Antisipasi Teror di Masa Pendemi Covid-19
loading...
A
A
A
Ferdinand T. Andi Lolo
(Pengajar Departemen Kriminologi Universitas Indonesia)
Akhir April 2020, angka penderita positif Covid-19 terus menanjak hingga mendekati angka 10.000. Ketika semua perhatian tertuju kepada pandemi yang menimbulkan gejolak ekonomi dan tekanan sosial bagi semua lapisan masyarakat, kita tidak boleh lupa untuk tetap waspada terhadap berbagai ancaman yang lain.
Ancaman yang dimaksud adalah aksi terorisme. Ketika banyak kegiatan mulai dari belajar, bekerja, aktivitas olahraga dan seni hingga perdagangan berhenti atau berkurang secara signifikan, aksi-aksi teror tidak menunjukkan gencatan.
Pada Maret lalu terjadi berbagai serangan teror di Afghanistan dan Irak, Boko Haram menewaskan ratusan aparat keamanan di Chad dan Nigeria. Kemudian April gelombang serangan teror terjadi di Mozambik, Mali dan Maladewa. Dalam negeri sendiri berbagai aksi teror berhasil diungkap dan direspons aparat di tengah-tengah pemerintah dan masyarakat melakukan segala daya upaya untuk menahan laju pandemi ini.
Sasaran klasik kelompok teror adalah tempat-tempat yang masuk ke dalam ranah publik dengan akses yang relatif mudah serta sarana berkumpulnya warga. Sasaran sipil dengan tingkat keamanan yang relatif rendah (sering disebut sebagai soft targets atau vulnerable targets) dipilih karena profilnya cocok dengan tujuan terorisme yaitu memaksimalkan korban serta menciptakan publisitas.
Kombinasi korban dan publisitas diharapkan oleh kelompok teror memicu ketakutan massal sehingga menimbulkan keresahan sosial akibat hilangnya rasa aman dan timbulnya rasa tidak percaya kepada pemerintah. Pada akhirnya kelompok teror dapat memaksakan konsesi-konsesi dari otoritas untuk mewujudkan ide-ide intoleransi mereka.
Dalam konteks pemilihan sasaran, upaya pemerintah melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan disinsentif bagi kelompok teror. Office of Counter Terrorism Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengidentifikasi beberapa tempat sebagai sasaran teror yang rentan. Di antaranya tempat kegiatan peribadatan, olahraga skala besar, pusat kegiatan kaum urban dan tempat rekreasi.
PSBB melarang atau membatasi berkumpulnya massa di tempat-tempat tersebut sebagai implementasi jarak fisik dan jarak sosial untuk memutus rantai penyebaran pandemi. Margareth Thatcher (perdana menteri Inggris 1979-1990) pernah menyatakan bahwa “media publicity is the oxygen for terrorism”. Jika teroris menjalankan aksinya di tempat-tempat publik yang kosong tentu tidak menarik untuk diberitakan sehingga tujuan aksi itu tidak tercapai karena aksi dan publisitas oleh media tidak terkolaborasi.
Dalam konteks pendanaan dan rekrutmen PSBB yang implementasinya termasuk pembatasan pergerakan orang juga berdampak buruk bagi kelompok teror. Pendanaan aksi teror sedikit banyak tergantung pada kontribusi finansial dari para pendukung atau simpatisan yang seideologi.
Dalam situasi dimana sektor ekonomi terguncang hebat sehingga berimbas pada turunnya penghasilan atau bahkan kehilangan pekerjaan hingga pada titik orang-orang hanya bertahan hidup atau bahkan hanya bergantung pada bantuan sosial dari pemerintah atau anggota masyarakat lain yang baik (good Samaritan). Para donatur aksi teror tentu mengalami hal yang sama sehingga kontribusinya berkurang secara signifikan.
Hal ini menyulitkan kelompok teror untuk melakukan operasi skala besar karena keterbatasan dana. Adanya pembatasan fisik dapat juga berimbas pada rekrutmen langsung. Larangan berkumpul membuat kegiatan- kegiatan indoktrinasi sangat sulit dilakukan. Apalagi jika kegiatan itu mendatangkan orang-orang dari luar wilayah, yang dapat dengan mudah dideteksi oleh aparat dan lingkungan sekitar yang khawatir dengan masuknya pendatang ke pemukiman mereka.
