KPU Bisa Ajukan Judicial Review ke MK Bila DPR RI Resmi Sahkan Revisi UU Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki dua pilihan bila DPR resmi mengesahkan revisi Undang-undang (RUU) Pilkada. Pertama, KPU sebagai lembaga yang diamanahkan menjalankan undang-undang, maka KPU harus menjalankan undang-undang yang ditetapkan DPR pascamengeliminasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pilihan kedua adalah melakukan judicial review terhadap UU Pilkada.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya (UB) Muhammad Ali Safa'at mengakui bila KPU memiliki keputusan dilematis bila DPR akhirnya mengesahkan Undang-undang Pilkada, meski sempat ditunda rapat paripurnanya pada hari ini setelah tak memenuhi kuorum, atau persyaratan anggota DPR yang hadir.
"Ketika misalnya DPR mengesahkan RUU Pilkada perubahan sebagai undang-undang, maka KPU tidak ada kata lain harus merujuk pada itu, Bisa saja KPU melakukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi menguji kembali, UU Pilkada yang dibuat oleh DPR," ucap Kamis (22/8/2024).
Tapi semua akan serba dilematis sebab hal ini tentu akan memakan waktu lagi yang tak sebentar. Sedangkan proses pendaftaran calon kepala daerah (Cakada) yang diusung partai politik akan berlangsung pada 27 - 29 Agustus 2024.
"Secara normal pasti cukup panjang, KPU akan semakin repot, karena ketika dia melaksanakan maka pelaksanaan Pilkada lalu bisa dinyatakan inkonstitusional," ungkap pria yang juga Wakil Rektor Universitas Brawijaya ini.
Maka untuk mengantisipasi adanya pilkada yang inkonstitusional tersebut, Ali menyarankan agar KPU kembali mengajukan judicial review atau pengujian Undang-undang Pilkada, yang ditetapkan DPR, pasca putusan MK dianulir. Namun sebelum pengajuan uji undang-undang itu, yang dipegang dan dirujuk oleh KPU tetap pengesahan oleh DPR, jika memang Revisi UU Pilkada benar-benar disahkan.
"Bisa saja KPU melakukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi menguji kembali UU Pilkada yang dibuat oleh DPR. Tapi sebelum ada keputusan (MK) atas pengujian tersebut, jadi yang dipegang oleh KPU yang dipegang perubahan Undang-undang Pilkada yang disahkan DPR," jelas pengajar di Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya ini.
Namun dia tak berharap hal itu terjadi, makanya ia mendorong agar partai politik tidak tinggal diam untuk menggagalkan pengesahan Revisi UU Pilkada yang baru dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Meski demikian, melihat kekuatan koalisi di legislatif, ada kekhawatiran bahwa pengesahan revisi UU Pilkada, tinggal menunggu waktu.
"Dan masyarakat tentu akan merasa dibodohi, dianggap sebagai orang bodoh terlihat sangat jelas seperti itu. Masih diupayakan untuk mengkamuflasekan keputusan dari keputusan Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya (UB) Muhammad Ali Safa'at mengakui bila KPU memiliki keputusan dilematis bila DPR akhirnya mengesahkan Undang-undang Pilkada, meski sempat ditunda rapat paripurnanya pada hari ini setelah tak memenuhi kuorum, atau persyaratan anggota DPR yang hadir.
"Ketika misalnya DPR mengesahkan RUU Pilkada perubahan sebagai undang-undang, maka KPU tidak ada kata lain harus merujuk pada itu, Bisa saja KPU melakukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi menguji kembali, UU Pilkada yang dibuat oleh DPR," ucap Kamis (22/8/2024).
Tapi semua akan serba dilematis sebab hal ini tentu akan memakan waktu lagi yang tak sebentar. Sedangkan proses pendaftaran calon kepala daerah (Cakada) yang diusung partai politik akan berlangsung pada 27 - 29 Agustus 2024.
"Secara normal pasti cukup panjang, KPU akan semakin repot, karena ketika dia melaksanakan maka pelaksanaan Pilkada lalu bisa dinyatakan inkonstitusional," ungkap pria yang juga Wakil Rektor Universitas Brawijaya ini.
Baca Juga
Maka untuk mengantisipasi adanya pilkada yang inkonstitusional tersebut, Ali menyarankan agar KPU kembali mengajukan judicial review atau pengujian Undang-undang Pilkada, yang ditetapkan DPR, pasca putusan MK dianulir. Namun sebelum pengajuan uji undang-undang itu, yang dipegang dan dirujuk oleh KPU tetap pengesahan oleh DPR, jika memang Revisi UU Pilkada benar-benar disahkan.
"Bisa saja KPU melakukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi menguji kembali UU Pilkada yang dibuat oleh DPR. Tapi sebelum ada keputusan (MK) atas pengujian tersebut, jadi yang dipegang oleh KPU yang dipegang perubahan Undang-undang Pilkada yang disahkan DPR," jelas pengajar di Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya ini.
Namun dia tak berharap hal itu terjadi, makanya ia mendorong agar partai politik tidak tinggal diam untuk menggagalkan pengesahan Revisi UU Pilkada yang baru dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Meski demikian, melihat kekuatan koalisi di legislatif, ada kekhawatiran bahwa pengesahan revisi UU Pilkada, tinggal menunggu waktu.
"Dan masyarakat tentu akan merasa dibodohi, dianggap sebagai orang bodoh terlihat sangat jelas seperti itu. Masih diupayakan untuk mengkamuflasekan keputusan dari keputusan Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.
(cip)