Pengilon di Galeri Nasional dan Isu Beredel
loading...
A
A
A
Yang dalam hal ini adalah yang lemah, wong cilik, dan siapa saja dalam lukisan lukisan Yos direpresentasikan sebagai sosok yang tertindas. Sebaliknya muncul pula figur-figur para penjilat atau yang lain: justru wajah penguasa dalam Pakaian Raja Jawa dari lukisan berjudul Konoha I dan II.
Pada lukisan Yos itu, karya-karya yang cenderung karikatural dan komikal menjadikannya sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran, kecaman sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau menurut penulis ungkapan rasa humor yang paling gelap, jika menimbang rujukan dari pengkaji Theory of Parody in Parody, Hutcheon (dalam Piliang, 2003: 214).
Dalam konteks ini, merujuk pada semangat aktivisme kesenian, lukisan-lukisan "realisme sosial era sanggar di Jogjakarta" seturut penulis, karya-karya Yos cukup lumayan menggabungkan elemen-elemen strategi parodi dengan memuat sekaligus perpaduan gaya bahasa ironi—tentang penentangan terhadap kondisi sosial tertentu yang berlawanan secara riil, sarkasme—sebagai semacam umpatan langsung dengan argumentasi dan fakta-fakta secara posterik pun yang terakhir penggunaan satire, yakni ungkapan gaya yang cenderung lebih mendalam tentang kritik kelam kondisi kemanusiaan yang dirasakan seniman secara psikologis.
Tentang keyakinan estetika; dihayati oleh sang pelukis dan juga kurator tak saling ada kecocokan, perlu adanya waktu tersendiri untuk sinkronisasi. Tentunya ini membutuhkan pembahasan tersendiri tentang relasi antar mereka. Yang jelas, topik pameran tentang Tanah dan Kedaulatan Pangan tentunya berelasi dengan elemen sosiologis dan politik lebih dari sekedar paradigma ‘otonomi seni secara estetik’ yang kukuh dan jemawa, tak bisa digeser ke mana-mana. Hadirnya seni kontemporer secara cair membuka cakrawala lebih luas makna dan kehadiran seni di ruang-ruang publik.
Seni kontemporer, membebaskan belenggu kesempitan bernalar dan berkreasi bahwa 'relasi kuasa' dalam proses penciptaan karya dan wacana tentang estetika telah selesai antara Seniman-Kurator. Maka, sebelum dan seusai karya dibuat, patut ditimbang dalam satu tim yang saling bermitra cara membangun komunikasi intensif dan saling pengertian antara Kurator dan Seniman bahwa ada "kekuasaan-kekuasaan lain yang bertengger" di luar sana; termasuk Dewan Kurator GNI, aparatus lain di Kemenbud, para aktivis seni, jurnalis, dan lain-lain dalam suatu ekosistem seni rupa yang kompleks itu.
Kita semua tahu bahwa kesenian dan elemen di dalamnya, termasuk infrastruktur seperti Galeri Nasional adalah simbol kekuasaan negara yang sejatinya terlemah. Negara belum menjadikan kesenian menjadi salah satu sektor penting menjadi Investasi Budaya yang dinamis dan kelak akan dipetik dalam rentang 15 sampai 20 tahun dari sekarang bagi Indonesia. Kesenian masih menjadi sisipan dan seremoni-seremoni kultural semata bagi negara. Secara sosiologis, Galeri Nasional Indonesia (GNI) itu sewajarnya menjadi manifestasi dari sebuah wadah bertemunya kepetingan ekosistem seni yang ada di level tinggi: Symbolic Capital.
GNI memiliki modal simbolik kekuasaan tentang seni yang merangkul menjadi satu kekuatan atas relasi modal sosial dan politik (seniman dan seluruh kompleksitas komunitas didalamnya), selain modal kultural (para cendekia seni serta kampus-kampus perguruan tinggi juga institusi sektor privat) dan terakhir adalah modal ekonomi (dengan menimbang adanya Dana Abadi Kebudayaan dan APBN untuk program-program kesenian).