Namun, dengan berbagai tantangan dan hambatan tersebut aparat dan masyarakat tidak bisa terlena. Keliru jika berasumsi serangan teror akan ‘beristirahat’ selama masa pandemi. Teroris adalah militan yang memiliki kualitas seperti ketahanan (resilient) dan ketabahan (persistent) serta fleksibilitas menghadapi situasi yang tidak menguntungkan mereka.
Mereka akan dengan kreatif (resourceful) menggunakan segala medium yang masih tersedia untuk melanjutkan aksi-aksi dan akan mampu bermutasi dan beradaptasi dengan situasi yang belum ada presedennya seperti saat ini. Kualitas seperti inilah yang perlu diantisipasi aparat dan masyarakat, karena kita dihadapkan oleh musuh yang memiliki keyakinan kuat dan akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keyakinanya itu walaupun hal itu jelas keliru. Mereka dapat segera beradaptasi dengan menguba metode penyerangan.
Ada kemungkinan kelompok teror atau simpatisannya akan beralih dari serangan skala besar ke serangan dengan metode low tech – high impact seperti serangan lone wolf yang bermodalkan pisau atau menabrakkan mobil ke pejalan kaki seperti yang telah dilakukan di Inggris, Perancis, Jerman dan beberapa negara Eropa lain. Di Indonesia serangan lone wolf sudah beberapa kali dilakukman diberbagai tempat. Misalnya di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan yang terbaru adalah penyerangan di Polrestabes Medan, Sumatra Utara.
Kelompok teror dapat mengintensifkan indoktrinasi dan rekrutmen melalui video-video dan berita hoaks yang disebarkan melalui jaringan mereka untuk menginspirasi simpatisan atau pengikut mereka melakukan serangan individual. Serangan dengan model ini sulit dideteksi karena penyerangnya tidak melibatkan banyak orang dengan persiapan yang tidak serumit dibanding bila merencanakan penyerangan skala besar.
Kelompok teror juga mungkin akan lebih aktif mengekploitasi sentimen sekelompok masyarakat terhadap kebijakan pemerintah melalui upaya mendiksreditkan pemerintah melalui media sosial untuk memicu kebencian kolektif. Menyebarkan informasi bohong tentang virus corona yang merupakan instrument pembalasan Yang Maha Kuasa terhadap pemerintah yang menindas warganya dengan melarang kegiatan ibadah dan merusak tradisi masyarakat untuk silaturahmi. Probabilitas anggota masyarakat yang termakan indoktrinasi keliru ini kemungkinan lebih besar karena mereka sekarang punya lebih banyak waktu untuk mengakses media sosial akibat berkurangnya kegiatan yang lain.
Kemungkinan lain yang juga mengkhawatirkan adalah kelompok teror menggunakan anggotanya atau simpatisannya yang telah terinfeksi Covid-19 sebagai alat penyebar virus ini kepada target kelompok tertentu dalam masyarakat. Berita yang menyebutkan bahwa 51 tenaga medis di RSUD Bogor terinfeksi Covid-19 yang diduga ditularkan oleh orang tanpa gejala (OTG) yang tidak dikenal dan dapat mengakses dengan mudah fasilitas di rumah sakit tersebut dan berinteraksi dengan staf-staf disana.
Jika hal itu memberikan ide kepada kelompok teror untuk melakukan hal yang sama maka staf medis di lini terdepan menjadi sangat berisiko menjadi korban. The Australian Strategic Policy Institute mengungkapkan hal ini pada 15 April 2020. Berdasarkan percakapan di aplikasi Telegram, beberapa kelompok teror sudah membahas kemungkinan melakukan metode serangan biologi dengan menggunakan orang yang merupakan pembawa (carrier) sebagai penyebarnya.
Aparat dan anggota masyarakat tidak boleh lengah, teror tidak akan berhenti hanya karena pandemi. Yang ada adalah pola teror yang mungkin berubah dengan memanfaatkan situasi kedaruratan akibat Covid-19.
