Dari #KaburAjaDulu hingga #IndonesiaGelap: Belajar dari Bangladesh
loading...
A
A
A
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang 2024, industri pengolahan hanya menyumbang 18,98% terhadap total perekonomian Indonesia. Padahal, pada 2014, kontribusi industri pengolahan mencapai 21,08 persen. Kemudian, pada 2019, kontribusinya turun menjadi 19,7% dan pada 2022 turun menjadi 18,34%. Artinya kinerja industri pengolahan di Indonesia terus menerus melemah.
Hal ini dibuktikan oleh data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dimana sebanyak 58 perusahaan tekstil kolaps dalam kuartal 2022 hingga 2024. Secara rinci, sebanyak 33 perusahaan tutup, sisanya melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK), merumahkan tenaga kerja, serta relokasi. Padahal, industri pengolahan masuk dalam 3 lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja terbanyak. Maka wajar jika angka PHK terus meningkat.
Data Kemnaker menyebut pada tahun 2024, tercatat 77.965 orang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Jumlah ini meningkat 20,21% dibandingkan tahun 2023 yang hanya 64.855 orang. Akhirnya, mengutip laporan Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects, pravelensi pekerjaan layak di Indonesia turun dari 14% menjadi 9% dari total lapangan kerja.
Di tengah situasi ekonomi yang suram dan lapangan kerja yang sulit, masyarakat disuguhkan dengan tontonan pengangkatan sebagian publik figure yang dikenal sebagai crazy rich layaknya Raffi Ahmad dan Deddy Corbuzier sebagai pejabat publik. Sebelumnya, publik dipertontonkan salah satu anak pejabat publik menggunakan fasilitas jet pribadi, utusan Presiden yang mengolok-olok penjual es teh manis, kasus patwal mobil dinas pejabat yang memarahi warga, hingga kebijakan pengaturan LPG 3 kg yang membuat ketersediaan gas di masyarakat menjadi langka.
Di lain sisi, data OJK menyebutkan pada September 2024, total pembiayaan pinjaman online (pinjol) di Indonesia mencapai Rp74,48 triliun. Angka ini naik 33,73% secara tahunan (yoy). Jika diuraikan satu per satu masih banyak lagi kebijakan pemerintah hingga arogansi pejabat publik dipertontonkan ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit justru memicu rasa frustasi dan hilangnya harapan masyarakat kepada penyelenggara negara.
Minimnya rasa empati dan sense of crisis para pejabat publik justru menjadi trigger lahirnya perasaan tidak adil yang berujung pada kemarahan publik. Artinya tagar Kabur Aja Dulu dan Indonesia Gelap sebagai buah dari dialektika antara situasi objektif (kesulitan ekonomi dan arogansi kekuasaan) dan kondisi subjektif (rasa frustasi dan hopeless) yang dialami masyarakat.
Dan fenomena tagar Kabur Aja Dulu dan gerakan Indonesia Gelap tidak bisa direspon dengan cara emosional, marah-marah atau nyinyir. Karena pada hakikatnya, menurut dialektika, “antagonisme” baik dalam realitas alam maupun realitas sosial adalah sesuatu yang niscaya dan kita semua tak dapat lari darinya.
Hal yang sangat penting untuk pemerintah saat ini yakni tidak memahami realitas sosial dalam paradigma “oposisi biner” (either-or) namun lebih memaknai realitas sosial terutama ruang publik dan demokrasi berlangsung dalam konstruksi makna yang terbuka, relasional, dan contingent. Gagasan “koalisi permanen” yang dilontarkan pemerintah adalah cermin dari cara pikir yang menyederhanakan realitas sosial dalam kategorisasi yang permanen.
Padahal, pada hakikatnya, politik adalah keterampilan untuk menata dan mengorganisasi kebersamaan manusia. Ia bukanlah hal ihwal yang terisolasi dan dalam kondisi statis terberi sejak semula. Oleh karenanya, hegemoni yang utuh dari satu kekuatan politik tertentu tidak akan pernah ada dan pasti akan runtuh karena melawan hukum dialektika sebagai keniscayaan.
