Desain Perlindungan Sosial Harus Sentuh Kelompok Terdampak Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Istitute menilai komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan reformasi sistem perlindungan sosial secara bertahap adalah langkah tepat untuk mendorong pemulihan sosio-ekonomi krisis Covid-19 .
Pada 2021, pemerintah menganggarkan sedikitnya Rp419,3 triliun untuk merealisasikan berbagai program perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan Sosial Tunai (BST), Kartu Pra Kerja, dan program lainnya dengan tujuan mengarah perlindungan sosial berbasis siklus hidup (lifecycle social security schemes).( )
“Desain perlindungan sosial yang mengarah pada siklus hidup diharapkan dapat menyentuh kelompok rumah tangga paling terdampak Covid-19, terutama mereka yang memiliki lebih banyak anak, anggota keluarga lansia dan orang dengan disabilitas,” tutur peneliti bidang Sosial TII, Nopitri Wahyuni kepada SINDOnews, Selasa (1/9/2020).
Dalam upaya penguatan perlindungan sosial, tantangan pemerintah dimulai dari urusan memperbaiki data. Kenyataannya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diampu Kementerian Sosial saat ini belum banyak menangkap kondisi kelompok masyarakat paling rentan secara sosio-ekonomi. Apalagi, buruknya persoalan data tersebut membuat tahap penyaluran bantuan berjalan amat lambat atau bahkan tidak tepat sasaran. (Baca juga: 100 Dokter Wafat, Reisa Broto Asmoro Ingatkan Pandemi Belum Tamat
Catatan Kementerian Keuangan per 5 Agustus 2020 lalu, baru 41,85% dari keseluruhan anggaran perlindungan sosial Covid-19 dari total pagu Rp203,9 triliun. Artinya, baru terserap Rp85,34 triliun pada pertengahan tahun ini.
“Akurasi data diperlukan sebagai dasar pengambilan kebijakan penanggulangan dampak Covid-19. Iklim pendataan terintegrasi yang baik akan mendorong strategi pemulihan sosio-ekonomi ke depannya. Hal ini harus diupayakan melalui penggunaan metode perbaikan data melalui koordinasi pemerintah pusat dan daerah,” tuturnya.
Selain itu, tujuan dari reformasi perlindungan sosial untuk memperkuat produktivitas dalam rangka pemulihan ekonomi diharapkan juga menyasar para pekerja yang bekerja pada sektor formal maupun informal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, karakteristik pekerja di Indonesia masih didominasi oleh sektor pekerja informal yang mencapai 70,49% dibandingkan pekerja formal yang berada pada kisaran 56,02%. Sementara, prediksi Bappenas menyatakan bahwa pada 2021, angka pengangguran bisa menyentuh 12,7 juta orang atau bertambah 4,5-5 juta orang pada 2020.
Dia juga menyoroti program Kartu Prakerja. Selain memberikan manfaat manfaat bagi penganggur (unemployment benefits), program tersebut juga menghadapi tantangan hebat. Berbagai isu pembangunan infrastruktur teknologi, pengelolaan anggaran, relevansi substansi pelatihan terhadap kebutuhan penerima manfaat, sampai persoalan akses, menjadi catatan yang tak bisa dilepaskan dari program tersebut. (Baca juga: Pemeriksaan Covid-19 di RI Hanya 46,85% dari Standar WHO)
Pelaksanaan berbagai program bantuan sosial Karu Prakerja juga belum ramah terhadap kelompok masyarakat tertentu, seperti orang dengan disabilitas. Pendaftaran dengan sistem daring yang disediakan oleh penyelenggara menyulitkan kelompok ragam disabilitas tertentu, seperti tuna netra.
Melihat kondisi tersebut, Nopitri menambahkan bahwa penting untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terkait program-program yang masuk ke dalam skema perlindungan sosial untuk merespons Covid-19 bagi kelompok penerima manfaat yang beragam.
