Pengilon di Galeri Nasional dan Isu Beredel
loading...
A
A
A
Dengan demikian ada lima karya yang sebenarnya "bermasalah", dua karya telah disepakati oleh kurator-seniman untuk tidak dipamerkan, tetiba menyusul tiga karya lagi yang tak diperbolehkan dipajang. Hal itu yang membuat pelukis, yakni Yos Suprapto menyatakan sebagai aksi pemberedelan/ pelarangan dan kesewenang-wenangan sepihak pihak penguasa, baik Galeri Nasional pun Kemenbud. Konsekuensinya, Yos Suprapto memilih akan melawan dan menurunkan seluruh karya serta membawa pulang seluruh lukisan-lukisannya kelak ke Yogjakarta dan tak bersedia lagi berhubungan dengan Galeri Nasional dan Kemenbud.
Saat sama juga, beberapa jam usai "perlawanan atas pemberedelan" pihak seniman sebelum pukul 18.30 WIB (saat pembukaan pameran); pihak kurator mengundurkan diri; karena seniman dianggap telah "menerabas otoritas kurator" dan sebagian karya tak menjadi/selaras dengan topik yang disusun dalam pameran.
Sementara itu pihak Galeri Nasional dan sejumlah pejabat Kemenbud telah memutuskan pameran "ditunda" dan ruang Galeri Nasional digelapkan serta pintu utama dikunci, yang tentunya berakibat pengunjung pameran---termasuk penulis sampai sekitar pukul 22.00 WIB tak bisa memasuki ruang pamer. Hal itu tentu sangat mengecewakan sebab para apresian tak bisa menyaksikan pameran sama sekali di malam itu tanpa ada kejelasan yang masuk akal dengan menimbang kronologi peristiwa-peristiwa tersebut.
Malam itu juga, penulis mendapatkan sejumlah karya-karya lukisan format digital yang dibagikan pelukis via pesan WhatsApp yang dianggap menjadi ‘pokok permasalahan’ – termasuk keluhan seniman tentang imej-imej mantan penguasa NKRI sebagai subject matter lukisan.
Selain itu, juga dicantumkan redaksional utuh siaran pers yang dibuat oleh pelukis dan mungkin dibantu profesional saat itu, yang di dalam siaran pers termaktub sejumlah kutipan tokoh-tokoh seni dan budayawan yang menyayangkan peristiwa nahas itu. Saat yang sama penulis juga menerima pernyataan tertulis kurator pameran di aplikasi WhatsApp Group di tengah malam tanggal 19 menuju 20 Desember 2024.
Rentetan peristiwa itu, tentunya memerlukan telaah lebih dalam dan jernih yang dalam pengertian pengilon (cermin), kita bersama mencoba menelusuri, melihat kembali dan mengamati serta sebagai kurator dan penulis seni, ingin membagi sejumlah pengilon yang tentunya subjektif, tentang 'Mawas Diri' bersama, yang bisa dilihat dalam sejumlah hal.
Setelah menerima sejumlah imej visual lukisan-lukisan dan mencermati wawancara dengan Yos Suprapto yang membincangkan proses setahun pembuatan karya. Yos disamping meneliti sendiri dengan petani-petani dan kelompok aktivis serta didampingi sejumlah ahli tentang metodologi tertentu memahami tanah dan elemen-elemen yang terkait, termasuk di dalamnya pesan-pesan sosiologis dan politik dengan konsteks estetika yang ia yakini.
Kemudian diwujudkan sebagai instalasi selain lukisan-lukisan serta benda-benda temuan (found object) serta tak lupa juga penulis membaca pernyataan tertulis kurator, maka seturut hemat penulis karya-karya pelukis ini masih dalam tataran wajar yang bisa jadi menyambung dengan topik utama pameran, yakni Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan.
Sementara, karya-karya yang dianggap vulgar secara visual oleh berbagai pihak (termasuk dari pejabat Kemenbud) dengan konteks pameran, sebenarnya menurut penulis, bisa ditelaah dengan penjabaran konsep strategi parodi dalam seni rupa. Lukisan-lukisan tersebut memang disampirkan sebagai ungkapan bahasa parodi visual, sebentuk dialog visual yang dibangun antar teks (membangun simbol-simbol dan kode-kode di lukisan), yang bertujuan mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu pun situasi riil isu sosial dan kemanusiaan yang dirujuk secara mutakhir, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kondisi kekontrasan dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik, atau membuat satir yang tajam.
Dari lukisan Yos yang dianggap "bermasalah", yakni yang berkarakter karikatural, yang imej paras mantan penguasa NKRI memang sejatinya ia (tokoh bermasalah) semenjak berkuasa 10 tahun. Yos Suprapto membayangkan bahwa tanah dan pangan terkait selalu secara sosiologis bernarasi keniscayaan tentang pergumulan "dialektika penguasa dan warga".