(Pengajar Departemen Kriminologi Universitas Indonesia)
Akhir April 2020, angka penderita positif Covid-19 terus menanjak hingga mendekati angka 10.000. Ketika semua perhatian tertuju kepada pandemi yang menimbulkan gejolak ekonomi dan tekanan sosial bagi semua lapisan masyarakat, kita tidak boleh lupa untuk tetap waspada terhadap berbagai ancaman yang lain.
Ancaman yang dimaksud adalah aksi terorisme. Ketika banyak kegiatan mulai dari belajar, bekerja, aktivitas olahraga dan seni hingga perdagangan berhenti atau berkurang secara signifikan, aksi-aksi teror tidak menunjukkan gencatan.
Pada Maret lalu terjadi berbagai serangan teror di Afghanistan dan Irak, Boko Haram menewaskan ratusan aparat keamanan di Chad dan Nigeria. Kemudian April gelombang serangan teror terjadi di Mozambik, Mali dan Maladewa. Dalam negeri sendiri berbagai aksi teror berhasil diungkap dan direspons aparat di tengah-tengah pemerintah dan masyarakat melakukan segala daya upaya untuk menahan laju pandemi ini.
Sasaran klasik kelompok teror adalah tempat-tempat yang masuk ke dalam ranah publik dengan akses yang relatif mudah serta sarana berkumpulnya warga. Sasaran sipil dengan tingkat keamanan yang relatif rendah (sering disebut sebagai soft targets atau vulnerable targets) dipilih karena profilnya cocok dengan tujuan terorisme yaitu memaksimalkan korban serta menciptakan publisitas.
Kombinasi korban dan publisitas diharapkan oleh kelompok teror memicu ketakutan massal sehingga menimbulkan keresahan sosial akibat hilangnya rasa aman dan timbulnya rasa tidak percaya kepada pemerintah. Pada akhirnya kelompok teror dapat memaksakan konsesi-konsesi dari otoritas untuk mewujudkan ide-ide intoleransi mereka.
Dalam konteks pemilihan sasaran, upaya pemerintah melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan disinsentif bagi kelompok teror. Office of Counter Terrorism Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengidentifikasi beberapa tempat sebagai sasaran teror yang rentan. Di antaranya tempat kegiatan peribadatan, olahraga skala besar, pusat kegiatan kaum urban dan tempat rekreasi.
PSBB melarang atau membatasi berkumpulnya massa di tempat-tempat tersebut sebagai implementasi jarak fisik dan jarak sosial untuk memutus rantai penyebaran pandemi. Margareth Thatcher (perdana menteri Inggris 1979-1990) pernah menyatakan bahwa “media publicity is the oxygen for terrorism”. Jika teroris menjalankan aksinya di tempat-tempat publik yang kosong tentu tidak menarik untuk diberitakan sehingga tujuan aksi itu tidak tercapai karena aksi dan publisitas oleh media tidak terkolaborasi.
Dalam konteks pendanaan dan rekrutmen PSBB yang implementasinya termasuk pembatasan pergerakan orang juga berdampak buruk bagi kelompok teror. Pendanaan aksi teror sedikit banyak tergantung pada kontribusi finansial dari para pendukung atau simpatisan yang seideologi.
Dalam situasi dimana sektor ekonomi terguncang hebat sehingga berimbas pada turunnya penghasilan atau bahkan kehilangan pekerjaan hingga pada titik orang-orang hanya bertahan hidup atau bahkan hanya bergantung pada bantuan sosial dari pemerintah atau anggota masyarakat lain yang baik (good Samaritan). Para donatur aksi teror tentu mengalami hal yang sama sehingga kontribusinya berkurang secara signifikan.
Hal ini menyulitkan kelompok teror untuk melakukan operasi skala besar karena keterbatasan dana. Adanya pembatasan fisik dapat juga berimbas pada rekrutmen langsung. Larangan berkumpul membuat kegiatan- kegiatan indoktrinasi sangat sulit dilakukan. Apalagi jika kegiatan itu mendatangkan orang-orang dari luar wilayah, yang dapat dengan mudah dideteksi oleh aparat dan lingkungan sekitar yang khawatir dengan masuknya pendatang ke pemukiman mereka.
