Antara Pragmatisme Hukum dan Pragmatisme Politik
loading...

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A
A
A
Romli Atmasasmita
KEBENARAN dari segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang diberikannya. Sesuatu hal ini dinilai dari kebergunaannya (wikipedia). Itulah pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pada manfaat serta kegunaan praktis dari pengetahuan. Merujuk pada definisi dan pengertian dari sudut makna tata bahasa, pragmatisme adalah paham/aliran yang mengutamakan kegunaan/kemanfatan ilmu pengetahuan; begitu pula dalam bidang ilmu hukum dan ilmu politik . Pertanyaan apakah pragmatisme suatu kekeliruan, khususnya dalam bidang hukum yang masih memiliki idealisme atau cita hukum yang sering diucapkan, kepastian, dan akan tetapi hampir jarang membicarakan kemanfaatan dari adanya hukum di tengah kehidupan masyarkat.
Hal ini disebabkan pengaruh aliran/paham positivisme yang mengutamakan das sollen tetapi abai terhadap kenyataaan (das sein) yang terjadi di dalam bekerjanya hukum sehingga pemikiran tentang hukum terkooptasi oleh das sollen (yang dicita-citakan), bukan sejatinya kemanfaatan yang dapat diberikan hukum -realita- di dalam fungsinya mengatur ketertiban masyarakat dan menciptakan kepastian hukum.
Pendalaman aspek filsafat dan aspek sejarah perkembangannya terutama mengenai relasi filsafat ilmu dan pengetahuan hukum yang secara teoritik hanya diajarkan satu semester saja dari tujuh semester yang merupakan program studi ilmu hukum. Sedangkan praktik hukum di dalam kehidupan sehari-hari mengajarkan kepada kita semua bahwa terdapat kekeliruan bahkan kesesatan nalar logis di dalam membaca dan menafsirkan norma hukum (undang-undang) hanya karena tanpa melihat realita bekerjanya hukum sehari-hari yang dijalankan oleh manusia sebagai penyidik, penuntut, ataupun hakim.
Ambil contoh satu kasus mengenai pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, menyatakan, "Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah."
Merujuk ketentuan Pasal 362 KUHP, setiap orang dipastikan terutama ahli hukum dan mahasiwa fakultas hukum memahami bahwa, perbuatan mencuri barang orang lain dengan maksud untuk dimiliki tanpa persetujuan pemilik barang tersebut adalah dilarang dan dapat diancam hukuman setinggi-tingginya 5 (lima) tahun. Dalam praktik terdapat peristiwa pencurian buah kakao ogian yang dilakukan seorang nenek tua yang mencuri lima buah kakao dari kebun seorang kaya dan dilaporkan pidana dan dilanjutkan penuntutan dan telah dijatuhi hukuman pidana percobaan. Sedangkan selama proses sidang, si nenek tua tidak punya ongkos untuk mengikuti sidang. Ternyata jaksa penuntut yang membayar ongkos jalan nenek tanpa dipertimbangkan pencurian oleh nenek tersebut.
Pola pembacaan norma undang-undang tersebut jelas mengikuti paham positivisme hukum yang telah diajarkan sejak semester III fakultas hukum. Dalam konteks ini maka hukum ditafsirkan sebagai norma statis dan tidak dipertimbangkan bahwa hukum selalu dinamis mengikuti perkembangan masyarakat.
Contoh terkini praktik penegakan hukum peristiwa yang diduga tindak pidana korupsi . Praktik menunjukkan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tidak jarang terjadi terhadap kerugian keuangan negara atau kerusakan lingkungan yang telah ditemukan dalam proyek-proyek pemerintah dalam bidang infrastruktur dan sumber daya alam dengan pertimbangan telah ditemukan adanya kerugian negara; yang dinilai dari peristiwa tersebut adalah telah ditemukan bukti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara vide Pasal 2 dan Pasal 3UU Tipikor Tahun 1999.
