Virus Korona dan Dampak Ekonomi
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BANYAK mata dunia yang begitu kagum dengan kecepatan Pemerintah China dalam membangun empat rumah sakit dalam waktu kurang lebih dua minggu. Kekaguman itu di satu sisi menimbulkan rasa optimistis bahwa wabah virus ini akan dapat ditangani dan dikontrol dengan baik.
Tetapi, di satu sisi lain juga timbul rasa pesimistis karena jumlah orang yang terkena virus semakin meningkat melebihi jumlah orang yang terkena wabah SARS 17 tahun lalu.
Rasa optimistis dan pesimistis ini juga memengaruhi persepsi masyarakat tentang dampak wabah virus ini terhadap ekonomi. Beberapa pandangan yang pesimistis mengatakan bahwa dampak negatif terhadap ekonomi yang ditimbulkan oleh virus korona lebih signifikan dan besar dibandingkan dengan wabah SARS sebelumnya.
Saya mencatat tiga hal paling sedikit yang menjadi dasar asumsi bahwa dampak wabah virus korona akan lebih menyakitkan secara ekonomi di masa depan. Pertama adalah dampak dari pengurangan kegiatan aktivitas bisnis masyarakat oleh Pemerintah China untuk menghindari penyebaran virus yang lebih meluas.
Wabah ini sendiri terjadi sebelum tahun baru Imlek di mana banyak warga yang pulang kampung untuk merayakan tahun baru. Pemerintah telah memperpanjang masa libur tahun baru, awalnya 2 Februari hingga 9 Februari.
Libur panjang ini menyebabkan transaksi ekonomi juga tidak berjalan dengan maksimal. Penduduk yang pulang kampung juga tidak bisa membelanjakan uang mereka karena ruang gerak yang dibatasi oleh pemerintah dan beberapa pusat pasar ada yang ditutup atau dibatasi. Hal ini mengakibatkan tidak ada perputaran roda ekonomi, baik di desa atau di kota.
Kedua, Pemerintah China belum dapat memastikan apakah libur panjang ini akan diperpanjang lagi karena tergantung dari apakah jumlah penduduk yang terkena virus ini akan bertambah atau berkurang. Seriusnya wabah ini terutama juga tercermin dari keputusan WHO yang telah menyatakan bahwa wabah virus korona ini sebagai situasi darurat.
Sampai saat ini banyak pabrik, toko-toko, kafe, restoran, dan pusat-pusat perdagangan yang belum penuh beroperasi atau masih banyak yang tutup karena tidak ada pekerja. Sepinya pekerja menyebabkan jaringan rantai-produksi (supply-chain) juga terganggu. Meskipun para pekerja di sebuah pabrik telah kembali masuk bekerja, mereka tetap tidak dapat beroperasi karena tidak ada atau terlambatnya pasokan barang yang hendak dirakit.
Perusahaan-perusahaan AS seperti Apple, General Electric, atau Caterpillar, yang sangat tergantung dengan pasokan barang dari pabrik-pabrik di China sudah mulai memikirkan dalam jangka waktu pendek untuk mengalihkan order mereka ke negara lain atau kembali ke AS itu sendiri. Pengalihan itu juga disebabkan banyak sarana transportasi seperti maskapai penerbangan dan laut beberapa negara seperti di Indonesia, yang telah menyatakan berhenti melayani transportasi dari dan ke China untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.
Perusahaan penerbangan China sendiri sangat dominan dalam pasar transportasi. Pada 2000 jumlah lalu lintas penerbangan China hanya 5 juta per tahun dan meningkat menjadi 55 juta per tahun pada 2019.
Perusahaan penerbangan China mendominasi pasar penerbangan sebesar 51% dari total kapasitas kursi internasional (centreforaviation.com, 2019). Ketidakpastian ini harus dijawab oleh para pelaku usaha karena mereka juga memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kontrak-kontrak kerja dengan pihak lain.
Ketiga, melambatnya roda perekonomian China juga dapat menimbulkan depresi ekonomi yang membuat semakin kronis tekanan pada perekonomian dunia yang belum sepenuhnya sembuh dari krisis ekonomi. Hal ini disebabkan partisipasi ekonomi China di dunia yang sudah mencapai 20% PDB dunia.
Partisipasi ini lebih besar daripada ketika wabah SARS pada 2003 di mana ekonomi China hanya 7,5% dari PDB dunia. Saat wabah MARS, PDB China tertinggal tujuh kali lipat dari AS, sementara pada 2019 PDB China hanya tertinggal 1,5 kali dari AS, tetapi hampir sama dengan semua negara Eropa (Faisalbasri.com, 2019). Semakin besar partisipasi sebuah negara dalam perekonomian dunia, maka semakin signifikan dampaknya terhadap negara-negara lain.
Selain pandangan yang pesimistis, ada juga pandangan yang optimistis. Ada tiga pendapat minimal yang menguatkan rasa optimistis.
