Pemda Harus Ikut Andil Lindungi Perempuan Korban Kekerasan

Rabu, 02 September 2020 - 11:17 WIB
loading...
A A A
Berdasarkan survei daring tersebut, sebagian besar responden yang mengalami kekerasan lebih cenderung diam saja atau memberitahukan kepada kerabat atau rekan terdekat. Hanya 9,8 persen saja melaporkan kepada lembaga yang memberikan layanan pengaduan.

"Terhambatnya akses layanan juga terkait dengan informasi yang kurang merata. Di tingkat individu maupun rumah tangga, perbekalan untuk mengantisipasi risiko kekerasan nyatanya masih kurang memadai disebabkan sebagian besar masyarakat belum menyimpan informasi mengenai layanan pengaduan terkait kekerasan terhadap perempuan. Di tambah lagi, ketimpangan infrastruktur teknologi informasi di Indonesia," jelasnya.

Melihat kondisi di atas, tantangan pemerintah daerah amat besar. Belum lagi, setiap daerah tentu memiliki karakteristik kerentanan kasus yang berbeda-beda.

Misalnya, berdasarkan catatan lembaga Women Crisis Center (WCC), selain kekerasan dalam rumah tangga, risiko kekerasan yang terjadi di Yogyakarta menyentuh aspek daring, yakni kekerasan berbasis gender online. Dari 279 kasus yang mereka himpun dari Januari hingga bulan Mei 2020, pola tersebut ditemukan.

Di daerah lain, seperti Lampung, kasus perdagangan orang (trafficking) dengan tujuan seks komersial menjadi ancaman yang mengerikan. Seperti pada kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh DA, seorang petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur, pun diduga melakukan tindak pidana perdagangan anak. Kondisi ini menunjukkan bobroknya institusi yang diharapkan memberikan layanan rehabilitasi kepada korban kekerasan.

Catatan survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 60 persen responden unit P2TP2A di berbagai daerah memang bermasalah secara struktural.

Permasalahan tersebut diakibatkan berbagai polemik standar pelayanan yang belum memadai, sumber daya yang tidak profesional, minimnya jumlah pekerja sosial dan praktisi profesional lainnya, serta permasalahan anggaran dan infrastruktur. Mirisnya, hal tersebut berujung pada tindakan penyelewengan maupun pelanggaran di tingkat daerah, seperti yang terjadi di Lampung Timur.

"Pemda harus memiliki inisiatif yang jelas untuk melakukan pencegahan kekerasan di tingkat daerah. Sosialisasi secara masif mengenai pencegahan risiko kekerasan dan manajemen risiko kekerasan dapat diintegrasikan dengan program sosial lain yang ditujukan kepada keluarga dan anak," ungkapnya.

Berbagai kasus tersebut mempertanyakan kembali bagaimana Pemda mengentaskan kekerasan terhadap perempuan. Sebab, merujuk UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, setiap provinsi memiliki kewajiban untuk melakukan pecegahan kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup daerah dan level di bawahnya, memastikan ketersediaan layanan rujukan lanjutan bagi perempuan korban kekerasan maupun melakukan penguatan dan pengembangan lembaga penyediaan layanan perlindungan perempuan di tingkat provinsi.
(maf)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1289 seconds (0.1#10.140)