Sedangkan kerap terjadi aspek perbuatan pidana yang disyaratakan dalam kedua pasal tersebut adalah harus terbukti lebih dulu telah ada bukti permulaan yang cukup; tidak hanya harus adanya akibat dari perbuatan pidana. Dalam praktik sering terjadi akibat perbuatan telah ditemukan BPK/BPKP, akan tetapi aspek perbuatan pidana belum ditemukan. Dalam hal ini seharusnya penyidik harus mengkaji perstiwa tersebut secara teliti: apakah wilayah peristiwanya termasuk kewenangan UU Tipikor, dengan sendirinya wewenang penyidikan dan penuntutan penyidik tindak pidana khusus; apakah peristiwa tersebut termasuk proyek pemerintah yang bertujuan meningkatkan perekonomian Indonesia; apakah akibat temuan kerugian keuangan negara merupakan syarat absolut suatu tindak pidana korupsi; apakah di dalam UU Tipikor tidak diatur ketentuan khusus pengecualian dari apa yang dicantumkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa, (1) peristiwa yang diduga tipikor yang tidak dapat diberlakukan Pasal 2 dan Pasal 3 seharusnya digunakan sarana hukum alternatif yaitu melakukan gugatan keperdataan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor; yang menggunakan gugatan keperdataan sebagai alternatif di mana negara melalui kejaksaan masih dapat dan mampu melakukan tugas tersebut melalui jaksa pengacara negara.
Ketentuan alternatif Pasal 2 dan Pasal 3 UU aquo tidak pernah dipertimbangkan sehingga penegakan sarana hukum pidana telah mengakibatkan kerugian negara yang lebih besar daripada kerugian yang terjadi akibat kelalaian pelaksana penyelenggara negara. Hal sedemikian mengakibatkan proyek pemerintah nasional yang bersifat strategis macet dan negara telah mengalami kerugian yang signifikan antara lain, anggaran proyek dengan nilai signifikan tidak dapat terserap dan dipastikan negara mengalami kerugian yang lebih besar yang tidak sebanding dengan kerugian negara karena dipaksakan dilakukan penuntutan dan lanjut penjatuhan hukuman.
Di sisi lain, tujuan UU Tipikor untuk mengembalikan kerugian negara tidak pernah tercapai. Efek samping negatif lain, adalah berkurangnya kepercayaan publik nasional dan internasional terutama investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Berkaca dari peristiwa sebagaimana diuraikan di atas, benarlah apa yang dikemukakan alm Prof Mochtar Kusumaatmadja bahwa cara pandang terhadap hukum yang benar adalah norma hukum bersifat dinamis, tidak lagi statis, karena hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat ke arah lebih maju/berkembang dari sebelumnya; hukum memberikan arah dan petunjuk agar hukum dapat menempatkan manusia pada tempat yang layak bagi kehidupannya.
KEBENARAN dari segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang diberikannya. Sesuatu hal ini dinilai dari kebergunaannya (wikipedia). Itulah pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pada manfaat serta kegunaan praktis dari pengetahuan. Merujuk pada definisi dan pengertian dari sudut makna tata bahasa, pragmatisme adalah paham/aliran yang mengutamakan kegunaan/kemanfatan ilmu pengetahuan; begitu pula dalam bidang ilmu hukum dan ilmu politik . Pertanyaan apakah pragmatisme suatu kekeliruan, khususnya dalam bidang hukum yang masih memiliki idealisme atau cita hukum yang sering diucapkan, kepastian, dan akan tetapi hampir jarang membicarakan kemanfaatan dari adanya hukum di tengah kehidupan masyarkat.
Hal ini disebabkan pengaruh aliran/paham positivisme yang mengutamakan das sollen tetapi abai terhadap kenyataaan (das sein) yang terjadi di dalam bekerjanya hukum sehingga pemikiran tentang hukum terkooptasi oleh das sollen (yang dicita-citakan), bukan sejatinya kemanfaatan yang dapat diberikan hukum -realita- di dalam fungsinya mengatur ketertiban masyarakat dan menciptakan kepastian hukum.
Pendalaman aspek filsafat dan aspek sejarah perkembangannya terutama mengenai relasi filsafat ilmu dan pengetahuan hukum yang secara teoritik hanya diajarkan satu semester saja dari tujuh semester yang merupakan program studi ilmu hukum. Sedangkan praktik hukum di dalam kehidupan sehari-hari mengajarkan kepada kita semua bahwa terdapat kekeliruan bahkan kesesatan nalar logis di dalam membaca dan menafsirkan norma hukum (undang-undang) hanya karena tanpa melihat realita bekerjanya hukum sehari-hari yang dijalankan oleh manusia sebagai penyidik, penuntut, ataupun hakim.
Ambil contoh satu kasus mengenai pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, menyatakan, "Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah."
