Saudi Tangguhkan Umrah, Pemerintah Didesak Segera Bentuk Crisis Centre
A
A
A
JAKARTA - Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj mendesak pemerintah segera membentuk crisis centre (pusat krisis) untuk ibadah umrah pasca dikeluarkannya kebijakan penangguhan pelaksanaan ibadah tersebut sebagai upaya mencegah penyebaran virus corona oleh pemerintah Arab Saudi. Pasalnya, hingga saat ini masih belum ada tanda-tanda kapan kebijakan tersebut akan berakhir. (Baca juga: Tertunda ke Tanah Suci, Calon Jamaah Umrah Bebas Biaya Tambahan)
Menurut dia, pemberhentian sementara ini mengakibatkan ribuan jamaah umrah dari berbagai daerah di Tanah Air terpaksa harus mengurungkan niatnya berangkat ke Tanah Suci. ”Belum lagi jemaah yang punya jadwal pemberangkatan beberapa waktu mendatang. Pada saat yang sama, Bulan Suci Ramadan juga sudah semakin dekat di mana antusiasme dan minat umat muslim Tanah Air menjalankan umrah cukup tinggi, sehingga perlu ada langkah-langkah terukur untuk segera dilakukan,” ungkap Mustolih dalam siaran pers yang diterima SINDOnews (1/3/2020).
Dalam ketidakpastian seperti sekarang ini, sudah saatnya bagi pemerintah membentuk pusat krisis yang terdiri atas lintas kementerian dan lembaga. Mustolih mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) dapat bertindak sebagai leading sector, yang dibarengi dengan koordinasi bersama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta organisasi penyelenggara jasa umrah. (Baca juga: Arab Saudi Tangguhkan Umrah, Pemerintah RI Diminta Penuhi Hak Jamaah)
Pusat krisis ini, tambah Mustolih nantinya berfungsi sebagai pusat informasi untuk memantau dinamika kebijakan terkait dengan ibadah umrah. “Tak hanya itu, pusat krisis ini juga memiliki fungsi untuk memantau perkembangan yang terjadi di Arab Saudi, mendata dan menghimpun informasi jemaah umrah dari berbagai travel yang terindikasi batal berangkat ibadah umrah. Sekaligus sebagai pusat penyebaran dan pusat kontak informasi jemaah dalam melakukan pengaduan untuk menghindari serta meminimalisasi agar kabar yang diterima tidak simpang siur,” jelasnya.
Persoalan pembatalan keberangkatan umrah ini, tambah Mustolih seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai persoalan untung rugi bisnis semata, tetapi yang lebih diprioritaskan adalah menyangkut keselamatan jiwa ribuan jemaah umrah dari ancaman virus corona yang mematikan. “Meski pemerintah sampai hari ini bersikeras menyatakan bebas corona, tetapi tidak ada salahnya meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi.”
Pusat krisis ini, kata Mustolih juga bisa memiliki fungsi lain seperti memfasilitasi jemaah yang ingin melakukan pembatalan, meminta pengembalian biaya (refund), ataupun terkait dengan penjadwalan ulang (reschedule) bila situasinya sudah aman dan kondusif. “Juga dapat berfungsi sebagai wadah bagi pemerintah untuk merumuskan standard operating procedure (SOP) bila ada kondisi darurat, untuk memfasilitasi jemaah umrah yang sudah terlanjur terbang ke Tanah Suci, tetapi mengalami persoalan kesehatan maupun kendala lain di negara transit,” tegasnya.
Selain itu juga dapat menjadi sarana pertukaran data maupun informasi bagi penyelenggara jasa umrah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam merespons berbagai keluhan dan persoalan yang mereka hadapi, termasuk merespons aspirasi dari jemaah. Untuk itulah pusat krisis ini, tegas Mustolih diperlukan agar informasi yang disampaikan kepada publik dapat divalidasi kebenaran dan keakuratannya, apalagi hal ini menyangkut hak masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Model crisis centre semacam ini pernah dibentuk oleh pemerintah ketika terjadi gagal berangkatnya ribuan jemaah First Travel beberapa waktu lalu, dengan melibatkan Kemenag, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bareskrim Mabes Polri. Saat itu model ini cukup membantu dan efektif,” kata Mustolih.
