Enam Bulan Berlalu, Pandemi Covid-19 Belum Terkendali

Jum'at, 04 September 2020 - 06:03 WIB
loading...
Enam Bulan Berlalu,...
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Pemerintah perlu mengevaluasi langkah yang selama ini diambil dalam mengatasi pandemi corona (Covid-19) . Hal ini urgen dilakukan mengingat selama enam bulan pandemi terjadi, berbagai upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil. Bahkan kondisi yang terjadi kian parah dan tidak terkontrol.

Laporan terakhir menyebutkan jumlah kasus positif Covid-19 di Tanah Air per 3 September kemarin bertambah 3.622 kasus sehingga akumulasi kasus mencapai 184.268 orang. Penambahan ini merupakan rekor tertinggi sejak kali pertama kasus Covid-19 ditemukan di Indonesia. (Baca: Bupati Rokan Hilir Riau Positif Covid-19)

Rekor sebelumnya tercatat pada 29 Agustus dengan penambahan 3.308 kasus. Dari angka tersebut DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar dengan penambahan 1.359 kasus. Selanjutnya diikuti Jatim (377), Jateng (242), dan Jabar (238).

Satgas Penanganan Covid-19 mengakui betapa sulitnya menghentikan pandemi yang tengah terjadi ini. Salah satu faktornya adalah ketidaksiapan Indonesia di awal pandemi muncul.

Di sisi lain, walaupun pada perjalanan bisa stabil, beberapa minggu belakangan penambahan kasus positif kembali melonjak dengan rekor baru yang bertepatan dengan 6 bulan Covid-19 di Tanah Air yang jatuh tepat pada Kamis kemarin.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui gambaran lonjakan kasus beberapa minggu terakhir menunjukkan bahwa Covid-19 belum dapat ditekan secara konsisten penularannya.

“Apa artinya ini semuanya? Ini artinya bahwa kita sebenarnya belum berhasil menekan dan mencegah penularan secara konsisten secara nasional,” ujar dia dalam jumpa pers di Jakarta kemarin. (Baca juga: Megawati Mengaku Masih Ada yang Memanas-manasi untuk Maju Pilpres)

Namun dia menandaskan penanganan pandemi korona bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tugas semua komponen bangsa. Terhadap masyarakat luas, dia mengingatkan tugas yang harus turut diemban adalah dapat patuh menerapkan kedisiplinan protokol kesehatan. “Baik individu maupun seluruh masyarakat secara kolektif,” tuturnya.

Bersamaan dengan momentum 6 bulan Covid-19 terjadi di Indonesia, kemarin Satgas Penanganan Covid-19 memutuskan mengubah strategi penanganan. Strategi dimaksud adalah Satgas bergerak dari hulu masalah dengan mengubah perilaku masyarakat.

Untuk mengimplementasikan strategi tersebut, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebut ada 8 target yang akan dilakukan Satgas dalam penanggulangan Covid-19.Target dimaksud adalah melindungi kelompok rentan, menekan kasus positif, peningkatan testing, tracing dan treatment; vaksinasi, pengadaan reagen, PCR dan alat pelindung diri (APD), sosialisasi masif, perubahan perilaku, dan interoperabilitas data.

Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo memaparkan, pada awal gugus tugas pihaknya cenderung mengejar penugasan pemenuhan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan, APD, ventilator bersama Kemenkes, pemenuhan reagen, PCR mesin, dan berbagai macam kelengkapan untuk rumah sakit.

Namun, setelah melihat perkembangan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu menandaskan perlu ada strategi baru dalam penanganan Covid ini. Hal ini juga belajar dari Amerika Serikat yang memiliki sistem kesehatan lebih baik, tetapi korban jiwa tetap banyak yang berjatuhan. Misalnya Amerika Serikat (AS), korban jiwa tetap berjatuhan. (Baca juga: Mulai Hari Ini, Seluruh ASN DKI Bekerja hanya 5,5 Jam Perhari)

“Termasuk di negara kita korban jiwa sudah mendekati angka 7.800 orang dan lebih dari 100 dokter kita sudah wafat. Tadi malam kami memfasilitasi doa bersama dengan seluruh organisasi kedokteran dan dengan pimpinan (Komisi VIII DPR), tokoh-tokoh lintas agama, termasuk juga tokoh-tokoh masyarakat,” ujar Doni.

Merespons kondisi itulah strategi penanganan pandemi tidak boleh berpacu pada penanganan kesehatan, tetapi bergerak di hulunya, yaitu dalam program perubahan perilaku. Apabila ini bisa dilakukan dengan baik, dia yakin bahwa masyarakat akan semakin patuh terhadap protokol kesehatan dan risiko terpapar semakin kecil.

“Sehingga beban RS tidak terlalu berat dan memberikan ruang ke dokter untuk relaksasi. Dokter tidak kelelahan, dokter tidak kehabisan tenaga dan waktu, cara kita melindungi dokter,” ucapnya.