Merujuk ketentuan Pasal 362 KUHP, setiap orang dipastikan terutama ahli hukum dan mahasiwa fakultas hukum memahami bahwa, perbuatan mencuri barang orang lain dengan maksud untuk dimiliki tanpa persetujuan pemilik barang tersebut adalah dilarang dan dapat diancam hukuman setinggi-tingginya 5 (lima) tahun. Dalam praktik terdapat peristiwa pencurian buah kakao ogian yang dilakukan seorang nenek tua yang mencuri lima buah kakao dari kebun seorang kaya dan dilaporkan pidana dan dilanjutkan penuntutan dan telah dijatuhi hukuman pidana percobaan. Sedangkan selama proses sidang, si nenek tua tidak punya ongkos untuk mengikuti sidang. Ternyata jaksa penuntut yang membayar ongkos jalan nenek tanpa dipertimbangkan pencurian oleh nenek tersebut.
Baca Juga :
Moralitas Hukum Pidana
Pola pembacaan norma undang-undang tersebut jelas mengikuti paham positivisme hukum yang telah diajarkan sejak semester III fakultas hukum. Dalam konteks ini maka hukum ditafsirkan sebagai norma statis dan tidak dipertimbangkan bahwa hukum selalu dinamis mengikuti perkembangan masyarakat.
Contoh terkini praktik penegakan hukum peristiwa yang diduga tindak pidana korupsi . Praktik menunjukkan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tidak jarang terjadi terhadap kerugian keuangan negara atau kerusakan lingkungan yang telah ditemukan dalam proyek-proyek pemerintah dalam bidang infrastruktur dan sumber daya alam dengan pertimbangan telah ditemukan adanya kerugian negara; yang dinilai dari peristiwa tersebut adalah telah ditemukan bukti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara vide Pasal 2 dan Pasal 3UU Tipikor Tahun 1999.
Sedangkan kerap terjadi aspek perbuatan pidana yang disyaratakan dalam kedua pasal tersebut adalah harus terbukti lebih dulu telah ada bukti permulaan yang cukup; tidak hanya harus adanya akibat dari perbuatan pidana. Dalam praktik sering terjadi akibat perbuatan telah ditemukan BPK/BPKP, akan tetapi aspek perbuatan pidana belum ditemukan. Dalam hal ini seharusnya penyidik harus mengkaji perstiwa tersebut secara teliti: apakah wilayah peristiwanya termasuk kewenangan UU Tipikor, dengan sendirinya wewenang penyidikan dan penuntutan penyidik tindak pidana khusus; apakah peristiwa tersebut termasuk proyek pemerintah yang bertujuan meningkatkan perekonomian Indonesia; apakah akibat temuan kerugian keuangan negara merupakan syarat absolut suatu tindak pidana korupsi; apakah di dalam UU Tipikor tidak diatur ketentuan khusus pengecualian dari apa yang dicantumkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa, (1) peristiwa yang diduga tipikor yang tidak dapat diberlakukan Pasal 2 dan Pasal 3 seharusnya digunakan sarana hukum alternatif yaitu melakukan gugatan keperdataan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor; yang menggunakan gugatan keperdataan sebagai alternatif di mana negara melalui kejaksaan masih dapat dan mampu melakukan tugas tersebut melalui jaksa pengacara negara.
Ketentuan alternatif Pasal 2 dan Pasal 3 UU aquo tidak pernah dipertimbangkan sehingga penegakan sarana hukum pidana telah mengakibatkan kerugian negara yang lebih besar daripada kerugian yang terjadi akibat kelalaian pelaksana penyelenggara negara. Hal sedemikian mengakibatkan proyek pemerintah nasional yang bersifat strategis macet dan negara telah mengalami kerugian yang signifikan antara lain, anggaran proyek dengan nilai signifikan tidak dapat terserap dan dipastikan negara mengalami kerugian yang lebih besar yang tidak sebanding dengan kerugian negara karena dipaksakan dilakukan penuntutan dan lanjut penjatuhan hukuman.
Di sisi lain, tujuan UU Tipikor untuk mengembalikan kerugian negara tidak pernah tercapai. Efek samping negatif lain, adalah berkurangnya kepercayaan publik nasional dan internasional terutama investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Berkaca dari peristiwa sebagaimana diuraikan di atas, benarlah apa yang dikemukakan alm Prof Mochtar Kusumaatmadja bahwa cara pandang terhadap hukum yang benar adalah norma hukum bersifat dinamis, tidak lagi statis, karena hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat ke arah lebih maju/berkembang dari sebelumnya; hukum memberikan arah dan petunjuk agar hukum dapat menempatkan manusia pada tempat yang layak bagi kehidupannya.
(zik)
Lihat Juga :