Pemda Harus Ikut Andil Lindungi Perempuan Korban Kekerasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) memandang, upaya perlindungan korban kekerasan terhadap perempuan harus menjadi bagian dari agenda pemerintah daerah.
(Baca juga: Jika Perempuan Memilih Bekerja, Inilah Syarat-syaratnya)
Pasalnya, pandemi menoreh sisi lain kondisi perempuan yang semakin ringkih dengan adanya ancaman kekerasan, baik kekerasan fisik, verbal, psikis maupun seksual.
(Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Diminta Tak Ditunda Lagi)
Kondisi ini bahkan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, seperti yang tergambar dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).
Berdasarkan, jenis kekerasan paling tinggi ialah kekerasan seksual dengan 3.465 kasus. Kemudian, diikuti dengan kekerasan fisik 3.322 kasus, kekerasan psikis 2.607 kasus, dan penelantaran 914 kasus.
"Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat ancaman kekerasan dalam bentuk kekerasan ekonomi. Apalagi, dengan konteks pandemi saat ini yang penuh dengan tekanan ekonomi akibat dari pengurangan penghasilan, penambahan pengeluaran atau kehilangan pekerjaan,” kata Peneliti bidang Sosial TII Nopitri Wahyuni dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Rabu (2/9/2020).
Hal tersebut juga dapat terlihat berdasarkan survei daring mengenai perubahan dinamika rumah tangga pada masa pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Komnas Perempuan. Faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu tekanan yang berujung pada bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Survei terhadap 2.285 responden yang banyak diikuti oleh perempuan usia 31-50 tahun dari 34 provinsi tersebut, menemukan bahwa ketegangan relasi dengan pasangan di rumah tangga lebih banyak terjadi pada responden dengan kriteria pendapatan di bawah Rp 5 juta, pekerja informal maupun yang memiliki lebih dari 3 anak.
"Peliknya situasi itu sayangnya tidak berbanding lurus dengan pemenuhan akses layanan. Seperti yang telah dipaparkan bahwa angka terlapor kekerasan terhadap perempuan belum menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Sebab, banyak korban tidak melakukan pengaduan terhadap lembaga layanan," ujarnya.
Berdasarkan survei daring tersebut, sebagian besar responden yang mengalami kekerasan lebih cenderung diam saja atau memberitahukan kepada kerabat atau rekan terdekat. Hanya 9,8 persen saja melaporkan kepada lembaga yang memberikan layanan pengaduan.
"Terhambatnya akses layanan juga terkait dengan informasi yang kurang merata. Di tingkat individu maupun rumah tangga, perbekalan untuk mengantisipasi risiko kekerasan nyatanya masih kurang memadai disebabkan sebagian besar masyarakat belum menyimpan informasi mengenai layanan pengaduan terkait kekerasan terhadap perempuan. Di tambah lagi, ketimpangan infrastruktur teknologi informasi di Indonesia," jelasnya.
Melihat kondisi di atas, tantangan pemerintah daerah amat besar. Belum lagi, setiap daerah tentu memiliki karakteristik kerentanan kasus yang berbeda-beda.
Misalnya, berdasarkan catatan lembaga Women Crisis Center (WCC), selain kekerasan dalam rumah tangga, risiko kekerasan yang terjadi di Yogyakarta menyentuh aspek daring, yakni kekerasan berbasis gender online. Dari 279 kasus yang mereka himpun dari Januari hingga bulan Mei 2020, pola tersebut ditemukan.
Di daerah lain, seperti Lampung, kasus perdagangan orang (trafficking) dengan tujuan seks komersial menjadi ancaman yang mengerikan. Seperti pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh DA, seorang petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, pun diduga melakukan tindak pidana perdagangan anak. Kondisi ini menunjukkan bobroknya institusi yang diharapkan memberikan layanan rehabilitasi kepada korban kekerasan.
Catatan survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 60 persen responden unit P2TP2A di berbagai daerah memang bermasalah secara struktural.
Permasalahan tersebut diakibatkan berbagai polemik standar pelayanan yang belum memadai, sumber daya yang tidak profesional, minimnya jumlah pekerja sosial dan praktisi profesional lainnya, serta permasalahan anggaran dan infrastruktur. Mirisnya, hal tersebut berujung pada tindakan penyelewengan maupun pelanggaran di tingkat daerah, seperti yang terjadi di Lampung Timur.
"Pemda harus memiliki inisiatif yang jelas untuk melakukan pencegahan kekerasan di tingkat daerah. Sosialisasi secara masif mengenai pencegahan risiko kekerasan dan manajemen risiko kekerasan dapat diintegrasikan dengan program sosial lain yang ditujukan kepada keluarga dan anak," ungkapnya.
Berbagai kasus tersebut mempertanyakan kembali bagaimana Pemda mengentaskan kekerasan terhadap perempuan. Sebab, merujuk UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, setiap provinsi memiliki kewajiban untuk melakukan pecegahan kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup daerah dan level di bawahnya, memastikan ketersediaan layanan rujukan lanjutan bagi perempuan korban kekerasan maupun melakukan penguatan dan pengembangan lembaga penyediaan layanan perlindungan perempuan di tingkat provinsi.