Namun, saat sama implementasi UU Pemajuan Kebudayaan belum maksimal direalisasikan dan Galeri Nasional bukanlah yang menjadi garda terdepan tentang nilai-nilai ke-Indonesiaan yang menjadi soft power dalam diplomasi penting eksistensi negeri yang majemuk dan kaya budaya. Belum genap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, sebuah isu tentang pemberedelan karya seni benar-benar wajib disikapi dengan serius.
Ingatan tentang semangat menggebu pemerintahan baru dengan Asta Cita-nya, yang mencantumkan, bahkan sampai tiga kali relasinya dengan kekuatan ekonomi kreatif, kesempatan terbuka tentang industri kreatif sampai kekuatan budaya. Dalam hal ini konteks kesenian dan GNI, hendaknya memang menjadi pilar sungguh-sungguh menuju apa yang "dicitakan" dengan pernyataan melangit tentang keharmonisan, menjaga ketahanan negara, sampai upaya membuka kesempatan kerja sebagai manifestasi fasilitas untuk kemandirian anak negeri.
Intinya, isu pemberedelan atau pembatalan atau penundaan pameran Seni Yos Suprapto, yang sangat semrawut kronologinya terinfo ke publik dan argumen-argumen birokratis yang normatif serta diterima dengan cara menduga-duga dan meraba-raba, selain sistem pengambilan keputusan yang terburu-buru sangat memprihatinkan; dan hal itu jangan sampai terulang pada kasus sejenis di masa depan.
Sebagian kasus, memerlukan tak hanya persoalan secara teknis namun strategi substansial—semisal adanya manajemen krisis tatkala beririsan dengan isu politik nasional. Sebaliknya, kasus pemberedelan ini membuncah hikmah, membuka esensi yang sangat esensial, yang belum tersentuh, yakni: GNI dan seluruh aparatus di dalamnya, yakni struktur birokrasinya, sama sekali belum menunjukkan mewakili cita-cita besar Asta Cita dalam fundamen pembangunan manusia.
Pada lukisan Yos itu, karya-karya yang cenderung karikatural dan komikal menjadikannya sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran, kecaman sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau menurut penulis ungkapan rasa humor yang paling gelap, jika menimbang rujukan dari pengkaji Theory of Parody in Parody, Hutcheon (dalam Piliang, 2003: 214).
Dalam konteks ini, merujuk pada semangat aktivisme kesenian, lukisan-lukisan "realisme sosial era sanggar di Jogjakarta" seturut penulis, karya-karya Yos cukup lumayan menggabungkan elemen-elemen strategi parodi dengan memuat sekaligus perpaduan gaya bahasa ironi—tentang penentangan terhadap kondisi sosial tertentu yang berlawanan secara riil, sarkasme—sebagai semacam umpatan langsung dengan argumentasi dan fakta-fakta secara posterik pun yang terakhir penggunaan satire, yakni ungkapan gaya yang cenderung lebih mendalam tentang kritik kelam kondisi kemanusiaan yang dirasakan seniman secara psikologis.
Tentang keyakinan estetika; dihayati oleh sang pelukis dan juga kurator tak saling ada kecocokan, perlu adanya waktu tersendiri untuk sinkronisasi. Tentunya ini membutuhkan pembahasan tersendiri tentang relasi antar mereka. Yang jelas, topik pameran tentang Tanah dan Kedaulatan Pangan tentunya berelasi dengan elemen sosiologis dan politik lebih dari sekedar paradigma ‘otonomi seni secara estetik’ yang kukuh dan jemawa, tak bisa digeser ke mana-mana. Hadirnya seni kontemporer secara cair membuka cakrawala lebih luas makna dan kehadiran seni di ruang-ruang publik.