Pertama bahwa pendapat para ahli kesehatan yang mengatakan bahwa virus korona ini tidak lebih berbahaya dibandingkan flu yang kita alami sehari-hari yang mengakibatkan kematian 250-300.000 orang setiap tahun (country.eiu.com). Case-fatality rate bergerak di 2.2% dan lebih rendah dibandingkan dengan wabah MARS yang mencapai 9,6%. Atas dasar informasi ini, maka dapat diperkirakan bahwa penyebaran virus ini tidak semasif wabah MARS yang lalu.
Kedua, belajar dari wabah MARS, ekonomi China memang melambat dalam jangka pendek terutama saat wabah dan tiga bulan setelah wabah itu dinyatakan dapat dikontrol. Beberapa bulan setelah periode itu, ekonomi China kembali menguat. Pendapat ini dikeluarkan oleh International Monetary Fund Managing Director Kristalina Georgieva.
Pada saat itu keuangan dan kemampuan Pemerintah China belum sebaik kondisi saat ini. Pemerintah China misalnya juga telah mencairkan dana USD22 miliar untuk menjamin penanggulangan dampak negatif dari virus ini selain untuk membangun kepercayaan pasar bahwa pemerintah mampu mengontrol segala yang sedang terjadi.
Ketiga, satu di antara kemampuan Pemerintah China adalah memobilisasi masyarakat agar searah dengan kebijakan pemerintah. Hal ini dapat terlihat mulai dari pembangunan rumah sakit hingga penutupan kota sebagai langkah ekstrem yang wajib dipatuhi oleh penduduknya.
Masyarakat China yang hanya mengenal satu kekuasaan politik yaitu pemerintah dan Partai Komunis China sulit berkata tidak. Kondisi ini adalah satu di antara “comparative advantage” (keunggulan) yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Kondisi itu memudahkan langkah-langkah penanganan wabah virus baik secara sosial dan ekonomi dari pemerintah pusat tidak mengundang kontroversi yang dapat menghambat penanganan.
Terlepas dari pandangan positif atau negatif masing-masing pribadi kita terhadap China, kita sama-sama berharap bahwa wabah virus korona ini jangan sampai mengakibatkan ekonomi menjadi semakin melambat.
Pelambatan ekonomi akan berdampak juga kepada ekonomi di dalam negeri kita. Selama hampir 10 tahun terakhir, China termasuk satu di antara pembeli terbesar produk-produk Indonesia seperti minyak mentah, gas, dan produk pertambangan lainnya, termasuk juga batu bara.
Jika perekonomian China melambat, otomatis neraca pembayaran China akan terganggu dan efeknya akan terasa juga pada APBN Indonesia. Demikian pula larangan perjalanan dari China dan menuju China akan mengurangi pula penghasilan Indonesia dari sektor pariwisata dan turunan-turunannya.
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BANYAK mata dunia yang begitu kagum dengan kecepatan Pemerintah China dalam membangun empat rumah sakit dalam waktu kurang lebih dua minggu. Kekaguman itu di satu sisi menimbulkan rasa optimistis bahwa wabah virus ini akan dapat ditangani dan dikontrol dengan baik.
Tetapi, di satu sisi lain juga timbul rasa pesimistis karena jumlah orang yang terkena virus semakin meningkat melebihi jumlah orang yang terkena wabah SARS 17 tahun lalu.
Rasa optimistis dan pesimistis ini juga memengaruhi persepsi masyarakat tentang dampak wabah virus ini terhadap ekonomi. Beberapa pandangan yang pesimistis mengatakan bahwa dampak negatif terhadap ekonomi yang ditimbulkan oleh virus korona lebih signifikan dan besar dibandingkan dengan wabah SARS sebelumnya.
Saya mencatat tiga hal paling sedikit yang menjadi dasar asumsi bahwa dampak wabah virus korona akan lebih menyakitkan secara ekonomi di masa depan. Pertama adalah dampak dari pengurangan kegiatan aktivitas bisnis masyarakat oleh Pemerintah China untuk menghindari penyebaran virus yang lebih meluas.
Wabah ini sendiri terjadi sebelum tahun baru Imlek di mana banyak warga yang pulang kampung untuk merayakan tahun baru. Pemerintah telah memperpanjang masa libur tahun baru, awalnya 2 Februari hingga 9 Februari.
Libur panjang ini menyebabkan transaksi ekonomi juga tidak berjalan dengan maksimal. Penduduk yang pulang kampung juga tidak bisa membelanjakan uang mereka karena ruang gerak yang dibatasi oleh pemerintah dan beberapa pusat pasar ada yang ditutup atau dibatasi. Hal ini mengakibatkan tidak ada perputaran roda ekonomi, baik di desa atau di kota.
Kedua, Pemerintah China belum dapat memastikan apakah libur panjang ini akan diperpanjang lagi karena tergantung dari apakah jumlah penduduk yang terkena virus ini akan bertambah atau berkurang. Seriusnya wabah ini terutama juga tercermin dari keputusan WHO yang telah menyatakan bahwa wabah virus korona ini sebagai situasi darurat.
Sampai saat ini banyak pabrik, toko-toko, kafe, restoran, dan pusat-pusat perdagangan yang belum penuh beroperasi atau masih banyak yang tutup karena tidak ada pekerja. Sepinya pekerja menyebabkan jaringan rantai-produksi (supply-chain) juga terganggu. Meskipun para pekerja di sebuah pabrik telah kembali masuk bekerja, mereka tetap tidak dapat beroperasi karena tidak ada atau terlambatnya pasokan barang yang hendak dirakit.
