam putusannya. Misalnya makna tentang kasusnya, tafsir fakta yang disimpangkan. Kemudian ada tafsir peraturan perundang-undangan yang semestinya, tapi tafsirnya tidak seperti yang dimaksud tapi justru disesatkan," bebernya.
Faktor ketiga yakni ideologi dan metodologi. Maksudnya, bangunan hukum yang menjadi pegangan bagi hakim agung termasuk hakim tingkat pertama dan tingkat banding masih cenderung pada doktrin positivisme hukum yang legistis-positivistis. Bahkan, sumber hukum yang dipakai selalu saja hanya undang-undang, tanpa melihat dampak dari perbuatan koruptor maupun rasa keadilan masyarakat.
"Itu menjadi hambatan utama, faktor utama putusan hakim yang progresif, yang responsif. Sumber hukum undang-undang melulu, tidak ada kemampuan untuk melakukan penafsiran yang progresif, substansial, teleologis, sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri," ungkapnya.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri menyatakan ada sekitar 20 terpidana yang hukuman vonisnya dipotong MA di tahap PK selama 2019-2020. Menurut dia, jumlah tersebut bisa saja bertambah karena proses inventarisasi perkara masih berlangsung. (Baca juga: Kenali Gejala Kanker Payudara Sejak Dini)
Yang terbaru adalah empat terpidana yang dipotong masa hukumannya. Mereka adalah mantan Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip, mantan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, Direktur Utama PT Sumber Swarnanusa Jeo Fandy Yoesman alias Asiang, dan mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB Musa Zainuddin. Jika dibandingkan dengan tuntutan JPU, pidana penjara empat orang tersebut sangat berbeda jauh.
"KPK prihatin karena kecenderungan pengurangan hukuman setiap pemohon PK menjadi angin segar bagi para koruptor. Di sisi lain, putusan tersebut tidak mendukung upaya pemerintah dalam perang melawan korupsi. Kami khawatir putusan seperti itu menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi," ungkap Ali.