“Monev dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dari program yang telah berjalan selama durasi program responsif Covid-19 berjalan dan sejauh apakah program tersebut sampai kepada kelompok masyarakat untuk bertahan pada situasi pandemi,” tandasnya.
Pada 2021, pemerintah menganggarkan sedikitnya Rp419,3 triliun untuk merealisasikan berbagai program perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan Sosial Tunai (BST), Kartu Pra Kerja, dan program lainnya dengan tujuan mengarah perlindungan sosial berbasis siklus hidup (lifecycle social security schemes).( )
“Desain perlindungan sosial yang mengarah pada siklus hidup diharapkan dapat menyentuh kelompok rumah tangga paling terdampak Covid-19, terutama mereka yang memiliki lebih banyak anak, anggota keluarga lansia dan orang dengan disabilitas,” tutur peneliti bidang Sosial TII, Nopitri Wahyuni kepada SINDOnews, Selasa (1/9/2020).
Dalam upaya penguatan perlindungan sosial, tantangan pemerintah dimulai dari urusan memperbaiki data. Kenyataannya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diampu Kementerian Sosial saat ini belum banyak menangkap kondisi kelompok masyarakat paling rentan secara sosio-ekonomi. Apalagi, buruknya persoalan data tersebut membuat tahap penyaluran bantuan berjalan amat lambat atau bahkan tidak tepat sasaran. (Baca juga: 100 Dokter Wafat, Reisa Broto Asmoro Ingatkan Pandemi Belum Tamat
Catatan Kementerian Keuangan per 5 Agustus 2020 lalu, baru 41,85% dari keseluruhan anggaran perlindungan sosial Covid-19 dari total pagu Rp203,9 triliun. Artinya, baru terserap Rp85,34 triliun pada pertengahan tahun ini.
“Akurasi data diperlukan sebagai dasar pengambilan kebijakan penanggulangan dampak Covid-19. Iklim pendataan terintegrasi yang baik akan mendorong strategi pemulihan sosio-ekonomi ke depannya. Hal ini harus diupayakan melalui penggunaan metode perbaikan data melalui koordinasi pemerintah pusat dan daerah,” tuturnya.
Selain itu, tujuan dari reformasi perlindungan sosial untuk memperkuat produktivitas dalam rangka pemulihan ekonomi diharapkan juga menyasar para pekerja yang bekerja pada sektor formal maupun informal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, karakteristik pekerja di Indonesia masih didominasi oleh sektor pekerja informal yang mencapai 70,49% dibandingkan pekerja formal yang berada pada kisaran 56,02%. Sementara, prediksi Bappenas menyatakan bahwa pada 2021, angka pengangguran bisa menyentuh 12,7 juta orang atau bertambah 4,5-5 juta orang pada 2020.
Dia juga menyoroti program Kartu Prakerja. Selain memberikan manfaat manfaat bagi penganggur (unemployment benefits), program tersebut juga menghadapi tantangan hebat. Berbagai isu pembangunan infrastruktur teknologi, pengelolaan anggaran, relevansi substansi pelatihan terhadap kebutuhan penerima manfaat, sampai persoalan akses, menjadi catatan yang tak bisa dilepaskan dari program tersebut. (Baca juga: Pemeriksaan Covid-19 di RI Hanya 46,85% dari Standar WHO)
Pelaksanaan berbagai program bantuan sosial Karu Prakerja juga belum ramah terhadap kelompok masyarakat tertentu, seperti orang dengan disabilitas. Pendaftaran dengan sistem daring yang disediakan oleh penyelenggara menyulitkan kelompok ragam disabilitas tertentu, seperti tuna netra.
Melihat kondisi tersebut, Nopitri menambahkan bahwa penting untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terkait program-program yang masuk ke dalam skema perlindungan sosial untuk merespons Covid-19 bagi kelompok penerima manfaat yang beragam.
“Monev dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dari program yang telah berjalan selama durasi program responsif Covid-19 berjalan dan sejauh apakah program tersebut sampai kepada kelompok masyarakat untuk bertahan pada situasi pandemi,” tandasnya.
(dam)