Perusahaan-perusahaan AS seperti Apple, General Electric, atau Caterpillar, yang sangat tergantung dengan pasokan barang dari pabrik-pabrik di China sudah mulai memikirkan dalam jangka waktu pendek untuk mengalihkan order mereka ke negara lain atau kembali ke AS itu sendiri. Pengalihan itu juga disebabkan banyak sarana transportasi seperti maskapai penerbangan dan laut beberapa negara seperti di Indonesia, yang telah menyatakan berhenti melayani transportasi dari dan ke China untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.
Perusahaan penerbangan China sendiri sangat dominan dalam pasar transportasi. Pada 2000 jumlah lalu lintas penerbangan China hanya 5 juta per tahun dan meningkat menjadi 55 juta per tahun pada 2019.
Perusahaan penerbangan China mendominasi pasar penerbangan sebesar 51% dari total kapasitas kursi internasional (centreforaviation.com, 2019). Ketidakpastian ini harus dijawab oleh para pelaku usaha karena mereka juga memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kontrak-kontrak kerja dengan pihak lain.
Ketiga, melambatnya roda perekonomian China juga dapat menimbulkan depresi ekonomi yang membuat semakin kronis tekanan pada perekonomian dunia yang belum sepenuhnya sembuh dari krisis ekonomi. Hal ini disebabkan partisipasi ekonomi China di dunia yang sudah mencapai 20% PDB dunia.
Partisipasi ini lebih besar daripada ketika wabah SARS pada 2003 di mana ekonomi China hanya 7,5% dari PDB dunia. Saat wabah MARS, PDB China tertinggal tujuh kali lipat dari AS, sementara pada 2019 PDB China hanya tertinggal 1,5 kali dari AS, tetapi hampir sama dengan semua negara Eropa (Faisalbasri.com, 2019). Semakin besar partisipasi sebuah negara dalam perekonomian dunia, maka semakin signifikan dampaknya terhadap negara-negara lain.
Selain pandangan yang pesimistis, ada juga pandangan yang optimistis. Ada tiga pendapat minimal yang menguatkan rasa optimistis.
Pertama bahwa pendapat para ahli kesehatan yang mengatakan bahwa virus korona ini tidak lebih berbahaya dibandingkan flu yang kita alami sehari-hari yang mengakibatkan kematian 250-300.000 orang setiap tahun (country.eiu.com). Case-fatality rate bergerak di 2.2% dan lebih rendah dibandingkan dengan wabah MARS yang mencapai 9,6%. Atas dasar informasi ini, maka dapat diperkirakan bahwa penyebaran virus ini tidak semasif wabah MARS yang lalu.
Kedua, belajar dari wabah MARS, ekonomi China memang melambat dalam jangka pendek terutama saat wabah dan tiga bulan setelah wabah itu dinyatakan dapat dikontrol. Beberapa bulan setelah periode itu, ekonomi China kembali menguat. Pendapat ini dikeluarkan oleh International Monetary Fund Managing Director Kristalina Georgieva.
Pada saat itu keuangan dan kemampuan Pemerintah China belum sebaik kondisi saat ini. Pemerintah China misalnya juga telah mencairkan dana USD22 miliar untuk menjamin penanggulangan dampak negatif dari virus ini selain untuk membangun kepercayaan pasar bahwa pemerintah mampu mengontrol segala yang sedang terjadi.
Ketiga, satu di antara kemampuan Pemerintah China adalah memobilisasi masyarakat agar searah dengan kebijakan pemerintah. Hal ini dapat terlihat mulai dari pembangunan rumah sakit hingga penutupan kota sebagai langkah ekstrem yang wajib dipatuhi oleh penduduknya.
Masyarakat China yang hanya mengenal satu kekuasaan politik yaitu pemerintah dan Partai Komunis China sulit berkata tidak. Kondisi ini adalah satu di antara “comparative advantage” (keunggulan) yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Kondisi itu memudahkan langkah-langkah penanganan wabah virus baik secara sosial dan ekonomi dari pemerintah pusat tidak mengundang kontroversi yang dapat menghambat penanganan.
Terlepas dari pandangan positif atau negatif masing-masing pribadi kita terhadap China, kita sama-sama berharap bahwa wabah virus korona ini jangan sampai mengakibatkan ekonomi menjadi semakin melambat.
Pelambatan ekonomi akan berdampak juga kepada ekonomi di dalam negeri kita. Selama hampir 10 tahun terakhir, China termasuk satu di antara pembeli terbesar produk-produk Indonesia seperti minyak mentah, gas, dan produk pertambangan lainnya, termasuk juga batu bara.
Jika perekonomian China melambat, otomatis neraca pembayaran China akan terganggu dan efeknya akan terasa juga pada APBN Indonesia. Demikian pula larangan perjalanan dari China dan menuju China akan mengurangi pula penghasilan Indonesia dari sektor pariwisata dan turunan-turunannya.
(poe)