Peta Perdamaian Baru, dari Riyanto hingga Paus Fransiskus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ahmad Riyadi
Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Tahun 2000 di Mojokerto, seorang kader Banser memeluk bom yang akan meledakkan Gereja Jemaat Pantekosta Indonesia Eben Haezer. Tubuh Riyanto hancur, kepingan-kepingannya menjadi reinkarnasi kemanusiaan yang abadi.
Menjaga gereja bagi Banser adalah menjaga Indonesia. Sejak perintah itu dikeluarkan Gus Dur pada 1996 kala kerusuhan di Situbondo terjadi, Banser tetap berada dan menjaga Gereja, diminta ataupun tidak.
Perintah itu menemukan tubuh ideologisnya, karena menjaga gereja yang ada di Indonesia sama juga menjaga Indonesia, karena gereja yang dijaganya berada di Indonesia. Konstruksi yang koheren dengan semangat wathaniyah, persaudaraan kebangsaan atau mencintai negara adalah praktek dan sikap dalam iman.
Buktinya, kendati tubuhnya sudah hancur, tidak sedikit pun membuat getir sahabat Banser untuk tetap pada pendirian menjaga gereja, bahkan di tengah makian kelompok-kelompok lain.
Mungkin ini juga yang menjadikan umat yang ingin melakukan ibadah di gereja tak merasa khawatir. Mereka penuh penghormatan merasa aman karena ada saudara-saudara kemanusiaannya yang berpartisipasi secara sukarela mengakui perbedaan yang diyakininya.
Etalase harmoni antara yang berbeda dari Sabang hingga Merauke jelas menunjukkan welas asih dengan hidup berdampingan. Dan inilah yang kian menegaskan, bahwa paksaan, persekusi hingga kekerasan tidak lagi relevan dilakukan di tengah kebhinekaan.
Karena kekerasan demi kekerasan yang dilakukan untuk tujuan ekspansif dan menguasai, atau bahkan memperoleh kebenaran sepihak, justru menghadirkan sebaliknya. Mereka menjadi rahim lahirnya kebencian, disintegrasi hingga permusuhan yang beban madaratnya lebih banyak.
Tidak heran, jika Israel tak banyak memperoleh kedamaian setelah habis-habisan membombardir Palestina. Militansi rakyat Palestina, hingga pejuang kemanusiaan, mayoritas negara dunia malah tebal mengutuknya.
Maka demikian dalam konteks masyarakat yang dirundung konflik, Gus Dur (2002) memandang jalur perundingan lebih mulia untuk menyelesaikan tumpukan masalah, ketimbang besing rudal dan kekerasan yang justru menimbulkan korban lebih banyak dengan kerusakan-kerusakan mengorkestrasi kesedihan.
Apabila kekerasan justru menimbulkan konflik yang lebih buruk lagi bagi kemanusiaan, maka jalur-jalur dialog dan perundingan bisa menjadi pintu dibukanya perdamaian. Sedikitnya itulah yang penulis amati saat organisasi kepemudaan lintas iman bekunjung mendatangi Paus Fransiskus menjelang kehadirannya ke Indonesia pada 3-6 September. Mereka para pemuda membawa Deklarasi Jakarta-Vatikan yang merupakan kristalisasi poin 3 Dokumen Abu Dhabi, tahun 2019 silam.
Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Tahun 2000 di Mojokerto, seorang kader Banser memeluk bom yang akan meledakkan Gereja Jemaat Pantekosta Indonesia Eben Haezer. Tubuh Riyanto hancur, kepingan-kepingannya menjadi reinkarnasi kemanusiaan yang abadi.
Menjaga gereja bagi Banser adalah menjaga Indonesia. Sejak perintah itu dikeluarkan Gus Dur pada 1996 kala kerusuhan di Situbondo terjadi, Banser tetap berada dan menjaga Gereja, diminta ataupun tidak.
Perintah itu menemukan tubuh ideologisnya, karena menjaga gereja yang ada di Indonesia sama juga menjaga Indonesia, karena gereja yang dijaganya berada di Indonesia. Konstruksi yang koheren dengan semangat wathaniyah, persaudaraan kebangsaan atau mencintai negara adalah praktek dan sikap dalam iman.
Buktinya, kendati tubuhnya sudah hancur, tidak sedikit pun membuat getir sahabat Banser untuk tetap pada pendirian menjaga gereja, bahkan di tengah makian kelompok-kelompok lain.
Mungkin ini juga yang menjadikan umat yang ingin melakukan ibadah di gereja tak merasa khawatir. Mereka penuh penghormatan merasa aman karena ada saudara-saudara kemanusiaannya yang berpartisipasi secara sukarela mengakui perbedaan yang diyakininya.
Etalase harmoni antara yang berbeda dari Sabang hingga Merauke jelas menunjukkan welas asih dengan hidup berdampingan. Dan inilah yang kian menegaskan, bahwa paksaan, persekusi hingga kekerasan tidak lagi relevan dilakukan di tengah kebhinekaan.
Karena kekerasan demi kekerasan yang dilakukan untuk tujuan ekspansif dan menguasai, atau bahkan memperoleh kebenaran sepihak, justru menghadirkan sebaliknya. Mereka menjadi rahim lahirnya kebencian, disintegrasi hingga permusuhan yang beban madaratnya lebih banyak.
Tidak heran, jika Israel tak banyak memperoleh kedamaian setelah habis-habisan membombardir Palestina. Militansi rakyat Palestina, hingga pejuang kemanusiaan, mayoritas negara dunia malah tebal mengutuknya.
Maka demikian dalam konteks masyarakat yang dirundung konflik, Gus Dur (2002) memandang jalur perundingan lebih mulia untuk menyelesaikan tumpukan masalah, ketimbang besing rudal dan kekerasan yang justru menimbulkan korban lebih banyak dengan kerusakan-kerusakan mengorkestrasi kesedihan.
Christus Vivit
Apabila kekerasan justru menimbulkan konflik yang lebih buruk lagi bagi kemanusiaan, maka jalur-jalur dialog dan perundingan bisa menjadi pintu dibukanya perdamaian. Sedikitnya itulah yang penulis amati saat organisasi kepemudaan lintas iman bekunjung mendatangi Paus Fransiskus menjelang kehadirannya ke Indonesia pada 3-6 September. Mereka para pemuda membawa Deklarasi Jakarta-Vatikan yang merupakan kristalisasi poin 3 Dokumen Abu Dhabi, tahun 2019 silam.