Ingatan komunal memberi fakta bahwa konflik agraria terjadi tersebab salah kebijakan yang diterapkan oleh penguasa --- perebutan lahan hak waris tanah adat, UU tentang proyek strategis nasional sampai Ibu Kota Nusantara (IKN) dan lahan-lahan dari komunitas marjinal yang terpinggirkan.
Saat sama juga, beberapa jam usai "perlawanan atas pemberedelan" pihak seniman sebelum pukul 18.30 WIB (saat pembukaan pameran); pihak kurator mengundurkan diri; karena seniman dianggap telah "menerabas otoritas kurator" dan sebagian karya tak menjadi/selaras dengan topik yang disusun dalam pameran.
Sementara itu pihak Galeri Nasional dan sejumlah pejabat Kemenbud telah memutuskan pameran "ditunda" dan ruang Galeri Nasional digelapkan serta pintu utama dikunci, yang tentunya berakibat pengunjung pameran---termasuk penulis sampai sekitar pukul 22.00 WIB tak bisa memasuki ruang pamer. Hal itu tentu sangat mengecewakan sebab para apresian tak bisa menyaksikan pameran sama sekali di malam itu tanpa ada kejelasan yang masuk akal dengan menimbang kronologi peristiwa-peristiwa tersebut.
Malam itu juga, penulis mendapatkan sejumlah karya-karya lukisan format digital yang dibagikan pelukis via pesan WhatsApp yang dianggap menjadi ‘pokok permasalahan’ – termasuk keluhan seniman tentang imej-imej mantan penguasa NKRI sebagai subject matter lukisan.
Selain itu, juga dicantumkan redaksional utuh siaran pers yang dibuat oleh pelukis dan mungkin dibantu profesional saat itu, yang di dalam siaran pers termaktub sejumlah kutipan tokoh-tokoh seni dan budayawan yang menyayangkan peristiwa nahas itu. Saat yang sama penulis juga menerima pernyataan tertulis kurator pameran di aplikasi WhatsApp Group di tengah malam tanggal 19 menuju 20 Desember 2024.
Rentetan peristiwa itu, tentunya memerlukan telaah lebih dalam dan jernih yang dalam pengertian pengilon (cermin), kita bersama mencoba menelusuri, melihat kembali dan mengamati serta sebagai kurator dan penulis seni, ingin membagi sejumlah pengilon yang tentunya subjektif, tentang 'Mawas Diri' bersama, yang bisa dilihat dalam sejumlah hal.
Pengilon 1: Estetika Visual dan Topik Pameran
Setelah menerima sejumlah imej visual lukisan-lukisan dan mencermati wawancara dengan Yos Suprapto yang membincangkan proses setahun pembuatan karya. Yos disamping meneliti sendiri dengan petani-petani dan kelompok aktivis serta didampingi sejumlah ahli tentang metodologi tertentu memahami tanah dan elemen-elemen yang terkait, termasuk di dalamnya pesan-pesan sosiologis dan politik dengan konsteks estetika yang ia yakini.
Kemudian diwujudkan sebagai instalasi selain lukisan-lukisan serta benda-benda temuan (found object) serta tak lupa juga penulis membaca pernyataan tertulis kurator, maka seturut hemat penulis karya-karya pelukis ini masih dalam tataran wajar yang bisa jadi menyambung dengan topik utama pameran, yakni Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan.
Sementara, karya-karya yang dianggap vulgar secara visual oleh berbagai pihak (termasuk dari pejabat Kemenbud) dengan konteks pameran, sebenarnya menurut penulis, bisa ditelaah dengan penjabaran konsep strategi parodi dalam seni rupa. Lukisan-lukisan tersebut memang disampirkan sebagai ungkapan bahasa parodi visual, sebentuk dialog visual yang dibangun antar teks (membangun simbol-simbol dan kode-kode di lukisan), yang bertujuan mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu pun situasi riil isu sosial dan kemanusiaan yang dirujuk secara mutakhir, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kondisi kekontrasan dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik, atau membuat satir yang tajam.
Dari lukisan Yos yang dianggap "bermasalah", yakni yang berkarakter karikatural, yang imej paras mantan penguasa NKRI memang sejatinya ia (tokoh bermasalah) semenjak berkuasa 10 tahun. Yos Suprapto membayangkan bahwa tanah dan pangan terkait selalu secara sosiologis bernarasi keniscayaan tentang pergumulan "dialektika penguasa dan warga".
Ingatan komunal memberi fakta bahwa konflik agraria terjadi tersebab salah kebijakan yang diterapkan oleh penguasa --- perebutan lahan hak waris tanah adat, UU tentang proyek strategis nasional sampai Ibu Kota Nusantara (IKN) dan lahan-lahan dari komunitas marjinal yang terpinggirkan.