Represi rezim politik dapat saja melemahkan ekspresi politik masyarakat, tetapi dengan karakteristiknya yang political, maka ekspresi publik tersebut tidak akan hilang sepenuhnya. Suatu saat hal itu dapat aktif kembali seiring hadirnya momentum politik.
Hal ini dibuktikan oleh data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dimana sebanyak 58 perusahaan tekstil kolaps dalam kuartal 2022 hingga 2024. Secara rinci, sebanyak 33 perusahaan tutup, sisanya melakukan efisiensi berupa pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK), merumahkan tenaga kerja, serta relokasi. Padahal, industri pengolahan masuk dalam 3 lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja terbanyak. Maka wajar jika angka PHK terus meningkat.
Data Kemnaker menyebut pada tahun 2024, tercatat 77.965 orang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Jumlah ini meningkat 20,21% dibandingkan tahun 2023 yang hanya 64.855 orang. Akhirnya, mengutip laporan Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects, pravelensi pekerjaan layak di Indonesia turun dari 14% menjadi 9% dari total lapangan kerja.
Di tengah situasi ekonomi yang suram dan lapangan kerja yang sulit, masyarakat disuguhkan dengan tontonan pengangkatan sebagian publik figure yang dikenal sebagai crazy rich layaknya Raffi Ahmad dan Deddy Corbuzier sebagai pejabat publik. Sebelumnya, publik dipertontonkan salah satu anak pejabat publik menggunakan fasilitas jet pribadi, utusan Presiden yang mengolok-olok penjual es teh manis, kasus patwal mobil dinas pejabat yang memarahi warga, hingga kebijakan pengaturan LPG 3 kg yang membuat ketersediaan gas di masyarakat menjadi langka.
Di lain sisi, data OJK menyebutkan pada September 2024, total pembiayaan pinjaman online (pinjol) di Indonesia mencapai Rp74,48 triliun. Angka ini naik 33,73% secara tahunan (yoy). Jika diuraikan satu per satu masih banyak lagi kebijakan pemerintah hingga arogansi pejabat publik dipertontonkan ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit justru memicu rasa frustasi dan hilangnya harapan masyarakat kepada penyelenggara negara.
Minimnya rasa empati dan sense of crisis para pejabat publik justru menjadi trigger lahirnya perasaan tidak adil yang berujung pada kemarahan publik. Artinya tagar Kabur Aja Dulu dan Indonesia Gelap sebagai buah dari dialektika antara situasi objektif (kesulitan ekonomi dan arogansi kekuasaan) dan kondisi subjektif (rasa frustasi dan hopeless) yang dialami masyarakat.
Dan fenomena tagar Kabur Aja Dulu dan gerakan Indonesia Gelap tidak bisa direspon dengan cara emosional, marah-marah atau nyinyir. Karena pada hakikatnya, menurut dialektika, “antagonisme” baik dalam realitas alam maupun realitas sosial adalah sesuatu yang niscaya dan kita semua tak dapat lari darinya.
Hal yang sangat penting untuk pemerintah saat ini yakni tidak memahami realitas sosial dalam paradigma “oposisi biner” (either-or) namun lebih memaknai realitas sosial terutama ruang publik dan demokrasi berlangsung dalam konstruksi makna yang terbuka, relasional, dan contingent. Gagasan “koalisi permanen” yang dilontarkan pemerintah adalah cermin dari cara pikir yang menyederhanakan realitas sosial dalam kategorisasi yang permanen.
Padahal, pada hakikatnya, politik adalah keterampilan untuk menata dan mengorganisasi kebersamaan manusia. Ia bukanlah hal ihwal yang terisolasi dan dalam kondisi statis terberi sejak semula. Oleh karenanya, hegemoni yang utuh dari satu kekuatan politik tertentu tidak akan pernah ada dan pasti akan runtuh karena melawan hukum dialektika sebagai keniscayaan.
Represi rezim politik dapat saja melemahkan ekspresi politik masyarakat, tetapi dengan karakteristiknya yang political, maka ekspresi publik tersebut tidak akan hilang sepenuhnya. Suatu saat hal itu dapat aktif kembali seiring hadirnya momentum politik.
Lihat Juga :