Menurut dia, pemberhentian sementara ini mengakibatkan ribuan jamaah umrah dari berbagai daerah di Tanah Air terpaksa harus mengurungkan niatnya berangkat ke Tanah Suci. ”Belum lagi jemaah yang punya jadwal pemberangkatan beberapa waktu mendatang. Pada saat yang sama, Bulan Suci Ramadan juga sudah semakin dekat di mana antusiasme dan minat umat muslim Tanah Air menjalankan umrah cukup tinggi, sehingga perlu ada langkah-langkah terukur untuk segera dilakukan,” ungkap Mustolih dalam siaran pers yang diterima SINDOnews (1/3/2020).
Dalam ketidakpastian seperti sekarang ini, sudah saatnya bagi pemerintah membentuk pusat krisis yang terdiri atas lintas kementerian dan lembaga. Mustolih mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) dapat bertindak sebagai leading sector, yang dibarengi dengan koordinasi bersama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta organisasi penyelenggara jasa umrah. (Baca juga: Arab Saudi Tangguhkan Umrah, Pemerintah RI Diminta Penuhi Hak Jamaah)
Pusat krisis ini, tambah Mustolih nantinya berfungsi sebagai pusat informasi untuk memantau dinamika kebijakan terkait dengan ibadah umrah. “Tak hanya itu, pusat krisis ini juga memiliki fungsi untuk memantau perkembangan yang terjadi di Arab Saudi, mendata dan menghimpun informasi jemaah umrah dari berbagai travel yang terindikasi batal berangkat ibadah umrah. Sekaligus sebagai pusat penyebaran dan pusat kontak informasi jemaah dalam melakukan pengaduan untuk menghindari serta meminimalisasi agar kabar yang diterima tidak simpang siur,” jelasnya.
Persoalan pembatalan keberangkatan umrah ini, tambah Mustolih seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai persoalan untung rugi bisnis semata, tetapi yang lebih diprioritaskan adalah menyangkut keselamatan jiwa ribuan jemaah umrah dari ancaman virus corona yang mematikan. “Meski pemerintah sampai hari ini bersikeras menyatakan bebas corona, tetapi tidak ada salahnya meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi.”
Pusat krisis ini, kata Mustolih juga bisa memiliki fungsi lain seperti memfasilitasi jemaah yang ingin melakukan pembatalan, meminta pengembalian biaya (refund), ataupun terkait dengan penjadwalan ulang (reschedule) bila situasinya sudah aman dan kondusif. “Juga dapat berfungsi sebagai wadah bagi pemerintah untuk merumuskan standard operating procedure (SOP) bila ada kondisi darurat, untuk memfasilitasi jemaah umrah yang sudah terlanjur terbang ke Tanah Suci, tetapi mengalami persoalan kesehatan maupun kendala lain di negara transit,” tegasnya.
Selain itu juga dapat menjadi sarana pertukaran data maupun informasi bagi penyelenggara jasa umrah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam merespons berbagai keluhan dan persoalan yang mereka hadapi, termasuk merespons aspirasi dari jemaah. Untuk itulah pusat krisis ini, tegas Mustolih diperlukan agar informasi yang disampaikan kepada publik dapat divalidasi kebenaran dan keakuratannya, apalagi hal ini menyangkut hak masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Model crisis centre semacam ini pernah dibentuk oleh pemerintah ketika terjadi gagal berangkatnya ribuan jemaah First Travel beberapa waktu lalu, dengan melibatkan Kemenag, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bareskrim Mabes Polri. Saat itu model ini cukup membantu dan efektif,” kata Mustolih.
(cip)