Seni kontemporer, membebaskan belenggu kesempitan bernalar dan berkreasi bahwa 'relasi kuasa' dalam proses penciptaan karya dan wacana tentang estetika telah selesai antara Seniman-Kurator. Maka, sebelum dan seusai karya dibuat, patut ditimbang dalam satu tim yang saling bermitra cara membangun komunikasi intensif dan saling pengertian antara Kurator dan Seniman bahwa ada "kekuasaan-kekuasaan lain yang bertengger" di luar sana; termasuk Dewan Kurator GNI, aparatus lain di Kemenbud, para aktivis seni, jurnalis, dan lain-lain dalam suatu ekosistem seni rupa yang kompleks itu.
Pengilon 2: Representasi Kekuasaan GNI dan Pameran Lukisan
Kita semua tahu bahwa kesenian dan elemen di dalamnya, termasuk infrastruktur seperti Galeri Nasional adalah simbol kekuasaan negara yang sejatinya terlemah. Negara belum menjadikan kesenian menjadi salah satu sektor penting menjadi Investasi Budaya yang dinamis dan kelak akan dipetik dalam rentang 15 sampai 20 tahun dari sekarang bagi Indonesia. Kesenian masih menjadi sisipan dan seremoni-seremoni kultural semata bagi negara. Secara sosiologis, Galeri Nasional Indonesia (GNI) itu sewajarnya menjadi manifestasi dari sebuah wadah bertemunya kepetingan ekosistem seni yang ada di level tinggi: Symbolic Capital.
GNI memiliki modal simbolik kekuasaan tentang seni yang merangkul menjadi satu kekuatan atas relasi modal sosial dan politik (seniman dan seluruh kompleksitas komunitas didalamnya), selain modal kultural (para cendekia seni serta kampus-kampus perguruan tinggi juga institusi sektor privat) dan terakhir adalah modal ekonomi (dengan menimbang adanya Dana Abadi Kebudayaan dan APBN untuk program-program kesenian).
Namun, saat sama implementasi UU Pemajuan Kebudayaan belum maksimal direalisasikan dan Galeri Nasional bukanlah yang menjadi garda terdepan tentang nilai-nilai ke-Indonesiaan yang menjadi soft power dalam diplomasi penting eksistensi negeri yang majemuk dan kaya budaya. Belum genap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, sebuah isu tentang pemberedelan karya seni benar-benar wajib disikapi dengan serius.
Ingatan tentang semangat menggebu pemerintahan baru dengan Asta Cita-nya, yang mencantumkan, bahkan sampai tiga kali relasinya dengan kekuatan ekonomi kreatif, kesempatan terbuka tentang industri kreatif sampai kekuatan budaya. Dalam hal ini konteks kesenian dan GNI, hendaknya memang menjadi pilar sungguh-sungguh menuju apa yang "dicitakan" dengan pernyataan melangit tentang keharmonisan, menjaga ketahanan negara, sampai upaya membuka kesempatan kerja sebagai manifestasi fasilitas untuk kemandirian anak negeri.
Intinya, isu pemberedelan atau pembatalan atau penundaan pameran Seni Yos Suprapto, yang sangat semrawut kronologinya terinfo ke publik dan argumen-argumen birokratis yang normatif serta diterima dengan cara menduga-duga dan meraba-raba, selain sistem pengambilan keputusan yang terburu-buru sangat memprihatinkan; dan hal itu jangan sampai terulang pada kasus sejenis di masa depan.
Sebagian kasus, memerlukan tak hanya persoalan secara teknis namun strategi substansial—semisal adanya manajemen krisis tatkala beririsan dengan isu politik nasional. Sebaliknya, kasus pemberedelan ini membuncah hikmah, membuka esensi yang sangat esensial, yang belum tersentuh, yakni: GNI dan seluruh aparatus di dalamnya, yakni struktur birokrasinya, sama sekali belum menunjukkan mewakili cita-cita besar Asta Cita dalam fundamen pembangunan manusia.