Selanjutnya melakukan perlindungan terhadap kelompok rentan dengan melakukan upaya preventif. Untuk tenaga kesehatan (nakes) pihaknya sudah menggunakan dana siap pakai sebesar Rp83 miliar untuk pemenuhan gizi dan vitamin, angka itu untuk tahap pertama. “Sehingga dokter mendapatkan asupan gizi tambahan,” imbuh Doni.

Pada kesempatan sama dia memaparkan sejumlah soal yang menghambat penanganan Covid-19. Persoalan dimaksud antara lain masih ada provinsi yang tidak percaya dengan pandemi korona. Bahkan mengangap pandemi global itu sebagai sebuah konspirasi dan rekayasa. Untuk itu pihaknya menerjunkan tim pakar ke provinsi tersebut. “Ada juga masyarakat yang menganggap dirinya tidak mungkin terpapar Covid-19," ujar dia.

Tes Terendah, Kasus Positif Tertinggi

Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengungkapkan bahwa sejauh ini baru 4 provinsi saja yang sudah memenuhi target harian dan standar WHO. Daerah dimaksud adalah DKI Jakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Yogyakarta. "Dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga meminta dilakukan testing sebanyak 30.000 setiap harinya," ujar Doni. (Baca juga: Pentagon: China Lirik Indonesia untuk Jadi Pangkalan Militernya)

Menurut dia, target tes harian ini terkendala oleh banyaknya petugas laboratorium yang terpapar Covid. Padahal pihaknya berupaya meningkatkan itu dengan pendistribusian alat PCR ke berbagai daerah. Hanya saja, karena banyak petugas laboratorium terpapar sehingga, laboratorium pun harus ditutup sementara.

“Diperlukan berbagai macam langkah dan mencari teknologi yang lebih aman bagi petugas laboratorium kita,” ujar Doni. Dia lantas menuturkan, untuk upaya vaksinasi, Menteri BUMN selaku ketua pelaksana menargetkan dalam beberapa bulan mendatang untuk mendapatkan vaksin Covid-19 produksi Sinovac Biotech asal China.

Sebelumnya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional alias Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menandasksan, kehadiran vaksin Covid-19 akan menjadi kunci pemulihan ekonomi akibat pandemi. Alasannya saat ini Indonesia masih memiliki tingkat positivitas Covid-19 yang tinggi. Padahal di sisi lain jumlah tes yang dilakukan di Tanah Air masih relatif rendah. (Baca juga: Banyuwangi Bakal jadi Pusat Wisata Bahari Kelas Dunia)

"Indonesia kalau berdasarkan jumlah tes corona per minggu, per seribu penduduk, dari Februari 2020 sampai dengan 31 Agustus 2020, kita termasuk yang terendah di dunia," ujar Suharso dalam rapat bersama Komisi Keuangan DPR, Rabu (2/9).

Berdasar syarat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, negara yang telah memenuhi angka jumlah tes per pekan per seribu penduduk itu harusnya berada pada kisaran garis 1. Adapun Indonesia masih berada di bawah 0,1.

Adapun untuk tingkat positivitas atau positivity rate, Indonesia menjadi negara yang diwarnai merah dengan tingkat positivitas pada kisaran 10-20 persen. “Ternyata saya cek hari ini kita masih 17%, jadi dari 100 orang yang dites, 17 orang positif," ujar Suharso. "Menjadi benar bahwa game changer-nya adalah ditemukannya vaksin."

Sementara itu epidemiolog UI Syahrizal Syarif tak menampik jika uji tes di Indonesia masih rendah. Menurutnya kemampuan itu dikarenakan dari segi kapasitas memang hanya mampu melakukan uji tes spesimen tak sampai 30.000 per harinya.

“Dari jumlah laboratorium saja ada 320, itu pun enggak nambah lagi. Kalaupun nambah, itu pun jumlahnya enggak banyak. Karena membuat lab itu enggak mudah. Bukan sekadar membeli mesin PCR, teapi juga harus melatih tenaga yang menggunakannya,” kata Syahrizal kepada KORAN SINDO.

Untuk meningkatkan rasio Covid-19 , tergantung kemampuan dalam melakukan pemeriksaan. Mulai dari menambah kapasitas jumlah tes hingga tenaga pemeriksanya. (Lihat videonya: Gadis Cantik Berpofesi Sebagai Operator Alat Berat)

“Pemeriksaan spesimen bukan sim salabim. Tetap saja pemerintah harus meningkatkan kapasitas pemeriksaan hariannya melalui uji PCR yang semula 200–300 tes untuk satu tempat, itu ditingkatkan. Apalagi sekarang ini kita masih sekitar 24.000 spesimen per hari. Sampai 30.000 aja susah banget. Termasuk tenaga pemeriksa yang semula hanya 2 orang ditambah menjadi 3 orang,” ucapnya.

Di sisi lain komponen PCR juga dibutuhkan semua negara untuk menguji Covid-19 dan Indonesia mendatangkannya masih melalui impor. Belum lagi proses impor komponen tersebut juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar hingga beberapa pekan. (Binti Mufarida/Kiswondari/Dita Angga/Faorick Pakpahan)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1901 seconds (0.1#10.140)