(Baca juga: Jika Perempuan Memilih Bekerja, Inilah Syarat-syaratnya)
Pasalnya, pandemi menoreh sisi lain kondisi perempuan yang semakin ringkih dengan adanya ancaman kekerasan, baik kekerasan fisik, verbal, psikis maupun seksual.
(Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Diminta Tak Ditunda Lagi)
Kondisi ini bahkan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, seperti yang tergambar dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).
Berdasarkan, jenis kekerasan paling tinggi ialah kekerasan seksual dengan 3.465 kasus. Kemudian, diikuti dengan kekerasan fisik 3.322 kasus, kekerasan psikis 2.607 kasus, dan penelantaran 914 kasus.
"Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat ancaman kekerasan dalam bentuk kekerasan ekonomi. Apalagi, dengan konteks pandemi saat ini yang penuh dengan tekanan ekonomi akibat dari pengurangan penghasilan, penambahan pengeluaran atau kehilangan pekerjaan,” kata Peneliti bidang Sosial TII Nopitri Wahyuni dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Rabu (2/9/2020).
Hal tersebut juga dapat terlihat berdasarkan survei daring mengenai perubahan dinamika rumah tangga pada masa pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Komnas Perempuan. Faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu tekanan yang berujung pada bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Survei terhadap 2.285 responden yang banyak diikuti oleh perempuan usia 31-50 tahun dari 34 provinsi tersebut, menemukan bahwa ketegangan relasi dengan pasangan di rumah tangga lebih banyak terjadi pada responden dengan kriteria pendapatan di bawah Rp 5 juta, pekerja informal maupun yang memiliki lebih dari 3 anak.
"Peliknya situasi itu sayangnya tidak berbanding lurus dengan pemenuhan akses layanan. Seperti yang telah dipaparkan bahwa angka terlapor kekerasan terhadap perempuan belum menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Sebab, banyak korban tidak melakukan pengaduan terhadap lembaga layanan," ujarnya.
Berdasarkan survei daring tersebut, sebagian besar responden yang mengalami kekerasan lebih cenderung diam saja atau memberitahukan kepada kerabat atau rekan terdekat. Hanya 9,8 persen saja melaporkan kepada lembaga yang memberikan layanan pengaduan.
"Terhambatnya akses layanan juga terkait dengan informasi yang kurang merata. Di tingkat individu maupun rumah tangga, perbekalan untuk mengantisipasi risiko kekerasan nyatanya masih kurang memadai disebabkan sebagian besar masyarakat belum menyimpan informasi mengenai layanan pengaduan terkait kekerasan terhadap perempuan. Di tambah lagi, ketimpangan infrastruktur teknologi informasi di Indonesia," jelasnya.
Melihat kondisi di atas, tantangan pemerintah daerah amat besar. Belum lagi, setiap daerah tentu memiliki karakteristik kerentanan kasus yang berbeda-beda.
Misalnya, berdasarkan catatan lembaga Women Crisis Center (WCC), selain kekerasan dalam rumah tangga, risiko kekerasan yang terjadi di Yogyakarta menyentuh aspek daring, yakni kekerasan berbasis gender online. Dari 279 kasus yang mereka himpun dari Januari hingga bulan Mei 2020, pola tersebut ditemukan.
Di daerah lain, seperti Lampung, kasus perdagangan orang (trafficking) dengan tujuan seks komersial menjadi ancaman yang mengerikan. Seperti pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh DA, seorang petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, pun diduga melakukan tindak pidana perdagangan anak. Kondisi ini menunjukkan bobroknya institusi yang diharapkan memberikan layanan rehabilitasi kepada korban kekerasan.
Catatan survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 60 persen responden unit P2TP2A di berbagai daerah memang bermasalah secara struktural.
Permasalahan tersebut diakibatkan berbagai polemik standar pelayanan yang belum memadai, sumber daya yang tidak profesional, minimnya jumlah pekerja sosial dan praktisi profesional lainnya, serta permasalahan anggaran dan infrastruktur. Mirisnya, hal tersebut berujung pada tindakan penyelewengan maupun pelanggaran di tingkat daerah, seperti yang terjadi di Lampung Timur.
"Pemda harus memiliki inisiatif yang jelas untuk melakukan pencegahan kekerasan di tingkat daerah. Sosialisasi secara masif mengenai pencegahan risiko kekerasan dan manajemen risiko kekerasan dapat diintegrasikan dengan program sosial lain yang ditujukan kepada keluarga dan anak," ungkapnya.
Berbagai kasus tersebut mempertanyakan kembali bagaimana Pemda mengentaskan kekerasan terhadap perempuan. Sebab, merujuk UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, setiap provinsi memiliki kewajiban untuk melakukan pecegahan kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup daerah dan level di bawahnya, memastikan ketersediaan layanan rujukan lanjutan bagi perempuan korban kekerasan maupun melakukan penguatan dan pengembangan lembaga penyediaan layanan perlindungan perempuan di tingkat provinsi.
(maf)