Namun, dengan berbagai tantangan dan hambatan tersebut aparat dan masyarakat tidak bisa terlena. Keliru jika berasumsi serangan teror akan ‘beristirahat’ selama masa pandemi. Teroris adalah militan yang memiliki kualitas seperti ketahanan (resilient) dan ketabahan (persistent) serta fleksibilitas menghadapi situasi yang tidak menguntungkan mereka.
Mereka akan dengan kreatif (resourceful) menggunakan segala medium yang masih tersedia untuk melanjutkan aksi-aksi dan akan mampu bermutasi dan beradaptasi dengan situasi yang belum ada presedennya seperti saat ini. Kualitas seperti inilah yang perlu diantisipasi aparat dan masyarakat, karena kita dihadapkan oleh musuh yang memiliki keyakinan kuat dan akan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keyakinanya itu walaupun hal itu jelas keliru. Mereka dapat segera beradaptasi dengan menguba metode penyerangan.
Ada kemungkinan kelompok teror atau simpatisannya akan beralih dari serangan skala besar ke serangan dengan metode low tech – high impact seperti serangan lone wolf yang bermodalkan pisau atau menabrakkan mobil ke pejalan kaki seperti yang telah dilakukan di Inggris, Perancis, Jerman dan beberapa negara Eropa lain. Di Indonesia serangan lone wolf sudah beberapa kali dilakukman diberbagai tempat. Misalnya di Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan yang terbaru adalah penyerangan di Polrestabes Medan, Sumatra Utara.
Kelompok teror dapat mengintensifkan indoktrinasi dan rekrutmen melalui video-video dan berita hoaks yang disebarkan melalui jaringan mereka untuk menginspirasi simpatisan atau pengikut mereka melakukan serangan individual. Serangan dengan model ini sulit dideteksi karena penyerangnya tidak melibatkan banyak orang dengan persiapan yang tidak serumit dibanding bila merencanakan penyerangan skala besar.
Kelompok teror juga mungkin akan lebih aktif mengekploitasi sentimen sekelompok masyarakat terhadap kebijakan pemerintah melalui upaya mendiksreditkan pemerintah melalui media sosial untuk memicu kebencian kolektif. Menyebarkan informasi bohong tentang virus corona yang merupakan instrument pembalasan Yang Maha Kuasa terhadap pemerintah yang menindas warganya dengan melarang kegiatan ibadah dan merusak tradisi masyarakat untuk silaturahmi. Probabilitas anggota masyarakat yang termakan indoktrinasi keliru ini kemungkinan lebih besar karena mereka sekarang punya lebih banyak waktu untuk mengakses media sosial akibat berkurangnya kegiatan yang lain.
Kemungkinan lain yang juga mengkhawatirkan adalah kelompok teror menggunakan anggotanya atau simpatisannya yang telah terinfeksi Covid-19 sebagai alat penyebar virus ini kepada target kelompok tertentu dalam masyarakat. Berita yang menyebutkan bahwa 51 tenaga medis di RSUD Bogor terinfeksi Covid-19 yang diduga ditularkan oleh orang tanpa gejala (OTG) yang tidak dikenal dan dapat mengakses dengan mudah fasilitas di rumah sakit tersebut dan berinteraksi dengan staf-staf disana.
Jika hal itu memberikan ide kepada kelompok teror untuk melakukan hal yang sama maka staf medis di lini terdepan menjadi sangat berisiko menjadi korban. The Australian Strategic Policy Institute mengungkapkan hal ini pada 15 April 2020. Berdasarkan percakapan di aplikasi Telegram, beberapa kelompok teror sudah membahas kemungkinan melakukan metode serangan biologi dengan menggunakan orang yang merupakan pembawa (carrier) sebagai penyebarnya.
Aparat dan anggota masyarakat tidak boleh lengah, teror tidak akan berhenti hanya karena pandemi. Yang ada adalah pola teror yang mungkin berubah dengan memanfaatkan situasi kedaruratan akibat Covid-19.
(ysw)